Share

Kejujuran

Orang telah melupakan siapa namanya. Dia biasa dipanggil Pak Mantri karena dia seorang mantri pasar di desa itu. Pria paruh baya bertubuh kurus dan berwajah cekung itu merupakan salah satu tokoh penting di Pada Suka. Selain karena kepriyayiannya, Pak Mantri menjadi terkenal karena kemurahan hatinya meski kepada seorang gila sekalipun. Dia bahkan dengan senang hati memelihara Karman tanpa pernah memandangnya sebagai orang yang hilang akal.

Tak ada yang tak mengenal si gila Karman di Pada Suka. Lelaki berambut kemerahan yang suka memaki-maki siapa saja yang dia temui di masjid. Karman bukanlah orang jahat, tidak bisa dikatakan dia ini  jahat. Masa lalunya yang kelamlah yang membuatnya tidak beradab. Suatu hari pernah Mardian menyaksikan bagaimana orang gila itu memaki orang-orang di surau dan mendebatnya dengan mengesankan.

“Hei manusia-manusia bodoh, pulanglah kalian! Tuhanmu tidak mabuk disembah, Tuhanmu tidak mabuk pujian. Pulanglah, urusi saja perut keluarga kalian!”

“Orang gila, pergi kau dari surau ini! Rumah Tuhan tidak boleh dikotori orang hina sepertimu.”

“Ha,ha,ha. Kau nabi?”

“Aku imam di masjid ini.”

“Ha,ha,ha. Apa kau yakin Tuhanmu senang kau sembah-sembah lima waktu sehari?”

“Jelas! Itu yang Dia perintahkan.”

“Ha,ha,ha. Kenapa kau berdusta dan mengatakan hal-hal yang tidak sesuai?”

“Apa maksudmu?”

“Ha,ha,ha. Apa kau yakin yang kau lakukan itu benar?”

“Agamaku adalah kebenaran sejati. Tiada agama lain selain agamaku yang benar.”

“Ha,ha,ha. Kau salah. Tidak ada kebenaran bagi penjahat!”

“Apa maksudmu, orang gila?”

“Ha,ha,ha. Kalian semua penjahat!”

“Omong kosong macam apa ini? Kami tidak mencuri, kami tidak membunuh, kami tidak pernah berzina.”

“Ha,ha,ha. Tapi, aku tahu kalian penjahat; kalian tidak saling mempedulikan satu sama lain, kalian terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal kalian tahu bersikap tidak peduli—apa pun alasannya—bukan hanya kejahatan bagi kemanusian tapi juga pengingkaran terhadap kemuliaan sifat Tuhan. Ha,ha,ha. Pulanglah, katakan kepada sesamamu bahwa Tuhan tidak butuh kalian menyembah-Nya untuk mengakui keberadaan-Nya. Potong lidahku bila perkatanku menyesatkan. Lebih baik kakiku buntung daripada aku menutun orang menuju jalan salah. Lebih baik mataku buta daripada aku menunjukan sesuatu yang dusta.”

Imam itu benar-benar tersinggung. “Pergi kau, Karman! Atau kami menyakitimu.”

“Ha,ha,ha. Aku memang akan pergi jauh dan tak akan kembali lagi.”

“Ya, pergilah dan jangan pernah kembali.”

“Ha,ha,ha. Kau pikir aku sudi kembali ke desa tak beradab ini? Aku lebih baik mati.”

“Bagus sekali. Kami semua muak mendengar tawamu.”

“Aku tidak akan tertawa lagi. Aku akan bernyanyi.” Dan Karman pun mulai bernyanyi.

Ketika Mardian telah sampai di rumah, dia bertanya pada ayahnya, “Ayah, aku tak mengerti mengapa Karman yang gila itu selalu memaki siapa saja yang dia temui pergi ke surau. Apa Ayah tahu sebabnya?”

Pak Mantri mengangguk. “Karman patah hati dengan Tuhan. Dia sama sekali tidak gila. Dia hanya patah hati. Istri yang sangat dicintainya pergi mencampakannya karena dia begitu miskin dan tak punya apa-apa. Karman menggugat Tuhan untuk semua janji-janji-Nya. Dia telah menjalankan semua perintah Tuhan dengan patuh. Dia tidak pernah meninggalkan kewajiban untuk beribadah, tidak pernah mencuri atau meminta-minta meskipun kelaparan. Dulu, Karman seorang lelaki yang sangat saleh, penyabar, juga jujur. Orang desa bahkan membanggakannya sebagai Ayub. Dia membaktikan hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan dan sedikit waktu di siang hari untuk bekerja mencari makan. Tapi, setiap lelaki, betapa pun salehnya dia, betapa pun sabar jiwanya, dia tetap saja manusia biasa yang tidak memiliki cukup banyak imajinasi. Terutama soal cinta.”

“Cinta?”

“Benar, Nak. Cinta. Cinta itu seperti korek api. Bagi sebagian orang cinta membawa cahaya, bagi orang lain cinta mendatangkan bencana. Ada orang yang terdorong oleh cinta menuju kebahagiaan, dan ada orang yang karena cinta melompat ke jurang kehancuran. Melalui cinta Tuhan menciptakan alam semesta, dan karena cintalah manusia menghancurkan alam semesta. Ada misteri dalam cinta yang sampai detik ini belum mampu manusia pahami.”

“Cinta itu sumber penderitaan!” seseorang menyahut dari belakang. “Cinta tak akan memberimu apa pun selain penderitaan yang tak berkesudahan.”

“Jangan menakut-nakuti anakku, Karman. Aku tidak ingin karenamu dia jadi membujang nanti,” sahut Pak Mantri yang mengenali suara yang menyelanya itu.

