Share

Bayang-bayang

            Mardian menyadari kelelahannya. Dia lapar, kedinginan, sesak napas, dan yang lebih buruk dari itu dia mulai merenung. Mungkinkah aku telah mengabaikan sesuatu, sesuatu yang aku telah gagal memahaminya? Suara Kolonel Sudarto terngiang di telinganya, “Seandainya kau berani mengakuin, sebenarnya kau merasa bahagia terbebas dari ayah yang membebanimu itu.” Ayahku segalanya bagiku, Mardian menegaskan pada dirinya sendiri. Ayahku adalah alasan untukku tetap hidup, berjuang, menegakan keadilan. Ayahkulah sebab aku melakukan kejahatan. Kegelapan yang menyelimuti tubuh Mardian terasa dingin dan tebal.

            “Menjijikan!” Parta tiba-tiba melompat dari pikirannya. “Kau menjadikan ayahmu kambing hitam untuk kesalahan yang kau buat sendiri.”

            “Semua orang tahu aku  sangat menyayangi ayahku, keparat!”

            Parta tertawa keras. “Tidak, tidak. Kau sama sekali tidak menyayangi ayahmu. Kau membencinya. Tetapi, kau menutupi kebencianmu itu dan tak pernah mau mengakuinya.”

            Mardian mengerutkan bibir. “Jangan menghakimiku, Parta. Kuperingatkan kau.”

            Parta tertawa lebih keras lagi. “Memang apa yang bisa kau lakukan, heh? Membunuhku?”

            “Lebih buruk lagi. Aku akan membuatmu berdoa kepada Tuhan.”

            “Aku bukan Marni kekasihmu yang lemah dan pengkhianat. Aku tidak akan pernah menodai kesucian ideologi partai dengan berdoa apa pun yang terjadi.”

            Tubuh Mardian bergetar menahan amarah. Dia mengepalkan kedua tangannya seakan-akan untuk menghancurkan kekuatan jahat yang mengalir dalam pembuluh darahnya. “Kuperingatkan kau untuk terakhir kali. Jangan—”

            “Aku tidak sedang menghakimimu, Kawan. Semua yang kukatakan adalah kebenaran yang tidak mau kau akui.”

            “Tutup mulutmu, bangsat!” Mardian meloncat, menerkam lelaki yang berdiri di hadapannya bagaikan binatang buas. “Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, ayahku, ataupun Marni. Kau sama sekali tidak tahu.”

            “Aku tahu segalanya. Termasuk sepatu merah muda pelacurmu itu.”

            Mardian menahan napas, mencoba untuk tidak mengingat apa yang dulu pernah dia lakukan bersama Marni di pematang sawah. Sebagai gantinya dia berpikir tentang kunang-kunang yang berterbangan di atas rerumputan yang kering dan tinggi, angin yang berkesiur, bulan yang mengambang, malam yang bersih. Tapi Mardian menatap seluruh semesta menjelma perempuan. Marni. Tubuhnya adalah kunang-kunang yang memberi bulan cahayanya, pesonanya, keajaibannya. Rambutnya ialah rerumputan kering yang mengombak seirama angin berembus. Dan wajahnya bulan keemasan yang merekah hidup. Petir seakan menyambar dalam darah Mardian, lambungnya bergolak, tapi dia tetap mengambil sepatu merah muda berhak tinggi itu.

            “Seharusnya kau tidak datang ke sini. Akan sangat berbahaya bagimu jika sampai ada yang melihat.”

            “Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi,” ujar Marni. Tubuh mudanya berbicara dalam bahasanya sendiri, meneguhkan satu-satunya alasan mengapa dia ada di sana menemui kekasihnya.

            “Aku tahu, tapi kau harus sedikit lebih bersabar sampai aku—” mata Mardian bertemu mata Marni. Hatinya bergetar. Dia merasa mual, demam, dan tercabik oleh gairah di luar nalar.

            Marni meraih tangan kanan Mardian dan mendekatkan ke mulutnya; napasnya terasa hangat dan lembut. “Sejak Bung meninggalkan kota, setiap malam aku memperkirakan di mana Bung berada dan bagaimana caranya menuju ke sana.”

            Mardian memejamkan matanya, tak ingin melihat celah bumi di bawah kaki mereka. Suara Marni mengingatkannya pada padang rumput tak bertepi, kerimbunan hutan yang muram, dan kesendirian tak terperi. Kemudian, dia mendengar dirinya sendiri berbisik, “Aku pun sangat mencintaimu. Karena itulah aku melarangmu menemuiku di sini. Aku tidak mau sesuatu yang buruk sampai terjadi.”

            “Aku mengerti. Tapi untuk sekali ini saja, untuk membalas jarak yang telah memisahkan kita, untuk mengejek takdir, Tuhan, dan keadaan. Sekali ini saja, mari jadi anarkis untuk menenggelamkan dan mengenyahkan dunia ke dalam pusat badai alam semesta. Sekali ini saja, kumohon.” Marni menelusupkan tangan kiri Mardian ke bawah pinggangnya. Senja menggelinjang. Sepatu di tangan kanan Mardian jatuh ke parit. Awan bergulung naik. Angin mendesah. Adam dan Hawa mendekati pohon buah khuldi, memetik buahnya lalu menikmatinya bersama. Tuhan murka. Iblis tertawa. Tapi itu bukan tawa iblis, itu tawa Parta.

            “Kau telanjang, Kawan. Kau telanjang!”

            Mardian melepaskan cengkeraman tangannya. Dia teringat Ana. Teringat janjinya. Perasaan terhina bagaimanapun sulitnya untuk ditutupi harus dikesampingkan. “Ya, kau benar. Aku memang telanjang. Tetapi dalam ketelanjanganku ada cinta yang utuh. Sesuatu yang tidak pernah atau dapat kau miliki selama hidupmu.”

            “Lihat, Ana, aku memenuhi janjiku. Aku mampu mengesampingkan amarahku. Meskipun aku tahu penghinaan ini tidak termaafkan.”

            Ana mengembuskan asap sigaretnya sambil tersenyum. “Saya tahu janji Bung dapat dipegang, dan saya tahu keutuhan perasaan Bung yang begitu mendalam. Bung benar. Penghinaan yang dilakukan Parta memang tidak termaafkan. Seseorang yang berani menghina keutuhan cinta telah dengan lancang menghina kemanusiaan.” Ana mendongak, menatap gumpalan asap kelabu yang keluar dari mulutnya. “Manusia dinamakan manusia karena memiliki cinta. Cinta adalah identitas diri manusia. Kemanusiaannya. Orang yang berani menghina cinta, melecehkan dengan kurang ajar, benar-benar tak bisa dimaafkan!”

            “Aku tidak menyangka seseorang sepertimu memahami cinta, Ana.”

            “Jangan mengejek, Bung. Bukan berarti karena saya tidak pernah memiliki kekasih saya tidak memahami cinta. Saya memahami cinta seperti saya memahami kematian.”

            “Kau membuatku ingin tertawa, Kawan. Cinta itu omong kosong melodramatis yang menggelikan.”

            “Lelaki malang. Semut yang kecil pun tahu benar bahagianya mencinta dan dicinta. Tapi kau tidak. Kasihan sekali.”

            “Bangsat!” Parta berlalu meninggalkan Mardian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status