Setelah mendapatkan kebebasaannya Mardian menetap di kota, menyewa sebuah kamar mungil dan menghidupi diri dari uluran tangan seorang paman. Dia tak kenal seorang pun di kota itu, dia tak punya lingkaran pertemanan, tak menjadi bagian kelompok mana pun, dan memang itu yang dia inginkan. Menarik diri dan menjaga jarak dari dunia dan kehidupan di atasnya.
Seorang lelaki pincang bermulut seperti moncong serigala adalah satu-satunya tamu yang sesekali datang mengetuk pintu kamarnya. Lelaki itu berusia pertengahan dua puluh, tetapi, bahunya telah bungkuk dan wajahnya tampak lebih tua. “Izinkan aku masuk, kawan,” ujarnya. “Ini aku. Tidakkah kau mengenali suaraku?”
“Enyah! Pergilah, Parta! Aku tak ingin bertemu bangsat sepertimu!” teriak Mardian.
“Ada yang ingin kujelaskan padamu. Banyak hal. Kita harus bicara.”
“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Pergi dari pintuku.”
“Kau tidak mengerti. Bukalah, kawan! Izinkan aku masuk.”
Mardian tidak membuka pintu, tidak menyahut. Aku takut, batinnya. Sebagian dari diriku adalah dirinya. Aku tak ingin menyatu, tak ingin memberikan apa pun lagi padanya.
“Kita perlu bicara, Kawan. Demi ayahmu, kumohon, bukalah pintunya. Izinkan aku masuk.”
Dia masih di sana. Lelaki keras kepala! Tiba-tiba sebuah gagasan gila terlintas di kepala Mardian. Aku akan membiarkan Parta masuk, menikamnya, dan membuang jasadnya di malam hari. Dia pantas mati. Mardian meraih selot pintu, kemudian menariknya tanpa ragu.
Dia ada di sana, teman masa kecilnya. Itu perjumpaan pertama mereka sejak Mardian dideportasi. Mengenakan setelan cokelat tua bergaris-garis, Parta tampak lebih tua dan menyedihkan. Kelopak matanya mengernyit sedih. Namun matanya tetap membara penuh tekad.
“Masuklah.”
Parta masuk tanpa ragu. Dia duduk di atas satu-satunya kursi di ruangan itu sementara Mardian menjatuhkan dirinya di ranjang.
“Aku tahu kau pasti sangat membenciku,” ujar Parta mulai. “Aku memang pantas mendapatkannya. Tapi kau harus tahu posisiku waktu itu. Kami membutuhkan perlindungan.”
Bibir Mardian mengerut, siap menumpahkan segala caci maki dan amarah ke wajah temannya. “Kau membohongi kami.”
Parta tersenyum perih. “Karena itulah aku harus menemuimu. Aku tahu kesalahanku tak termaafkan. Tapi, kau juga harus tahu bahwa yang kulakukan adalah untuk membela keadilan. Apa kau ingat yang terjadi dengan ibumu di malam itu?”
Gundah gulana Mardian terdiam. Dia tidak ingin mengingat masa lalu yang kelam. Sebuah kenangan akan memunculkan kenangan lain, dan jurang akan menganga semakin lebar setiap kali satu kenangan menyeruak dari dasar ingatannya.
“Aku tahu itu membuatmu sakit. Tapi, kau harus tahu kebenarannya. Ibumu adalah juga seorang anggota partai komunis. Ketiga laki-laki itu, mereka rekan seperjuangan ibumu. Segala sesuatunya sudah direncanakan.”
“Kau pikir aku percaya omong kosongmu? Dulu kau memang bisa membohongiku, bangsat. Tapi tidak lagi sekarang. Camkan itu.” Mardian memaksakan senyuman untuk mengejek.
“Aku bersumpah demi apa pun yang kau mau kalau aku benar-benar mengatakan yang sebenarnya. Apa ayahmu tidak pernah menceritakan hal ini kepadamu?”
“Apa maksudmu?”
