Suatu Senja di Tanah Senja

Suatu Senja di Tanah Senja

Oleh:  Susan S  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 Peringkat
61Bab
3.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Ini memang hanya sebuah karya fiksi. Namun begitu .... Baginya membunuh adalah cara untuk mengekspresikan cinta termanis dan kasih sayang. Karena itu, satu pembunuhan tidak pernah cukup. Ini memang hanya sebuah karya fiksi. Namun begitu ....

Lihat lebih banyak
Suatu Senja di Tanah Senja Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Marina Sulistia
Ceritanya penuh tamparan tamparan hidup. Hiks. Bacanya itu ngena banget di hati.
2021-10-23 11:06:44
0
user avatar
Amanda Syiefa
keren kak lanjuut
2021-10-14 18:48:27
1
user avatar
Shell
Bagus bangetttt. Aku tersentuh bacanya. Mo nangis. Hikssss. Mardian kasian banget
2021-09-21 21:58:18
1
user avatar
Shell
Ceritanya makjleb banget.
2021-09-15 15:11:53
2
61 Bab
Prolog
Baginya membunuh adalah ekspresi cinta termanis, hasrat terdalam dan semangat hidup. Karena itu satu pembunuhan tidak pernah cukup. “Apa katamu?”“Jangan bunuh saya. Saya berjanji akan mengatakan segalanya pada Anda. Saya mohon, Sir.” Drake Sloan mengiba. Pria bermata biru cerah itu tertawa renyah. Dia mengeluarkan kamera saku dan berkata, “Aku datang ke sini karena aku ingin membuat sebuah dokumentasi dan aku perlu bantuanmu.”Drake menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tidak percaya. Apa dia bercanda? “Jangan khawatir, ini tidak akan memakan waktu lebih dari dua menit. Kau hanya perlu memperkenalkan dirimu dan sedikit pendapatmu mengenai Lara Cameron. Aku akan merekam dari dekat pintu.” Drake Sloan menjadi benar-benar bingung sekarang. Awalnya dia mengira jika Dammon datang untuk membunuhnya karena pengkhianatan yang dia lakukan. Mike sudah tertangkap dan menghilang. Mereka pasti telah melenyapkan Mike. Drake tahu dengan baik apa hukum tak tertulis para pencuri huku
Baca selengkapnya
Bab 2
Jhon Slade tertawa lalu berbalik untuk membuka kunci pintu. Saat terdengar bunyi klik dari pintu, tiba-tiba saja lututnya terasa bergetar dan lemas. Dengan tak acuh dia menarik gagang pintu dan membukanya. Saat pintu terbuka kepalanya mendadak terasa pusing, pandangannya pun mengabur. Jhon memaki Tomm Lylod untuk cepat. Namun, baru saja dia melangkah keluar pintu, dia ambruk dalam genangan darahnya. Jhon merasa heran kenapa ada darah di sana dan kenapa sekujur tubuhnya sedikit demi sedikit mati rasa. Dia baru menyadari apa yang terjadi saat mencium samar bubuk mesiu di udara. Tomm Lylod ingin membunuhnya. Dia menembak dari belakang. Sialan! Rupanya dia ingin menguasai sepuluh juta dolar itu seorang diri. Maki Jhon dalam hati. Benar-benar bangsat sialan. Setelah memasukkan kembali revolver ke saku jas dalamnya yang sebelah kiri Tomm Lylod berjalan menghampiri Jhon. Dengan tenang dia berjongkok di samping pria yang sedang sekarat itu lalu tersenyum misterius. “Jangan salahkan aku. Kau
Baca selengkapnya
Bab 1
“Menyenangkan sekali bukan, Drake?” ujar Dammon penuh kemenangan. “Kau tentu tahu dengan baik jika membunuh memberi kepuasan tak terhingga untukku.”Drake Sloan menatap Dammon penuh kebencian. Bibirnya bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. Namun tidak ada satu patah kata pun yang keluar. “Sampai bertemu di neraka, bangsat!” Dammon mengedipkan sebelah matanya lalu mematikan kamera dan berbalik pergi. Beberapa mil jauhnya dari apartemen Drake, John Slade mengertakkan rahang kuat-kuat. “Habislah riwayatmu kali ini, keparat!” desis John. “Aku akan mengumpankanmu. Kau akan jadi santapan empuk Edy dan Hakim Wild di pengadilan.”“Jangan senang dulu, Jhony. Apa kau lupa kita sedang berhadapan dengan siapa? Dammon adalah setannya pencuri hukum. Jika kita gegabah, salah perhitungan sedikit saja kita yang akan tamat, Jhony. Kita yang akan jadi babi panggang.” Tomm Lylod mengingatkan temannya. Pria berkulit hitam berambut ikal yang berusia pertengahan tiga puluh tahun itu tersenyum sinis. “
