Share

Tidak Mudah Dipercaya

Jadi apakah benar Agung ada main dengan Caca? pikiran itu kembali membuat Kiran melamun di dalam mobilnya Lukman.

"Mbak. Mbak Kiran. Enggak jadi turun, Mbak?"

Lukman menegur Kiran hingga beberapa kali sampai Kiran sadar.

"Eh, iya, Pak Lukman. Sudah sampai kan, Bapak bisa turun sekarang."

"Lho?"

"Eh, kenapa jadi saya yang nyuruh Bapak turun dari mobil ya? Duh, maaf ya, Pak. Pikiran saya lagi ruwet."

Lukman tertawa kecil melihat tingkah Kiran.

"Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih juga."

Lukman mengangguk dan tersenyum saat Kiran turun dari mobilnya. Namun, belum sempat ia menyalakan mesin mobilnya kembali, Kiran sudah berada di samping mobil sambil mengetuk kaca jendela mobilnya.

"Ada apa lagi, Mbak Kiran?" tanya Lukman sambil menurunkan jendela mobilnya.

"Pak Lukman. Maaf, saya enggak bermaksud lancang. Ada baiknya kalau Bapak mampir ke rumah Caca. Saya khawatir. Caca kan wanita muda ...."

Entah kenapa Kiran menghentikan ucapannya saat nama Agung sudah berada di ujung lidah. Kiran melangkah pergi tanpa peduli dengan wajah Lukman yang kebingungan.

Kiran terus melangkah memasuki gang kecil menuju rumahnya. Rumahnya masih harus ditempuh lima menit dengan berjalan kaki melalui gang ini. Gang yang hanya bisa dilewati dua jalur motor. Keadaan di gang ini memang selalu sepi. Pagar-pagar rumah lumaya tinggi. Para penghuni rumah biasanya pergi bekerja di siang hari dan langsung beristirahat saat pulang kerja di malam hari.

'Kalau Mas Agung ke rumah Caca secara diam-diam atau sebaliknya, pasti tetangga enggak akan tau,' batin Kiran.

Kiran terus berjalan dengan pikiran kalut.

"Kiraaan."

Kiran menoleh saat suara perempuan memanggilnya beberapa kali. Ia melihat Caca keluar dari warung tak jauh dari rumahnya. Sekuat tenaga ia menahan emosi yang bergemuruh di dada. Bisa-bisanya Caca bersikap santai seperti ini di depannya.

"Kamu sudah pulang, Ran? Kamu baik-baik aja kan? Gimana Malika?" tanya Caca sambil membawa satu kantong plastik besar isi belanjaan.

Kiran memandang Caca dengan sinis. Hidungnya berkali-kali mendengkus secara spontan. Seakan-akan Kiran dapat mencium bau tidak enak dari tubuh Caca.

'Ih, ini perempuan. Bau perselingkuhan,' batin Kiran sambil menggosok hidungnya beberapa kali.

"Kamu kenapa, Ran?"

Kiran menepis tangan Caca dengan cepat saat Caca menyentuh tangannya.

"Kamu kurang sehat kayaknya, Ran. Langsung istirahat gih."

Kiran tetap terdiam dan sesekali memandang sinis ke arah Caca.

"Oiya, sorry, Ran. Aku enggak sempet mampir ke rumah kamu. Jadi aku enggak tau, suamimu ada di rumah apa enggak."

Kiran mengangguk kemudian kembali tersenyum sinis.

"Atau jangan-jangan suamimu udah jemput kamu ke rumah sakit?"

'Dih, akting maksimal banget sih ini perempuan. Asal kamu tau ya, aku enggak akan tertipu dengan muslihatmu lagi,' gumam Kiran dalam hati.

"Enggak, kok. Aku pulangnya enggak sama Mas Agung. Tapi sama Pak Lukman," jawab Kiran.

Wajah Caca terlihat terkejut mendengar ucapan Kiran.

"Jangan bercanda kamu, Kiran."

"Serius. Tadi aku diturunin di depan gang. Enggak bisa mampir ke kamu, katanya belum gilirannya ya? Enggak nyangka aku, ternyata kamu itu bini muda."

Kiran merasa senang saat melihat wajah Caca yang memerah. Ia melihat sekeliling dan sedikit merasa kecewa karena hanya ada Adam, mahasiswa yang sedang menjaga warung.

'Kenapa cuma Adam yang ada di sini? Coba emaknya, kalau Bu Winda yang sedang jaga warung, pasti berita ini akan cepat menyebar dari mulut ke mulut,' batin Kiran.