“Ayahmu tahu segalanya; ayahmu tahu ibumu terlibat huru-hara itu. Bahkan ayahmu tahu jika malam itu ibumu memberikan tubuhnya dengan sukarela di hadapanmu untuk mengejek ketidakberdayaannya.”
Mardian seketika meloncat dan menerkam Parta. “Hentikan omong kosongmu itu atau aku akan menyakitimu!”
Parta tersengal-sengal. Kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Mardian dengan sia-sia. “Jika kau masih meragukan kata-kataku, aku bisa membawamu ke salah satu teman ibumu.”
“Antarkan aku padanya.” Mardian menghempaskan tubuh Parta kembali ke kursinya.
“Tentu saja, Kawan. Tentu saja,” sahut Parta sambil berusaha mengatur kembali napasnya.
Siang itu alun-alun kota bermandikan cahaya kuning kemilau yang unik. Hanya cakrawala nun jauh di balik pegunungan yang menyiratkan sedikit rona kebiruan dengan beberapa gurat awan putih yang bergulung-gulung naik menghindari tiupan angin. Seorang pengemis tua renta duduk bersila dengan kedua tangan terbuka mengharap belas kasih. Matanya yang berawarna abu-abu menatap hampa, tak tersentuh cahaya apalagi panas matahari. Mardian mengambil selembar uang pecahan seratus rupiah dari sakunya dan meletakan di tangan pengemis buta itu. Segera setelah merasakan lembaran uang di tangannya si pemgemis mengucapkan terima kasih diikuti doa yang berlebihan.
“Seharusnya kau tidak membuang-buang uangmu. Pengemis tua tak berguna itu sebentar lagi toh mati. Kau tidak perlu mengasihani orang yang sebentar lagi mati, biarkan saja dia meminta belas kasih Tuhannya,” ujar Parta.
“Kau benar. Tapi, jika kau bukan manusia.”
Parta terbahak-bahak. “Ah, ya. Kau sudah belajar banyak di Pulau Buru rupanya. Sangat mengaggumkan.”
“Lebih baik kau tutup mulut busukmu itu dan cepat. Atau aku akan menyeretmu dengan paksa.”
Parta tertawa. “Baiklah, baiklah. Kita ambil jalan pintas di depan sana.”
Jalan pintas yang dimaksud Parta adalah sebuah lorong sempit tempat bayangan datar di dinding sekalipun memiliki jantung yang berdegup, jiwa yang dahaga, dan rasa lapar. Seorang pemuda yang nyaris anak-anak berbaju rombeng menghadang mereka. Ditodongkannya sebilah pisau kecil berujung lancip.
“Dengar, Bung. Bagi siapa pun yang ingin melewati lorong ini dengan selamat, maka dia harus membayarkan sejumlah uang padaku. Itu adalah peraturan di sini. Kalau kalian menolak, maka akibatnya akan buruk sekali.”
Parta berdehem. “Dengar, Nak. Aku tahu kau lapar, tapi, kau juga harus tahu aku sama sekali tak punya uang. Coba lihat diriku, lelaki pincang yang mengenaskan. Dan temanku pun sama tak punya uang. Kau lihat sendiri, kan, betapa kurus dan menyedihkannya dia? Jadi, biarkanlah kami lewat.”
Pemuda itu meneliti wajah Parta, pakaiannya, naik lagi ke matanya. Kemudian dia menoleh ke arah Mardian dan memeriksanya sekilas pandang. “Oh, sial! Pengemis,” gerutunya sambil berlalu pergi.
Mardian mengikuti punggung kurus pemuda berusia antara enam belas tahun itu dengan matanya.
“Begitulah dunia jalanan,” ujar Parta yang seolah-olah mampu membaca pikiran Mardian. “Kau tahu apa yang unik dari dunia jalanan? Yaitu dunia yang tertutup bagi mereka yang bisa makan setiap kali mereka lapar dan minum saat haus. Dunia yang ketika kau berpuasa, aneka benda dan mahluk tak berguna lainnya akan tampak mengejutkan.”
