Share

Suara Desahan Suami Saat Aku Telepon
Suara Desahan Suami Saat Aku Telepon
Author: Anggarani

Suara Desahan Suami di Telepon

Kiran berjalan bolak-balik di teras rumah sakit. Sudah pukul satu siang dan ia belum juga mendapat balasan pesan dari Agung, suaminya. Kesal, padahal sudah dari kemarin ia mengirim pesan kepada Agung agar segera mengantarkan uang kepadanya.

Menunggu anak yang sedang dirawat bukanlah hal yang mudah bagi Kiran. Ditambah lagi, ia harus tinggal terpisah dengan suaminya.

Kiran harus menginap di rumah singgah yang lokasinya dekat dengan rumah sakit tempat Malika dirawat. Malika memang tidak selalu menginap di rumah sakit, tetapi kondisinya sering tidak menentu. Seperti saat ini, Malika harus kembali dirawat.

Kiran memutuskan segera menelfon Agung saat melihat keadaan dompetnya yang mengenaskan. Ia terus mengulang panggilan beberapa kali, tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Kiran masih menunggu di jalur telefon sambil melihat kembali isi dompetnya.

"Uangnya enggak cukup buat makan," ucap Kiran saat melihat dompetnya yang hanya tersisa lima belas ribu rupiah.

Pagi tadi, ia harus membeli kebutuhan Malika. Minyak telon, pampers dan yang lainnya. Malika baru saja berumur satu tahun, tetapi hampir enam bulan Kiran terus menemani putri tunggalnya itu di rumah sakit.

Kiran tidak habis pikir, hari ini sudah lewat dari tanggal gajian, tetapi suaminya itu belum juga datang dan mengirim uang. Ini juga bukan yang pertama kalinya. Sejak dua bulan lalu, Agung selalu telat mengiriminya uang.

Kiran terus menghubungi nomor ponsel Agung.

"Mas," panggil Kiran saat telefonnya terhubung.

"Lama banget sih angkat telefonnya, Mas?" lanjut Kiran dengan nada sedikit kesal.

"Hh ... Ng ... Iyyahhh, Kiran."

"Kamu kapan ke sini? Uangku sudah habis nih."

"Hh ... Nan-tih."

"Kamu lagi ngapain sih, Mas?" tanya Kiran dengan penuh kecurigaan.

"Nghh ... enggakh. Ngapah-ngapa ... hin."

"Mas. Mas Agung!"

Panggilan telefon Kiran terputus. Agung menutupnya secara tiba-tiba. Kiran menarik napas panjang, ia berusaha menepis apa yang ada di dalam pikirannya. Apa yang sedang Agung lakukan sambil mengangkat telefonnya tadi? Lalu kenapa tiba-tiba Agung memutuskan telefonnya?

Keadaan Malika yang terkena hidrosefalus adalah cobaan besar dalam kehidupan tiga tahun pernikahan mereka. Bukan hanya dia yang bersabar karena harus terus berada di samping Malika. Kiran yakin, Agung juga ikut bersabar dalam menjalaninya. Namun, Kiran tetap tidak bisa mencegah pikirannya ber-travelling.

'Mas Agung kan enggak punya asma. Apa iya, Mas Agung sedang di WC saat jawab telefonku tadi?' batin Kiran terus terus berusaha menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang positif.

Kiran terus termenung hingga ia tidak menyadari ada seorang ibu yang memperhatikannya.

"Mbak, sudah makan?" tanya ibu itu yang berada di ruang tunggu bersamanya.

Kiran menoleh tetapi tetap terdiam membuat ibu itu memegang bahu Kiran.

"Mbak?" panggil ibu itu lagi.

"Mbak, baik-baik saja kan? Sudah makan?"

"Sudah, Bu," jawab Kiran sekenanya. Ia masih memikirkan suara Agung.

"Tapi anak saya beli dua bungkus nih, Mbak," ucap si Ibu dengan sedikit memaksa.

"Mau ya, Mbak. Ini nasinya enggak akan bisa buat nanti malam. Yuk, kita makan bareng ya."

Kiran menatap ibu itu, perasaannya berada di antara enak dan tidak. Apakah ibu itu memperhatikan bahwa dari semalam ia belum makan?

"Sudah. Kita yang nunggu harus lebih sehat. Kasian anak-anak nanti, enggak ada yang nunggu kalau kita sakit."

Mendengar perkataan ibu itu, Kiran tidak dapat menahan air mata yang meluncur begitu saja. Dengan lembut, ibu tadi menepuk-nepuk bahu Kiran kemudian mengajaknya ke teras.

