Kiran berjalan bolak-balik di teras rumah sakit. Sudah pukul satu siang dan ia belum juga mendapat balasan pesan dari Agung, suaminya. Kesal, padahal sudah dari kemarin ia mengirim pesan kepada Agung agar segera mengantarkan uang kepadanya.
Menunggu anak yang sedang dirawat bukanlah hal yang mudah bagi Kiran. Ditambah lagi, ia harus tinggal terpisah dengan suaminya.
Kiran harus menginap di rumah singgah yang lokasinya dekat dengan rumah sakit tempat Malika dirawat. Malika memang tidak selalu menginap di rumah sakit, tetapi kondisinya sering tidak menentu. Seperti saat ini, Malika harus kembali dirawat.
Kiran memutuskan segera menelfon Agung saat melihat keadaan dompetnya yang mengenaskan. Ia terus mengulang panggilan beberapa kali, tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Kiran masih menunggu di jalur telefon sambil melihat kembali isi dompetnya.
"Uangnya enggak cukup buat makan," ucap Kiran saat melihat dompetnya yang hanya tersisa lima belas ribu rupiah.
Pagi tadi, ia harus membeli kebutuhan Malika. Minyak telon, pampers dan yang lainnya. Malika baru saja berumur satu tahun, tetapi hampir enam bulan Kiran terus menemani putri tunggalnya itu di rumah sakit.
Kiran tidak habis pikir, hari ini sudah lewat dari tanggal gajian, tetapi suaminya itu belum juga datang dan mengirim uang. Ini juga bukan yang pertama kalinya. Sejak dua bulan lalu, Agung selalu telat mengiriminya uang.
Kiran terus menghubungi nomor ponsel Agung.
"Mas," panggil Kiran saat telefonnya terhubung.
"Lama banget sih angkat telefonnya, Mas?" lanjut Kiran dengan nada sedikit kesal.
"Hh ... Ng ... Iyyahhh, Kiran."
"Kamu kapan ke sini? Uangku sudah habis nih."
"Hh ... Nan-tih."
"Kamu lagi ngapain sih, Mas?" tanya Kiran dengan penuh kecurigaan.
"Nghh ... enggakh. Ngapah-ngapa ... hin."
"Mas. Mas Agung!"
Panggilan telefon Kiran terputus. Agung menutupnya secara tiba-tiba. Kiran menarik napas panjang, ia berusaha menepis apa yang ada di dalam pikirannya. Apa yang sedang Agung lakukan sambil mengangkat telefonnya tadi? Lalu kenapa tiba-tiba Agung memutuskan telefonnya?
Keadaan Malika yang terkena hidrosefalus adalah cobaan besar dalam kehidupan tiga tahun pernikahan mereka. Bukan hanya dia yang bersabar karena harus terus berada di samping Malika. Kiran yakin, Agung juga ikut bersabar dalam menjalaninya. Namun, Kiran tetap tidak bisa mencegah pikirannya ber-travelling.
'Mas Agung kan enggak punya asma. Apa iya, Mas Agung sedang di WC saat jawab telefonku tadi?' batin Kiran terus terus berusaha menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang positif.
Kiran terus termenung hingga ia tidak menyadari ada seorang ibu yang memperhatikannya.
"Mbak, sudah makan?" tanya ibu itu yang berada di ruang tunggu bersamanya.
Kiran menoleh tetapi tetap terdiam membuat ibu itu memegang bahu Kiran.
"Mbak?" panggil ibu itu lagi.
"Mbak, baik-baik saja kan? Sudah makan?"
"Sudah, Bu," jawab Kiran sekenanya. Ia masih memikirkan suara Agung.
"Tapi anak saya beli dua bungkus nih, Mbak," ucap si Ibu dengan sedikit memaksa.
"Mau ya, Mbak. Ini nasinya enggak akan bisa buat nanti malam. Yuk, kita makan bareng ya."