Karman tertawa. “Aku tidak menakut-nakuti anakmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lihatlah dirimu, Pak Mantri. Belum juga setahun kau ditinggal mati istrimu kau sudah lebih kurus dan tua.”

“Kau seharusnya kenal dia, Ana. Aku yakin kau pasti menyukainya. Sayang, ketika kau pertama datang dulu, dia sudah jadi abu. Karman gantung diri usai meninggalkan rumah kami hari itu. Orang-orang desa tak ada yang sudi menguburkannya. Di malam yang sunyi di musim kemarau yang berangin, Karman pergi ke langit bersama nyala api yang membakar kepedihan hidupnya. Ya, Ana. Mereka membakar lelaki malang itu di tengah-tengah sawah dengan jerami kering layaknya seekor babi perusak. Ayahku tak bisa menolong Karman disaat-saat terakhirnya berada di dunia.  Karena sore itu ayah pergi ke kota. Orang-orang menganggap ini sebagai persetujuan Tuhan untuk mereka melakukan aniaya terhadap diri Karman yang sudah tidak lagi bernyawa.”

“Tidak berprikemanusiaan!”

“Mereka memang tidak berprikemanusiaan. Di tahun-tahun itu, sembilan belas enam tiga, sembilan belas enam empat, kau tak akan menemukan kemanusiaan di desa-desa terpencil. Di tahun-tahun itu, masyarakat kita belum pulih dari sakit pasca penjajahan. Orang-orang yang mempunyai pemikiran yang berbeda dicurigai, dan orang-orang yang tak sepaham dengan mereka dianggap sesat.”

Amarah membuat Ana sesak napas. Suaranya yang bertenaga penuh kemurkaan. “Di mana-mana peperangan pasti  mengubah watak manusia menjadi tidak beradab! Mereka menjadi buta hingga melupakan hal yang paling penting dalam esensial hidup, dan menggadaikan idealisme demi bisa melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu yang kejam. Karman gila bukan karena patah hati dikhianati istrinya. Dia menjadi gila karena merasa patah hati terhadap dirinya sendiri. Tapi begitu, justru dalam patah hatinya itulah Karman menemukan kemanusiaannya yang hilang. Dalam patah hatinya itu, dia melihat kebenaran dari betapa berbahayanya sifat fanatik dan napsu surgawi yang membuatnya melupakan dunia tempat berlangsungnya kehidupan. Ya, Bung, di dunia ini memang tak ada yang lebih utuh daripada patah hati. Bung harus patah hati untuk menyaksikan cara matahari bekerja: memberi bentuk pada pepohonan, pada lereng, pada sungai, pada semua mahluk hidup. Bung harus patah hati untuk memenangkan jiwa Bung atas kekuatan jahat, untuk membayangkan segala kemungkinan di masa mendatang, untuk percaya pada kehidupan, untuk percaya pada Tuhan, untuk percaya pada manusia, untuk percaya pada perdamaian antara Tuhan dan manusia dalam kehidupan. Bung harus patah hati untuk semua itu. Harus kecewa terlebih dahulu.”

Aku mengerutkan kening memikirkan kata-kata Ana. Banyak sekali orang tertawa karena tidak melihat alasan  beresedih. Mereka percaya dengan kesalehan Tuhan akan mencukupi hidupnya. Mereka tertawa meski miskin dan lapar. Mereka tertawa tanpa pernah memikirkan kesejahteraan, dan anak mereka, dan desa, dan negara, dan nasib dunia di masa mendatang. Mereka tidak pernah peduli apa pun selain tertawa. Ya, tertawa untuk menghibur diri dari kemiskinan dan rasa lapar. Tertawa untuk menutupi kemalasaan. Tertawa dalam kegilaan. “Menyedihkan! Dampak dari peperangan selalu saja menyedihkan.”

“Bung benar. Dampak dari peparangan memang sangat menyedihkan. Perang tidak menghasilkan apa pun selain penderitaan dan kehancuran. Ah, omong-omong soal penderitaan saya jadi teringat pengembaraan di masa lalu. Waktu itu saya pergi ke Kapilavastu untuk mencari Sidhrata Gautama. Saya bertemu dengan beliau di hutan usai beliau bermeditasi. Pada kesempatan langka itu kami bercakap-cakap tentang banyak hal. Tetapi, tidak ada yang lebih menarik perhatian kami selain pembicaraan mengenai penderitaan.

“ ‘Penderitaan itu selalu ada dan merupakan sifat kehidupan,’ kata beliau. ‘Semua mahluk hidup adalah objeknya. Kehidupan berjalan beriringan dengan penderitaan.’

“Mengapa begitu, Bikhu? Mengapa pederitaan selalu ada? Tanya saya.

“ ‘Penderitaan itu karena hasrat,’ jawabnya. ‘Penderitaan disebabkan oleh hasrat dalam hati yang besar, yang berakar pada ketidaktahuan, yang akhirnya tidak dapat terpuaskan. Penderitaan akan berhenti jika hasrat juga berhenti, serta ketika hasrat egois dan nafsu kehidupan ditinggalkan. Saat itu terjadi, kedamaian hati sejati akan dicapai.’

“Yang ingin saya katakan kepada Bung adalah: di dunia yang hina ini, hanya orang gila yang tahu semuanya palsu. Hasrat itu palsu, hati itu palsu, air mata juga palsu. Semuanya palsu. Mungkin orang gila juga palsu.” Ana tersenyum penuh arti.

“Hm. Jika semuanya palsu, katakanlah padaku, Ana, apa yang asli dalam hidup ini?”

Senyum Ana melebar. Tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status