Dua puluh menit kemudian, ketika akhirnya mereka sampai di tempat tujuan, Mardian tiba-tiba merasa terasing seperti benda langit yang baru sedetik jatuh ke bumi. Dia terdiam di ambang pintu, segumpal asap tebal memaksanya mundur.
Seorang lelaki beralis tebal dan berambut perak bangkit dari kursinya sambil tersenyum. “Selamat datang, kawan-kawan. Mari, silakan masuk.”
“Terima kasih banyak.” Parta mendahului Mardian. “Ngomong-ngomong, perkenalkan, ini teman masa kecilku, Mardian. Anak lelaki Pak Mantri. Tentu saja Bung Kasim tahu siapa Pak Mantri yang saya maksud.”
Lelaki yang dipanggil Bung Kasim itu menghampiri Mardian dan menepuk bahunya. “Aku turut bersedih atas meninggalnya ayahmu,” ujarnya dengan keramahan seorang teman dekat. “Ya, begitulah hidup. Penuh ketidakadilan. Orang-orang yang berkuasa menganggap hukum seperti tanda kurung yang bisa mereka buka dan tutup kapan pun mereka mau.”
“Aku ingin mengetahui kebenaran tentang ibuku,” sahut Mardian tanpa basa-basi. “Benarkah ibuku temanmu, anggota partai komunis?”
“Itu benar. Apa ayahmu tidak memberitahumu?”
Saat kata-kata ini terhujam, pandangan Mardian seketika menjadi buram. Sosok hitam menyeruak dari mana-mana. Dari dinding, dari meja, dari rak buku, dari benaknya.
Bung Kasim menghampiri Mardian. “Tabahkan hatimu, Nak,” ujarnya seraya menepuk-nepuk bahu Mardian untuk menenangkan. “Ayahmu mungkin tidak ingin melukai hatimu. Kau masih terlalu muda waktu dan terlalu banyak penderitaan yang harus kau tanggung. Kasih sayang orangtua memang tak masuk akal. Itu hukum alam.”
“Ketiga orang yang memperkosa ibumu,” kata Parta, “mereka adalah teman ibumu sendiri. Soepardi, Tanadji, dan Soewikromo. Orang-orang kepercayaan Bung Tedjoe, pimpinan Lekra Cabang Semarang. Ibumu dan ketiga temannya ini adalah dalang yang mengobarkan makar di Jawa Tengah saat terjadi pemberontakan PKI tahun empat delapan. Ibumu kembali ke Pada Suka untuk bersembunyi dari kejaran Jendral Sumarto dan anak buahnya bersama mendiang Paman Kardi.”
“Yang terjadi di malam itu adalah ayahmu sebenarnya sengaja membunuh ibumu. Ini pilihan yang sulit baginya. Bagaimanapun ibumu, ayahmu sangat menyayanginya. Tapi begitu, hati nurani ayahmu mengugat. Lebih-lebih setelah peristiwa pemberontak PKI waktu itu. Menurut pendapat ayahmu, apa yang dilakukan oleh ibumu adalah kejahatan. Orang-orang yang berusaha mengatur ulang tatanan kehidupan yang sudah ada sama saja dengan ingin menyerupai Tuhan. Karena itulah ayahmu kemudian memutusakan untuk memberi tahu adiknya, Sudarto. Akan tetapi, salah satu mata-mata ibumu yang mengetahui hal ini segera bertindak cepat. Dia adalah Marsinah, isteri paman Kardi. Marsinah memancing kakak iparnya dengan mengirim orang untuk membuat kerusuhan di desa-desa yang jauh dari Pada Suka. Tak tik itu berhasil. Tapi, ibumu yang gegabah bertindak ceroboh dengan ambisinya menghinakan Pak Mantri. Sampai akhirnya malapetaka itu terjadi.” Bung Kasim bercerita panjang lebar.