Kiran menatap ibu itu, perasaannya berada di antara enak dan tidak. Apakah ibu itu memperhatikan bahwa dari semalam ia belum makan?
"Sudah. Kita yang nunggu harus lebih sehat. Kasian anak-anak nanti, enggak ada yang nunggu kalau kita sakit."
Mendengar perkataan ibu itu, Kiran tidak dapat menahan air mata yang meluncur begitu saja. Dengan lembut, ibu tadi menepuk-nepuk bahu Kiran kemudian mengajaknya ke teras.
"Jangan bersedih. Ini semua cobaan, Mbak. Setiap orang mendapatkannya. Hanya bentuknya saja yang berbeda-beda," ujar Si Ibu mencoba menenangkan Kiran.
Mereka duduk di salah satu bangku taman di depan ruang tunggu.
"Kamu selalu sendirian di sini ya, Mbak?"
"Iya, Bu," jawab Kiran.
"Suaminya kerja ya?"
Kiran mengangguk.
"Saya baru melihat Ibu. Pasien baru?" tanya Kiran, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Iya. Saya gantiin anak saya. Fitri. Kasian kalau dia enggak pulang-pulang."
Kiran mengangguk. Ia mengenal Fitri. Wanita yang berusia sama dengannya. Mereka juga sering berbincang tentang kondisi anak mereka.
"Ooh, Mbak Fitri. Kamar kami bersebelahan di dalam rumah singgah," ujar Kiran.
"Mbak namanya siapa?"
"Kiran, Bu. Kalau Ibu?"
"Nunik."
"Makasih ya nasinya, Bu Nunik."
Kiran mencoba menelan makanan pemberian Nunik, tetapi hatinya tetap tidak bisa merasa tenang.
"Orang tua Mbak Kiran enggak tinggal di Jakarta?"
Sejak datang ke rumah sakit, Nunik melihat Kiran selalu sendirian. Tidak ada yang menggantikan. Kadang Kiran terlihat sedih dan bingung.
Nunik mengerti apa yang dialami Kiran. Karena ia juga melihat putrinya berjuang seperti Kiran.
"Saya sudah enggak punya keluarga, Bu."
Nunik mengangguk pelan, berusaha mengerti. Suasana hening seketika.
"Suaminya jarang nginep di rumah singgah, Mbak?" tanya Nunik.
"Dulu aja, Bu. Pas awal. Tapi karena dia harus kerja, saya suruh dia pulang. Soalnya kantornya lebih dekat dari rumah jaraknya."
"Di rumah singgah, kita tinggal bersama dengan keluarga pasien lainnya. Walau disediakan kamar untuk masing-masing keluarga, tapi tetap saja jika ada waktu, sebaiknya kamu sempatkan diri untuk pulang menemui suamimu."
Kiran meremas bungkus nasi yang telah selesai ia makan kemudian mengepalnya dengan erat.
"Apa mungkin?" ucap Kiran lirih.
Pikiran Kiran semakin runyam. Berbagai kemungkinan mulai membayangi otaknya. Apa mungkin suaminya melakukan hal yang tidak ia inginkan?
Kondisi pernikahan mereka saat ini sudah sangat menyedihkan. Apalagi jika sampai hal yang Kiran takutkan benar-benar terjadi.
'Apa yang harus aku lakukan?' batin Kiran. Air mata tiba-tiba meluncur di pipinya tanpa permisi.
Nunik memandang ke arah Kiran.
"Lho? Kenapa, Mbak?" Nunik bingung melihat ekspresi wajah Kiran yang berubah tegang dan menangis.
"Makanannya enggak enak? Atau? Astaga! Saya salah ngomong ya, Mbak?" Nunik kembali panik, melihat air mata Kiran yang kembali mengalir.
Nunik segera memeluk Kiran. Membiarkan wanita itu menangis dalam pelukannya. Ia merasa kasihan dan ingin memberi kesempatan kepada Kiran untuk sedikit melepaskan beban.
