Suara Hantu di Kamar Tamu
Part 5 : Hantunya takut sama papa
Ah, ribet juga cara menggunakan kamera CCTV ini. Katrok sekali aku, capek ke aku dong kalau terus bolak-balik copot pasang nih kamera. Kenapa nggak kuhubungan ke laptop atau ponsel aja? Nah, ‘kan karena teror hantu itu aku jadi nggak bisa mikir dengan cerdas begini. Browsing saja dulu kalau gitu, mau nanya teman, malu juga entar diledekin.
Setengah jam mengotak-atik, akhirnya selesai juga. Kenapa baru terpikir sekarang? Nanti sore akan kupasang kembali benda kecil ini dan aku akan memantaunya lewat ponsel atau laptop dan tak akan repot bongkar pasang lagi. Aku tersenyum simpul.
‘Tok-tok’ terdengar ketukan dari depan pintu ruanganku. Aku segera bangkit dan membuka pintu. Terlihat Mis Jutek atau Vika Putri di depan pintuku. Mau apa dia? Apa mau ngasih kerjaan lagi, tugas dari Pak Sofian saja belum selesai kukerjakan.
“Ya, Mbak Vika, ada apa?” tanyaku dengan mengerutkan dahi.
“Hmm ... Pak Radit, anda benaran sedang sakit? Kok tidak keluar makan siang? Ini saya ada bawakan nasi rames dari kantin.” Dia mengulurkan satu kotak makan siang untukku.
Wooww ... amazing sekali ini, kalau Hilman melihat ini, dia pasti rela membeli nasi bungkus ini seharga berapa pun. Aku tertawa jahat dalam hati.
“Pak Radit, kok malah melamun? Ya sudah, saya pergi dulu.” Wanita bertubuh langsing itu bergegas meninggalkanku yang masih menyunggingkan senyum.
Ah, ya sudah, anggap saja ini rezeki siang. Lumayan, hari ini bisa hemat ongkos makan siang. Segera kututup pintu ruangan kerja dan menikmati makan siang pemberian manager cantik namun jutek. Eh, salah, sekarang dia sudah berubah baik. Mungkin ini sinyal kalau dia mulai mau membuka hati, akan kusuruh Hilman untuk kembali mendekatinya. Mungkin dia menyesal telah menolak temanku itu. Mereka cocok kok, kudoakan semoga berjodoh.
******
Setelah istirahat makan siang, segera kuselesaikan pekerjaan dari Pak Sofian. Sedangkan tugas laporan bulan depan akan kukerjakan di rumah saja. Sebenarnya aku paling malas membawa pekerjaan pulang ke rumah tapi ini demi hantu yang meneror anak-anakku, demi memasang CCTV itu.
Pukul 17.00, aku sudah berada di mobil untuk menuju pulang. Jalanan lumayan ramai hari ini, aku tak bisa mengebut. Yang jelas, sebelum tengah malam, aku harus sudah mengembalikan kamera CCTV ini ke kamar tamu dan berharap hantu itu masuk jebakan.
Saat mobilku tiba di depan rumah, jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah 18.15. segera kumasukan mobil ke garasi dan mengetuk pintu.“Eh, Papa,” sambut Arsha.
“Iya. Kok sepi, lagi pada ke mana?” tanyaku sambil melepas sepatu.
“Ada di dalam, Pa. Mama lagi ngasih Arshi makan, Arka dan Om Riko lagi main Playstation tuh di ruang tv,” jawab Arsha.
Aku hanya mengangguk, lalu segera menuju kamar untuk mandi dan menunaikan sholat magrib.
Setelah berganti pakaian, segera kuambil benda kecil itu dari dalam tas kerja lalu keluar dari kamar dan melangkah menuju kamar tamu. Dengan cepat segera keletakkan kamera itu di meja rias, diantara parfum dan minyak rambut. Semoga hantu yang suka bikin gaduh itu tertangkap biar kupanggilin Pak Ustad Bumi dan dimasukin botol.
Setelah misi selesai, aku segera menutup kembali pintu kamar tamu. Pintu kamar Arsha terlihat terbuka, ia sedang duduk di depan meja belajar.
"Hay, lagi ngapain ini?" sapaku padanya.
"Eh, Papa, Arsha lagi ngerjain PR," jawab putri pertamaku itu.
"Eh, gimana tadi malam ... apa ada suara hantu dari kamar tamu?" tanyaku sambil duduk di atas tempat tidurnya.
Arsha terlihat sedang mengingat-ingat lalu menjawab, "Malam ini aman, Pa, nggak ada suara hantu."
"Oh, ya?" Aku menautkan alis.