Caca terlihat panik, kemudian menoleh ke ujung gang. Ia ingin memastikan apakah Lukman berada di sana. 

"Oiya, badewe tadi aku ketemu sama Pak Lukman di rumah sakit. Kalau begitu, kamu ber-aw-aw-ria sama siapa, Ca?" tanya Kiran sambil menatap Caca dengan tatapan siap membunuh.

Caca semakin kaget dengan ucapan dan tingkah Kiran yang kini berjalan memojokkan dirinya hingga ke tembok rumah warga.

"Apaan sih kamu, Ran? A-aku tuh tadi cuma bercanda saat di telefon sama kamu," ucap Caca panik.

Tanpa diduga oleh Kiran, Caca tiba-tiba mendorong tubuh Kiran hingga terhuyung kemudian melarikan diri dari interogasi Kiran dan segera kembali ke rumah.

"Mbak Kiran!"

Kiran menoleh ke arah suara, ternyata Adam yang memanggilnya.

"Jangan berantem di depan warung, Mbak. Kalau ada Mama, pasti kena siram!"

Kiran mencibir ke arah Adam. Bisa-bisanya bocah itu marah-marah padanya. Walau perbedaan usia mereka hanya tiga tahun, tetapi tetap saja dia masih kuliah dan tidak pernah merasakan pahitnya hidup.

"Kalau enggak ngerti, nanti aku yang siram nih, Mbak?!"

'Adam kurang ajar! Hancur sudah rencanaku melabrak si Caca,' batin Kiran gemas.

'Lihat saja nanti, Ca. Aku pasti bisa membalas perbuatan kamu. Sekarang biar aku selesaikan urusanku dengan Mas Agung.'

Kiran menatap ke rumah Caca dengan geram. Perempuan itu pasti sudah bersembunyi di kolong kasurnya. Kiran mengambil napas kasar, ia berpikir untuk saat ini biarlah untuk Caca lolos. Sekarang, Kiran harus menghadapi Agung di rumah.

Kiran membuka pagar dan berjalan menuju pintu. Motor Agung tidak ada di teras. Pintu rumah juga masih terkunci. Kiran segera membuka pintu rumah dan masuk. Tidak ada tanda-tanda bahwa Agung berada di rumah.

Kiran mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Padahal banyak yang ingin ia lakukan saat tiba ke rumah, tetapi kenapa malah jadi melamun seperti ini? Kiran menarik napas panjang dan memikirkan kembali apa saja yang harus ia lakukan. Selain ingin melabrak Caca dan Agung, ia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidupnya sehari-hari. Kiran terus menatap langit-langit kamar saat mendengar suara memanggilnya di ruang tamu.

"Ran ... Kiran."

Sayup-sayup Kiran mendengar suara yang memanggilnya. Suara seseorang yang selama ini ia rindukan keberadaannya. Suara seseorang yang selalu ingin ia peluk dan ia milikin sejak zaman dirinya SMA.

"Mas Agung?"

"Benar kamu rupanya. Aku pikir maling masuk ke rumah."

Agung menggantungkan jaketnya kemudian kembali keluar kamar. Kiran bangkit dari ranjang kemudian menghampiri Agung.

"Kamu dari mana, Mas?"

"Gimana keadaan Malika, Ran?"

"Aku yang tanya duluan, kenapa kamu malah balik tanya?"

"Aku baru pulang."

"Dari mana?"

"Rumah singgah, rumah sakit."

"Maksudnya?"

"Kamu tadi telefon kan? Bilang kalau uang kamu habis. Jadi aku langsung ke sana. Eh, kamunya enggak ada."

"Terus pas aku telefon tadi, kamu di mana? Ngapain sampai mendesah-desah seperti itu?"

"Gym."

"Gym? Sejak kapan kamu nge-gym? Enggak usah kayak kang bajay, Mas. Ngeles sana, ngeles sini."

Agung dengan santai membuka kulkas, mengambil air putih dan duduk di belakang meja makan.

"Jawab, Mas! Jangan diem aja. Aku capek-capek nunggu anak sakit, kamu malah enak-enakan hah huh hah huh sama perempuan lain. Tega banget kamu, Mas!"

Kiran mengatur napas, dadanya terasa sesak. Apa harus hal seperti ini yang ia dapat setelah berjuang demi sang anak?