"Jika memang tidak bisa diceritakan, luapkan saja lewat tangisan. Jangan ditahan-tahan lagi, Mbak Kiran," ucap Nunik.
Kiran menuruti perkataan Nunik, ia menangis sejadi-jadinya. Ada banyak hal yang memang membuat dadanya terasa sesak. Selain itu, ia juga harus mempersiapkan diri jika memang pikiran buruknya menjadi kenyataan.
"Sudah mendingan?" tanya Nunik.
Kiran sudah berhenti terisak, tetapi air matanya masih tetap mengalir.
"Enggak ada masalah yang enggak ada jalan keluarnya. Mungkin sekedar berbagi cerita bisa sedikit membuat Mbak Kiran lega," ucap Nunik.
Kiran menunduk sambil sesekali menghapus air mata.
"Mungkin saya terlalu lelah, Bu."
"Kalau begitu, coba istirahat. Minta suami Mbak Kiran jemput."
"Jemput? Sekarang saja saya enggak tau apa yang sedang suami saya lakukan, Bu."
Kiran hendak menelfon Agung kembali, ia penasaran ingin memastikan apa yang sedang suaminya lakukan sampai mendesah seperti itu?Tidak mungkin Agung sedang makan seblak level sepuluh. Kiran tahu, Agung jelas-jelas tidak bisa makan masakan pedas.Ia harus pulang sekarang juga. Namun, ia urungkan mengingat kondisi dompetnya. Lima belas ribu hanya cukup setengah perjalanan saja. Lagipula sepertinya percuma.Jika apa yang ada di otaknya itu adalah sebuah kebenaran, maka hal itu telah terjadi. Kiran percaya akan perasaannya, ditambah lagi dengan analisa yang Nunik katakan.Kiran menghapus air mata kemudian mengucap terima kasih terhadap Nunik atas nasi bungkusnya. Ia bilang, ia hanya kelelahan menghadapi hal ini sendirian. Nunik mengangguk mengerti.Nunik pun minta maaf karena merasa telah melontarkan kata-kata yang membuat Kiran cemas dan meninggalkan Kiran karena ia ingin meli
Jadi apakah benar Agung ada main dengan Caca? pikiran itu kembali membuat Kiran melamun di dalam mobilnya Lukman."Mbak. Mbak Kiran. Enggak jadi turun, Mbak?"Lukman menegur Kiran hingga beberapa kali sampai Kiran sadar."Eh, iya, Pak Lukman. Sudah sampai kan, Bapak bisa turun sekarang.""Lho?""Eh, kenapa jadi saya yang nyuruh Bapak turun dari mobil ya? Duh, maaf ya, Pak. Pikiran saya lagi ruwet."Lukman tertawa kecil melihat tingkah Kiran."Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih juga."Lukman mengangguk dan tersenyum saat Kiran turun dari mobilnya. Namun, belum sempat ia menyalakan mesin mobilnya kembali, Kiran sudah berada di samping mobil sambil mengetuk kaca jendela mobilnya."Ada apa lagi, Mbak Kiran?" tanya Lukman sambil menurunkan jendela mobilnya."Pak L
Lukman menatap kepergian Kiran dengan bingung. Apa maksud Kiran? Apa Kiran mengetahui sesuatu tentang Caca?Lukman memarkir mobilnya kemudian turun. Tidak ada salahnya jika ia sekalian mampir ke tempat Caca karena sudah berada di sini.Lukman memasuki gang, dari kejauhan ia melihat Caca berjalan tergesa sambil membawa kantong belanjaan hingga tidak sempat melihat dirinya. Di belakang Caca, Lukman melihat Kiran berdiri sambil bertolak pinggang."Apa mereka habis berantem, ya?" tanya Lukman pada diri sendiri.Lukman kembali berjalan menuju ke rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pagar, melihat Kiran yang sedang diteriaki oleh pemilik warung."Berarti benar, mereka berantem."Lukman segera masuk ke rumah dan langsung mencari Caca tanpa bersuara. Kepalanya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya.Lukman mendapati Caca sedang berdiri di dep