"Pa, suara aneh-aneh dari kamar tamu itu terdengar kalo pas papa nggak ada atau juga pulang larut aja. Kalo papa pulang awal, hantu itu nggak datang, mungkin takut sama papa." Arsha berkata dengan raut serius.
Oh begitu, aneh juga ini hantu. Lagi-lagi dahiku dibuat berkerut. Akan tetapi, tak lama lagi hantu itu akan tertangkap kamera CCTV, jadi aku bisa mengambil tindakan.
"Biar nggak digangguin hantu, sebelum tidur itu berdoa dulu," ujarku.
"Pa, hantu yang di kamar tamu itu nggak mempan biar udah dibacakan doa juga. Waktu itu Arsha udah pernah bacain ayat kursi, tapi nggak ngefek. Coba panggilin Pak penghulu deh, Pa!" ujarnya dengan antusias.
"Arsha, masa Pak Penghulu, Pak Ustad kali?" Aku tersenyum.
"Eh, iya, Pa, maksudnya Pak Ustad." Arsha menutup mulutnya.
"Okelah, nanti kita bicarakan lagi. Ngomong-ngomong, mamamu mana? Papa belum ada ketemu dia dari pulang kerja." Aku bangkit dari tempat tidur bermotif hello kitty itu.
"Nggak tahu, Pa, mungkin lagi di dapur nyiapin makan malam," jawabnya sambil menutup buku pelajaran dan menggandeng tanganku.
Aku melangkah keluar dari kamar Arsha lalu mengggandengnya menuju dapur. Akan tetapi, langkahku terhenti saat mendengar suara orang berbicara dari arah tangga.
"Arsha, kamu duluan ke meja makan," ujarku.
Di ujung tangga, terlihat Riko dan Syilvina sedang rebutan ponsel. Ada apa ini?
"Syil!" panggilku sambil mendekat pada mereka.
Sontak, keduanya berhenti rebutan ponsel, mereka terkejut. Syilvina berhenti menarik ponsel Riko.
"Bang!" Syilvina mendekat. "Aku nyariin Abang, dicariin di kamar malah nggak ada, nanya sama Riko ... dia juga nggak tahu."
"Tadi Abang dari kamar Arsha, ngobrol sama dia. Kalian kenapa tadi ... rebutan ponsel gitu?" Aku menatap keduanya bergantian.
"Hmm ... Mbak Syil maksa mau liat foto pacar Riko, Bang. Rese banget 'kan istri Abang itu!" Riko terkekeh.
"Jadi kamu udah punya pacar, Rik? keluar dulu yang benar, jangan mikirin pacaran melulu. Awas saja kalo IP kamu nggak nyampai 3 pas naik semester nanti!" ancamku padanya sambil menggandeng pinggang Syilvina dan meninggalkan Riko yang masih berdiri di ujung tangga.
"Arshi mana, Sayang?" tanyaku.
"Itu lagi nonton film kartun sama Arka."
Kami langsung menuju dapur lalu makan malam. Menu malam ini makanan kesukaan Riko, dia begitu bersemangat makannya. Semuanya dengan tema pedas, ada tahu mercon, sambal udang pacri nanas, ikan bakar saos pedas. Alhasih, aku hanya makan ayam goreng campur kecap saja karena aku tak suka makanan pedas.
"Maaf, ya, Bang, aku kira Abang pulang larut, makanya nggak masakin makanan kesukaan Abang." Syilvina terlihat merasa bersalah.
"Nggak apa," jawabku pelan sambil menyuap nasi ke mulutku.
***
Malam ini aku lembur di ruang tamu, menyelesaikan laporan bulanan karena harus pulang awal tadi sore. Syilvina sudah tidur mengeloni Arshi di kamar kami, malam ini kami akan tidur bertiga.
Seperti yang dikatakan Arsha, kalau aku ada di rumah, maka kamar tamu yang pojok itu aman dan tak terdengar suara apa pun. Sepertinya besok aku tak pulang saja, mau menginap di mes kantor sambil memantau apa yang terjadi di kamar itu. Hantu ini bikin penasaran saja.
Bersambung ....