Agung tetap terdiam setelah menghabiskan air putih di gelasnya. Ia memegang gelas, menatap lurus ke depan sambil bersandar.

Hal itu membuat Kiran semakin emosi, ia paling tidak suka jika Agung diam di saat ia membutuhkan semua penjelasan.

"Bukan cuma kamu yang capek, Ran. Aku juga."

"Tapi itu enggak bisa kamu jadiin alasan untuk selingkuh dari aku. Kamu itu laki-laki apa bukan sih? Kamu tuh harusnya sadar kalau kamu punya tanggung jawab! Bukan malah senang-senang sendiri."

Tubuh Kiran bergetar hebat. Semua emosi ia keluarkan saat ini.

Agung melihat ke arah Kiran.

"Aku kan cuma bilang kalau aku juga capek, Ran. Kamu kenapa jadi emosi banget?" tanya Agung dengan ekpresi datar.

"Tapi itu benar kan? Benar kamu selingkuh? Benar kamu mengkhianati aku?"

"Orang capek kok malah dituduh selingkuh? Ran ... Ran. Ada-ada aja kamu tuh," ucap Agung, masih dengan nada bicara datar.

"Enggak mau ngaku lagi!"

"Ya, kamu sembarangan nuduh gitu. Kenapa aku harus ngaku?"

"Apa? Sembarangan? Jelas-jelas kamu mendesah di telefon kok. Sembarangan nuduh dari mana?"

Agung terlihat enggan meladeni emosi Kiran. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk melepaskan segala penat.

Kiran duduk di ruang tamu. Agung termasuk laki-laki pendiam. Ia selalu memilih menghindar saat Kiran marah seakan tidak tahu bahwa hal itu semakin membuat Kiran kesal.

"Liat saja, Mas. Aku pasti akan mencari bukti kuat tentang perselingkuhan kamu."

Agung keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Kiran menatap Agung dengan saksama.

'Apanya yang nge-gym? Badan kerempeng kayak gitu sok ngaku-ngaku.'

Agung menuju kamar dan segera berganti pakaian. Tak lama kemudian ia kembali keluar dan menghampiri Kiran.

"Ini ATM gaji bulananku. Kamu pegang saja supaya enggak ada kejadian seperti ini lagi. Maaf kalau beberapa bulan ini aku telat transfer."

Kiran melirik ke arah ATM yang berada di tangan Agung. Sambil tetap cemberut, secepat kilat ia segera menyambar dan memasukkannya ke dalam dompet yang tadi ia letakkan di atas meja ruang tamu.

Agung duduk di salah satu sofa, berhadapan dengan Kiran. Dengan wajah serius, Agung menatap Kiran.

"Maaf kalau aku bikin kamu marah. Aku sengaja enggak cerita masalah ini karena enggak mau nambah-nambahin pikiran kamu."

"Nambah-nambahin pikiran, Mas? Kamu bilang selingkuh itu cuma nambah-nambahin pikiran? Kamu udah gila ya, Mas? Jangan kamu pikir hatiku akan terobati hanya dengan ATM-mu ini. Awas saja kalau ATM-nya kosong. Aku kejar kamu dunia akhirat, Mas."

"Kamu diam dulu, Ran. Biar aku jelasin. Tadi aku beneran dari gym. Kantor lagi ruwet karena covid. Jam kerja dipangkas begitu pula gaji yang sering telat. Kebetulan temanku ngasih info, ada gym khusus orang-orang kaya yang perlu tenaga untuk bagian kebersihan. Mereka buka kelas secara privat. 

Setiap kelas selesai, gym harus langsung dibersihkan sebelum kelas berikutnya mulai. Aku kerja, Ran. Aku harus cari uang tambahan untuk kita. Terutama kamu dan juga Malika."

Kiran mengerutkan dahi mendengar penjelasan Agung.

"Tadi aku terima telefon kamu sambil ngerapiin barbel. Kamu tau barbel yang buat atlet angkat besi? Iya, barbel segede-gede gaban. Berat. Kamu enggak akan kuat. Ini alamat gym-nya kalau kamu masih enggak percaya."

Kiran mengambil selembar kartu nama yang Agung berikan masih dengan seribu tanda tanya di otaknya. Ia masih tidak dapat percaya pada penjelasan Agung begitu saja.

Di saat mereka berdua terdiam, secara tiba-tiba mereka mendengar suara perempuan berteriak.

"Caca?" ucap Kiran lirih saat melihat Caca berlari dan berteriak mengejar Lukman di gang, depan rumah mereka.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status