Berdegup kencang, irama jantung Agung saat ini tidak seperti biasa. Ia kesal, tetapi juga tidak dapat melampiaskan amarahnya atas sikap Kiran yang sedari tadi teriak-teriak, ikut campur urusan rumah tangga orang.Awalnya ia mengira sikap Kiran hanya penyaluran dari kejenuhan karena terlalu lama berada di rumah sakit dan rumah singgah. Namun kini ia sadar, Kiran sedang memojokkan dirinya."Fitnah? Kalau kamu merasa ini fitnah sebaiknya kita dengerin kisahnya Caca. Buktikan! NAMA KAMU DISEBUT APA NGGAK DI SANA???"Bentakkan Kiran tepat di telinga membuat Agung menarik napas dalam. Ia menahan diri agar tidak membalas sikap Kiran. Ia tidak mau memberikan siaran gratis lain kepada tetangganya."Ish ... Apa sih, Mbak Kiran? Nggak mau kalah ya sama Mbak Caca? Ikut teriak-teriak begitu," celetuk Bu Wati.Kiran masih menatap sinis ke arah Agung, mereka saling memberi tatapan saling menyalahkan."Mbak Kiran, m
Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus
"Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tanpa peduli hal lainnya lagi, Kiran segera menarik Agung keluar dari rumah Caca. Kemudian Agung segera mengambil motor dan membawa Kiran ke rumah sakit.Kiran memegang pinggang Agung dengan erat. Kemarahannya meluap, berubah menjadi sebuah ketakutan dan penyesalan. Bagaimana jika semua sudah terlambat? Bagaimana jika nanti ia tidak sempat bertemu kembali dengan Malika."Ampuni, Hamba, Ya Allah. Beri hamba kesempatan bertemu kembali dengan putri hamba."K
Mencintai orang yang salah? Atau menikmati cinta milik orang lain? Bagaimana caranya mengenali perasaan sendiri?Banyak orang bilang, cinta diuji saat pasangan menghadapi kesulitan. Apakah kita akan memilih tetap bersama atau pergi meninggalkannya."Ca, bagaimana keadaan kamu?" tanya seorang lelaki di depan pintu rumah Caca dengan napas tersengal-sengal.Lelaki itu menembus orang-orang yang sedang berkerumun di gang depan rumah Caca.Caca menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.'Dia datang. Bod*h. Bisa saja kita berdua mati di sini,' batin Caca saat melihat wajah laki-laki itu.Caca menggeleng sambil menatap mata laki-laki itu. Satu sisi Caca menyukai kemunculan laki-laki yang ia cintai, dengan begitu, ia tahu bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Laki-laki itu bukan hanya menginginkan tubuhnya saja. Laki-laki itu berani bertanggungjawab atas kebersamaan yang telah mereka lakukan.
Kiran kembali tidur di ruang tunggu dengan perlengkapan seadanya, di depan ruang ICU bersama ibu-ibu lain yang bernasib sama dengannya.Baginya sikap Agung masih penuh dengan teka-teki. Jika memang Agung harus bekerja dua kali, itu memang membuatnya merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Sikap Agung yang menolak Kiran untuk pulang bersamanya malam ini juga masih mengganjal di hati Kiran."Nggak bisa tidur, Mbak Kiran?" tanya Nunik."Eh, iya nih, Bu.""Suster bilang apa tadi?""Besok anak saya dioperasi, Bu," Kiran bangkit dari posisi tiduran dan duduk tetap berselimut.Nunik hanya mengangguk, di sini berita tentang keluar masuk ruang operasi adalah hal yang biasa mereka bicarakan. Hal itu tentu jauh lebih baik daripada membahas tentang pemakaman."Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik ya, Mbak Kiran.""Iya, Bu.""Jangan terlalu khawatir, Mbak. Kita semua