"Jangan bersedih. Ini semua cobaan, Mbak. Setiap orang mendapatkannya. Hanya bentuknya saja yang berbeda-beda," ujar Si Ibu mencoba menenangkan Kiran.

Mereka duduk di salah satu bangku taman di depan ruang tunggu.

"Kamu selalu sendirian di sini ya, Mbak?"

"Iya, Bu," jawab Kiran.

"Suaminya kerja ya?"

Kiran mengangguk.

"Saya baru melihat Ibu. Pasien baru?" tanya Kiran, mencoba mengalihkan pikirannya.

"Iya. Saya gantiin anak saya. Fitri. Kasian kalau dia enggak pulang-pulang."

Kiran mengangguk. Ia mengenal Fitri. Wanita yang berusia sama dengannya. Mereka juga sering berbincang tentang kondisi anak mereka.

"Ooh, Mbak Fitri. Kamar kami bersebelahan di dalam rumah singgah," ujar Kiran.

"Mbak namanya siapa?"

"Kiran, Bu. Kalau Ibu?"

"Nunik."

"Makasih ya nasinya, Bu Nunik."

Kiran mencoba menelan makanan pemberian Nunik, tetapi hatinya tetap tidak bisa merasa tenang.

"Orang tua Mbak Kiran enggak tinggal di Jakarta?"

Sejak datang ke rumah sakit, Nunik melihat Kiran selalu sendirian. Tidak ada yang menggantikan. Kadang Kiran terlihat sedih dan bingung.

Nunik mengerti apa yang dialami Kiran. Karena ia juga melihat putrinya berjuang seperti Kiran.

"Saya sudah enggak punya keluarga, Bu."

Nunik mengangguk pelan, berusaha mengerti. Suasana hening seketika.

"Suaminya jarang nginep di rumah singgah, Mbak?" tanya Nunik.

"Dulu aja, Bu. Pas awal. Tapi karena dia harus kerja, saya suruh dia pulang. Soalnya kantornya lebih dekat dari rumah jaraknya."

"Di rumah singgah, kita tinggal bersama dengan keluarga pasien lainnya. Walau disediakan kamar untuk masing-masing keluarga, tapi tetap saja jika ada waktu, sebaiknya kamu sempatkan diri untuk pulang menemui suamimu."

Kiran meremas bungkus nasi yang telah selesai ia makan kemudian mengepalnya dengan erat.

"Apa mungkin?" ucap Kiran lirih.

Pikiran Kiran semakin runyam. Berbagai kemungkinan mulai membayangi otaknya. Apa mungkin suaminya melakukan hal yang tidak ia inginkan?

Kondisi pernikahan mereka saat ini sudah sangat menyedihkan. Apalagi jika sampai hal yang Kiran takutkan benar-benar terjadi.

'Apa yang harus aku lakukan?' batin Kiran. Air mata tiba-tiba meluncur di pipinya tanpa permisi.

Nunik memandang ke arah Kiran.

"Lho? Kenapa, Mbak?" Nunik bingung melihat ekspresi wajah Kiran yang berubah tegang dan menangis.

"Makanannya enggak enak? Atau? Astaga! Saya salah ngomong ya, Mbak?" Nunik kembali panik, melihat air mata Kiran yang kembali mengalir.

Nunik segera memeluk Kiran. Membiarkan wanita itu menangis dalam pelukannya. Ia merasa kasihan dan ingin memberi kesempatan kepada Kiran untuk sedikit melepaskan beban.

"Jika memang tidak bisa diceritakan, luapkan saja lewat tangisan. Jangan ditahan-tahan lagi, Mbak Kiran," ucap Nunik.

Kiran menuruti perkataan Nunik, ia menangis sejadi-jadinya. Ada banyak hal yang memang membuat dadanya terasa sesak. Selain itu, ia juga harus mempersiapkan diri jika memang pikiran buruknya menjadi kenyataan.

"Sudah mendingan?" tanya Nunik.

Kiran sudah berhenti terisak, tetapi air matanya masih tetap mengalir.

"Enggak ada masalah yang enggak ada jalan keluarnya. Mungkin sekedar berbagi cerita bisa sedikit membuat Mbak Kiran lega," ucap Nunik.

Kiran menunduk sambil sesekali menghapus air mata.

"Mungkin saya terlalu lelah, Bu."

"Kalau begitu, coba istirahat. Minta suami Mbak Kiran jemput."

"Jemput? Sekarang saja saya enggak tau apa yang sedang suami saya lakukan, Bu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
helfi aristika
kenapa dari kemaren2 selalu dapet rekomendasi cerita novel yg suami selingkuh si.. aku kan jadi takut nikah huh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status