Suara Hantu di Kamar TamuPart 6 : Notifikasi CCTV[Sayang, malam ini Abang nginap di mes soalnya bakal lembur sampai larut malam. Titip anak-anak, ya! I love you.] Kukirimkan pesan itu kepada Syilvina biar dia nggak nungguin aku malam ini.[Iya, Bang. I love you too.] Aku tersenyum senang pesanku langsung dibalas olehnya.[Jangan lupa kunci pintu! Kalau ada apa-apa, segera hubungan Abang.] Kembali kutekan tombol send.[Iya, Bang.]Segera kusimpan ponsel dan kembali melanjutkan pekerjaan. Laporan ini harus selesai sebelum malam, biar nanti aku bisa mengamati hantu penunggu kamar tamu itu.Saat adzan magrib telah berkumandang, segera kukemaskan tas kerja dan tak lupa mengambil kunci mes. Suasana kantor sudah sepi, kulangkahkan kaki menuruni anak tangga lalu menuju parkiran. Bangunan Mes tepat bersebelahan dengan kantor, aku langsung mengemudikan mobil memasuki halaman bangunan berlantai tiga itu. Sekilas, mes itu terlihat seperti hotel. Hanya terdapat kamar yang cukup luas, ada 50 kam
Suara Hantu di Kamar TamuPart 7 : Penemuan TestpackSaat tiba di mes, mataku terasa sudah sangat berat. Dengan menahan kantuk, kusetel alarm pukul 07.00, agar tak kesiangan lagi karena sekarang sudah pukul 03.00. Aku hanya punya waktu untuk tidur empat jam saja, lumayanlah untuk menghilangkan penat.Rasanya belum lama mata ini terpejam, alarm ponselku sudah berdering nyaring. Mau tak mau, aku bangun juga. Ah, lagi-lagi aku absen sholat subuh. Ampuni aku, Tuhan.Pukul 08.00, aku telah tiba di kantor. Hari ini kantor sepi karena libur, hanya karyawan yang lembur saja yang masuk.Aku segera masuk ke ruangan kerja dan mengambil satu bundel laporan yang sudah kuprint tadi malam. Semoga tak ada masalah agar aku bisa segera pulang. Aku sudah kangen rumah, kangen anak-anakku juga istriku yang cantik."Terima kasih, Pak Raditya, kamu memang karyawan andalan saya. Laporan bulanan selalu tepat waktu, pertahankan terus kinerja kamu. Bulan depan kamu akan dapat promosi jabatan. Bonus bulan ini ak
Suara Hantu di Kamar TamuPart 8 : Hantunya TertangkapSyilvina, Riko, kalian memang hantu! Umpatku kesal, dengan rahang yang mengeras dan mengepalkan tinju. Dada ini terasa begitu sakit dan tanpa terasa, air mata meleleh begitu saja. Hah, aku menangis! Aku tertawa dalam kepedihan. Mungkin tak ada sejarahnya seorang pria menangis dan ini hanya ada di dalam cerita sinetron udang terbang tapi aku nyata mengalami hal ini. Sekuat apa pun lelaki, tapi jika hatinya terlalu sakit, maka menetes juga air mata.Ini sungguh tak masuk akal, adik kandungku berselingkuh dengan istriku. Kukira kisah seperti ini hanya ada di dalam cerita novel dan film saja. Tega, mereka sungguh tega dan tidak punya otak! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kuusap pipi lalu bangkit dari tempat tidur kemudian meraih jaket, dompet serta kunci mobil. Aku tak bisa berpikir jernih saat ini, aku harus menenangkan diri. Ini masalah besar, aku tak boleh salah dalam bertindak.Dengan menahan amarah, aku keluar dari kamar dan m
Suara Hantu di Kamar TamuPart 9 : Ini AIB"Nikahkan mereka, Pak Penghulu!" ujarku sambil mengakhiri video itu dan menyimpan ponsel ke saku celana."Bang, ampuni Riko, Bang!" Riko langsung luruh ke lantai sambil memeluk lututku."Bang, jangan lakukan ini!" Syilvina juga berlutut di kaki ini."Maafkan Riko, Bang, Riko memang salah tapi jangan nikahkan kami!" Riko terlihat menangis di kakiku."Bang, maafkan aku, Bang! Aku khilaf .... " Dia wanita jalang itu ikut menangis juga."Bangun kalian! Jangan sentuh aku!" Aku mundur ke belakang dan menghindar dari sentuhan kedua menusia terkutuk itu."Bang!" Syilvina menatapku dengan wajah yang sembab, ia mencoba merayu dengan air mata tapi hati ini sudah terlanjur terluka dan tak akan pernah bisa memaafkan kesalahan fatal ini."Duduklah di depan Penghulu! Kalian akan kunikahkan malam ini juga," kataku lirih sambil memalingkan wajah."Tidak, Bang, jangan lakukan ini!" Riko bangkit dan menghampiriku, sepertinya dia ingin bernegosiasi.Kuarahkan ta