Baca selengkapnya
Kejujuran
Orang telah melupakan siapa namanya. Dia biasa dipanggil Pak Mantri karena dia seorang mantri pasar di desa itu. Pria paruh baya bertubuh kurus dan berwajah cekung itu merupakan salah satu tokoh penting di Pada Suka. Selain karena kepriyayiannya, Pak Mantri menjadi terkenal karena kemurahan hatinya meski kepada seorang gila sekalipun. Dia bahkan dengan senang hati memelihara Karman tanpa pernah memandangnya sebagai orang yang hilang akal. Tak ada yang tak mengenal si gila Karman di Pada Suka. Lelaki berambut kemerahan yang suka memaki-maki siapa saja yang dia temui di masjid. Karman bukanlah orang jahat, tidak bisa dikatakan dia ini jahat. Masa lalunya yang kelamlah yang membuatnya tidak beradab. Suatu hari pernah Mardian menyaksikan bagaimana orang gila itu memaki orang-orang di surau dan mendebatnya dengan mengesankan. “Hei manusia-manusia bodoh, pulanglah kalian! Tuhanmu tidak mabuk disembah, Tuhanmu tidak mabuk pujian. Pulanglah, urusi saja perut keluarga kalian!” “Orang gila,
Baca selengkapnya
Bayang-bayang
Mardian menyadari kelelahannya. Dia lapar, kedinginan, sesak napas, dan yang lebih buruk dari itu dia mulai merenung. Mungkinkah aku telah mengabaikan sesuatu, sesuatu yang aku telah gagal memahaminya? Suara Kolonel Sudarto terngiang di telinganya, “Seandainya kau berani mengakuin, sebenarnya kau merasa bahagia terbebas dari ayah yang membebanimu itu.” Ayahku segalanya bagiku, Mardian menegaskan pada dirinya sendiri. Ayahku adalah alasan untukku tetap hidup, berjuang, menegakan keadilan. Ayahkulah sebab aku melakukan kejahatan. Kegelapan yang menyelimuti tubuh Mardian terasa dingin dan tebal. “Menjijikan!” Parta tiba-tiba melompat dari pikirannya. “Kau menjadikan ayahmu kambing hitam untuk kesalahan yang kau buat sendiri.” “Semua orang tahu aku sangat menyayangi ayahku, keparat!” Parta tertawa keras. “Tidak, tidak. Kau sama sekali tidak menyayangi ayahmu. Kau membencinya. Tetapi, kau menutupi kebencianmu itu dan tak pernah mau mengakuinya.”
Baca selengkapnya
Rahasia Masa Lalu
Setelah mendapatkan kebebasaannya Mardian menetap di kota, menyewa sebuah kamar mungil dan menghidupi diri dari uluran tangan seorang paman. Dia tak kenal seorang pun di kota itu, dia tak punya lingkaran pertemanan, tak menjadi bagian kelompok mana pun, dan memang itu yang dia inginkan. Menarik diri dan menjaga jarak dari dunia dan kehidupan di atasnya. Seorang lelaki pincang bermulut seperti moncong serigala adalah satu-satunya tamu yang sesekali datang mengetuk pintu kamarnya. Lelaki itu berusia pertengahan dua puluh, tetapi, bahunya telah bungkuk dan wajahnya tampak lebih tua. “Izinkan aku masuk, kawan,” ujarnya. “Ini aku. Tidakkah kau mengenali suaraku?” “Enyah! Pergilah, Parta! Aku tak ingin bertemu bangsat sepertimu!” teriak Mardian. “Ada yang ingin kujelaskan padamu. Banyak hal. Kita harus bicara.” “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Pergi dari pintuku.” “Kau tidak mengerti. Bukalah, kawan! Izinkan aku masuk.”