Sebentuk murka yang amat keji dan merusak tiba-tiba saja meraja di dalam diri Mardian. Matanya berkilat-kilat. Benaknya berkobar. Dia memandang ke sekeliling ruangan seperti seorang yang dikuasai kegilaan yang mencari-cari benda untuk dihancurkan. Meja, kursi, rak buku: benda-benda remeh tak berarti! Keempat dinding kusam yang mengungkung itu bisa dibuatnya menjadi puing bahkan debu. Itu juga pekerjaan yang sangat mudah.
“Hidup memang busuk, Nak. Tapi kau harus bangkit. Tunjukan pada takdir bahwa kau tidak takut padanya, bahwa takdir sama dengan omong kosong yang dapat kau tertawakan. Ambilah idealisme itu dan selesaikan revolusimu; dobraklah sisi dinding yang lain yang memenjarakan ayahmu. Dinding yang membelenggu jiwamu.”
Mardian mengertakan gigi. Beragam wajah dan takdir bertempur hebat di dadanya bagaikan binatang buas merebutkan daerah kekuasan. Dia merasakan kemanusiaannya sedang bergejolak, mendapati dirinya sendiri berada dititik pusat sejarah yang keputusannya mampu mempengaruhi kehidupan di alam semesta. Mardian berbalik dan berlalu dengan langkah gontai. “Beri aku waktu untuk memikirkan semua itu. Sekarang, aku ingin sendiri.”
Malam hari itu Mardian melewati setiap menit yang berlalu dengan gelisah, disela oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan. Dia bangkit dan mulai mondar-mandir di kamar tidurnya. Mengapa kedua kelopak mataku bergetar? Mengapa kedua tanganku mengepal kuat? Dia mengatupkan rahang, terus mondar-mandir membentuk lingakaran kecil. Bagaimana mungkin ayah tega menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Apakah aku tidak berarti baginya, apakah ayah tak mempercayaiku? Apa pun itu, ayah benar-benar kejam padaku. Tapi, apa salahku? Mardian mengepalkan tangan semakin kuat. Kemudian dia melangkah dengan gontai menghampiri jendela, membukanya lebar-lebar. Dia mencondongkan tubuhnya keluar. Pandangannya menyapu lorong jalanan sempit yang sunyi dan gelap. “Apa yang sebenarnya mau-Mu, Tuhan?!” dia berteriak. “Kau telah mengambil masa mudaku, kemerdekaanku,
Parta mengetuk pintu sore berikutnya. Dia membawa makanan, pakaian, dan buku. Caci makinya tumpah begitu melihat Mardian yang kacau seperti orang kehilangan akal. “Apa yang kau lakukan, Kawan? Jangan menjemput kegilaan dengan membunuh gairah hidupmu. Itu bodoh namanya.” Mardian tidak menyahut. Parta menghela napas. “Bung, kita sekarang hidup di dunia yang keji dan sangat kejam. Jangan pedulikan masa silam yang menyenangkan, cita-cita konyol, juga hukum, prinsip, segala kata-kata indah, dan kalimat dahsyat. Dunia sudah lain sama sekali. Sekarang, di mana pun kita berada, kita akan melihat orang membunuh orang. Jika kau ingin menang, kau harus bertahan dan menyerang. Karena kehidupan memang seperti itu. Saat kau hidup kau harus
Cahaya senja terakhir baru saja lenyap digulung malam ketika sebongkah cahaya lain berkilau menggantikannya. Dia berwarna kuning lembut dan memancarkan kehangatan yang sama dengan mentari pagi. Mardian terpukau memandangnya. Ketika bergerak mendekat, kepangan rambutnya melonggar. Beberapa helai yang menjuntai segera dikacaukan angin. “Nah, itu dia sampai.” Mardian tidak mendengar. Dia sedang berada di dunia lain menatap bongkahan cahaya yang kian mendekat. Parta mengangkat sebelah tangannya. “Mar, kami di sini.” Seorang perempuan muda berkebaya kuning mendekat. “Maaf menunggu lama. Becak di sore h