Suara Hantu di Kamar TamuPart 10 : Pernikahan Tidak Sah“Maaf, Mas Radit, saya tetap tidak berani menikahkan saudara Riko dan saudari Syilvina, sebab pernikahan ini hukumnya tetap haram. Saya tidak mau berdosa karena pertanggungjawaban ini begitu besar,” ujar Pak Penghulu itu dengan suara berat.“Saya yang akan menanggung semua dosanya dan saya yang akan bertanggung jawab. Pak Penghulu hanya bertugas menikahkan saja, saya mohon.” Aku duduk di hadapan tiga pria paruh baya itu, berharap mereka mengabulkan keinginan gila ini.Lagi-lagi ketiga pria itu saling pandang. Kukeluarkan sebuah amplop tebal yang isinya ada sepuluh juta dan kuletakkan di hadapan Pak Penghulu dan dua saksi.“Ini bukan uang sogokan, hanya sekedar ucapan terima kasih saja. Hal ini hanya akan menjadi rahasia kita berenam dan tak ada yang akan tahu. Intinya, Syilvina dan Riko harus menikah malam ini juga,” ujarku pelan namun penuh penekanan."Siapa yang akan menjadi wali nikah mempelai wanita?" tanya Pak Penghulu lagi
Suara Hantu di Kamar TamuPart 11 : Hari Tanpa SyilvinaSaat aku membuka mata, ternyata anak-anak sudah berada di dekatku. Ya Tuhan, ternyata aku telah tertidur di sopa ruang tamu.“Papa kok tidur di sini sih?” tanya Arka, menatapku dengan mata bulatnya.“Sttt!” Arsha langsung mencubitnya. Arka meringis dan melototi sang kakak.Aku langsung bangun lalu melenturkan tubuh, sendi-sendi rasanya sakit semua.“Udah pukul berapa sekarang, Sha?” tanyaku kepada Arsha yang sedang memangku Arshi.“Pukul 09.00, Pa,” jawab Arsha, wajahnya terlihat murung. Apakah dia mendengar masalah tadi malam?“Pa, lapar ... Mama mama sih? Dicariin di kamar juga nggak ada .... “ Arka yang emang selalu minta makan pas matanya melek mengelus perutnya sambil celingukan.“Mama mana, Pa? Aci mau mama .... “ rengek Arshi sambil merentangkan tangannya, meminta aku menggendongnya.“Hmm ... mama ... tadi pagi-pagi sekali ... mama ... hmm ... berangkat ke rumah oma dan opa, hah ... iya ... mama pergi ke sana .... “ Aku te
Suara Hantu di Kamar TamuPart 12 : POV ArshaSudah lima hari pasca kepergian mama dan Om Riko. Aku paling gemes dengan Arka yang selalu menanyakan mama setiap saat, tanganku sudah capek mencubit perut gembulnya. Yang paling kasihan itu Arshi, dia suka nangis tiba-tiba saat ingat mama. Apalagi dia tidak suka dengan Mbak Icha, baby sitter yang sudah tiga hari ini menjaganya saat aku pergi ke sekolah. Ada Mbok Munah juga, dia wanita paruh baya, pembantu yang dipekerjakan papa.“Kak, mama kok nggak pulang-pulang sih?” Arka menghampiriku yang sedang menemani Arshi bermain boneka barby.Tanpa menjawab pertanyaannya, langsung kupelototi dia dan mencubit mulutnya. Berharap Arshi tak mendengar kata “mama” yang disebutnya, karena bocah berusia tiga tahun itu akan langsung menangis saat mendengar kata mama.“Kok nyubit-nyubit sih? Kakak kayak mak lampir!” teriak Arka dengan marah.Ih, nih anak mau dilakban kali mulutnya! Kutarik dia keluar dari kamar, lalu mengajaknya ke depan televisi.“Arka,
Suara Hantu di Kamar TamuPart 13 : POV Riko (Flashback Malam Petaka)Dengan tanpa arah dan tujuan, kupacu sepeda motor ini membelah jalanan di tengah malam ini. Mbak Syil duduk diboncengan belakang, ia tak bersuara sama sekali. Kami sama-sama diam sejak tadi dan tak ada yang berani memulai pembicaraan.Pikiranku terus berkelana, peristiwa beberapa jam yang lalu itu terus berputar di kepala. Aku tak pernah membayangkan hal ini dan tak pernah terpikirkan sebelumnya akan mengalaminya.“Rik, kita mau ke mana?” Mbak Syil memukul pelan bahuku.Aku melambatkan laju sepeda motor dan menoleh ke belakang, wajahnya terlihat sembab dengan air mata yang masih menggenang.“Aku nggak tahu juga, Mbak, mau ke mana,” jawabku pelan.Di ujung jalan, terlihat papan sebuah penginapan. Aku langsung membelokkan motor ke sana. Sebaiknya kami menginap di sana dulu malam ini, besok baru dipikirkan lagi bagaimana rencana selanjutnya.Mbak Syil hanya menurut saja saat aku mengajaknya masuk ke penginapan itu. Beb