Baca selengkapnya
Komedi Kehidupan
            Malam hari itu Mardian melewati setiap menit yang berlalu dengan gelisah, disela oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan. Dia bangkit dan mulai mondar-mandir di kamar tidurnya. Mengapa kedua kelopak mataku bergetar? Mengapa kedua tanganku mengepal kuat? Dia mengatupkan rahang, terus mondar-mandir membentuk lingakaran kecil.               Bagaimana mungkin ayah tega menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Apakah aku tidak berarti baginya, apakah ayah tak mempercayaiku? Apa pun itu, ayah benar-benar kejam padaku. Tapi, apa salahku? Mardian mengepalkan tangan semakin kuat. Kemudian dia melangkah dengan gontai menghampiri jendela, membukanya lebar-lebar. Dia mencondongkan tubuhnya keluar. Pandangannya menyapu lorong jalanan sempit yang sunyi dan gelap. “Apa yang sebenarnya mau-Mu, Tuhan?!” dia berteriak. “Kau telah mengambil masa mudaku, kemerdekaanku,
Baca selengkapnya
Belenggu
            Parta mengetuk pintu sore berikutnya. Dia membawa makanan, pakaian, dan buku. Caci makinya tumpah begitu melihat Mardian yang kacau seperti orang kehilangan akal.              “Apa yang kau lakukan, Kawan? Jangan menjemput kegilaan dengan membunuh gairah hidupmu. Itu bodoh namanya.”             Mardian tidak menyahut.              Parta menghela napas. “Bung, kita sekarang hidup di dunia yang keji dan sangat kejam. Jangan pedulikan masa silam yang menyenangkan, cita-cita konyol, juga hukum, prinsip, segala kata-kata indah, dan kalimat dahsyat. Dunia sudah lain sama sekali. Sekarang, di mana pun kita berada, kita akan melihat orang membunuh orang. Jika kau ingin menang, kau harus bertahan dan menyerang. Karena kehidupan memang seperti itu. Saat kau hidup kau harus
Baca selengkapnya
Senja Kedua
            Cahaya senja terakhir baru saja lenyap digulung malam ketika sebongkah cahaya lain berkilau menggantikannya. Dia berwarna kuning lembut dan memancarkan kehangatan yang sama dengan mentari pagi. Mardian terpukau memandangnya. Ketika bergerak mendekat, kepangan rambutnya melonggar. Beberapa helai yang menjuntai segera dikacaukan angin.            “Nah, itu dia sampai.”            Mardian tidak mendengar. Dia sedang berada di dunia lain menatap bongkahan cahaya yang kian mendekat.            Parta mengangkat sebelah tangannya. “Mar, kami di sini.”            Seorang perempuan muda berkebaya kuning mendekat. “Maaf menunggu lama. Becak di sore h
Baca selengkapnya
Hidup yang Baru
            Hari demi hari merangkak pergi. Matahari bersinar lebih cerah. Badai tidak lagi menampakan diri. Lautan yang semula diam bergelora kembali. Mardian yang baru, lahir.  Lebih utuh, penuh gairah, menawan. Dia kini bercukur, berpakaian rapi, dan memakai minyak wangi. Sesekali dia pun keluar malam untuk menonton sandiwara atau ikut Parta juga Marni menghadiri diskusi partai.            “Kawan-kawan,” ujar Parta pada suatu pertemuan, “kita semua tahu kemiskinan itu bukan takdir. Nasib dan takdir hanya omong kosong belaka. Seorang manusia mempunyai kendali penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hukum alam hanya berkuasa atas masa lalu, masa depan sepenuhnya milik manusia. Jika kita hingga hari ini masih miskin, masih tertindas, itu semua salah kita.”            &l
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status