Hari demi hari merangkak pergi. Matahari bersinar lebih cerah. Badai tidak lagi menampakan diri. Lautan yang semula diam bergelora kembali. Mardian yang baru, lahir. Lebih utuh, penuh gairah, menawan. Dia kini bercukur, berpakaian rapi, dan memakai minyak wangi. Sesekali dia pun keluar malam untuk menonton sandiwara atau ikut Parta juga Marni menghadiri diskusi partai. “Kawan-kawan,” ujar Parta pada suatu pertemuan, “kita semua tahu kemiskinan itu bukan takdir. Nasib dan takdir hanya omong kosong belaka. Seorang manusia mempunyai kendali penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hukum alam hanya berkuasa atas masa lalu, masa depan sepenuhnya milik manusia. Jika kita hingga hari ini masih miskin, masih tertindas, itu semua salah kita.” &l
Saya mengenal Marx sedalam saya mengenal diri saya sendiri. Kami bertemu di suatu masa terbaik, sekaligus masa terburuk yang pernah ada. Setiap hari kami menunggu musim terang datang menggantikan kegelapan yang dingin. Jika kami lelah menunggu, kami keluar berjalan-jalan. Kami pergi mengunjungi museum-museum, perpustakan, pemakaman. Kadang-kadang kami pergi ke taman kota yang terbengkalai di malam hari tanpa tujuan. Marx dan saya memiliki rasa haus dan ambisi yang sama: kami ingin menjelaskan manusia kepada manusia. Kami ingin merengkuh peristiwa dan menelanjanginya. Saat itu sore hari di musim gugur. Kami sedang membaca buku di perpustakaan. Marx duduk di depan saya, bersandar pada sikunya. “Bung sedang memikirkan apa?” tanya saya saat melihat M
Mardian dan Marni berjalan beriringan sepanjang alun-alun. Malam itu cuaca mendung, dingin. Tetapi mereka tidak memperhatikannya. Mereka menundukan kepala seolah-olah sedang berkabung, begitu takzim dan penuh renungan, berdebar sambil mencemaskan saat ketika akhirnya mereka akan berduaan dan bisa saling memandang, saling memuja, saling membuka diri. “Mari kita cari tempat duduk,” ujar Marni. “Aku lelah.” Keduanya memasuki kedai minum, duduk dan memesan kopi. Marni menceritakan kisah hidup dan perjuangannya yang memukau. Dia memang sangat pandai bicara. Perempuan muda yang penuh semangat. Kecanggungan di antara mereka meleleh bersamaan dengan setiap kata yang meluncur dari mulut masing-masing.&
Suatu sore Mardian bertemu Marni di taman kota. Dia sedang membaca. Mardian menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Wah, Bung suka berjalan-jalan sore rupanya,” kata Marni sambil menutup bukunya. Mardian tersipu. “Aku suka dengan langit petang, keindahaannya seperti memberi tabik pada kejamanya malam,” jawabnya. “Ah, ya, senja. Keindahannya merupakan ketidakpedulian dalam kesabaran yang diam; sebuah ironi dari keapatisan. Tapi begitu, pasti ada alasan sesungguhnya, alasan di balik segala alasan. Alasan apa dan mengapa.” “Entahlah. Aku tidak begitu memikirkan hal romantis itu. Bagiku,
“Ayah, ke mana lagi kita akan dibawa pergi?” Mardian menatap kapal besar yang baru sesaat lalu berlabuh dengan cemas. Pak Mantri mendesah. “Entahlah, Nak. Ayah sendiri tidak tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Tapi, sepertinya ke tempat yang sangat jauh. Mungkin Sumatera atau Kalimantan.” “Apa kita akan dipenjara lagi?” “Ayah tidak tahu, Mardian. Apa pun itu, Ayah yakin sekali cobaan ini pasti ada maknanya. Bersabarlah, Nak. Terkadang cobaan memang begitu keras hingga tak dapat dipahami maknanya. Namun, pasti ada pembebasaan dalam kemeranaan hidup ini meski dalam bunyi gumamannya sekalipun.” “Tapi aku takut, Ayah. A