"Tunggu dulu, Bung. Jangan pergi dulu. Ada satu kisah yang ingin saya ceritakan kepada Anda sebelum Anda pergi." "Baiklah, Ana. Kalau begitu silakan bercerita." Aku lahir dan dididik menurut agama Islam. Bahkan saat masih kecil dan sepanjang masa remajaku, aku di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Aku mengaji ilmu agama di sore dan malam hari. Dan lebih sering lagi ketika datang bulan suci. Namun saat berusia sembilan belas tahun aku meninggalkan kegitaan keagamaanku itu, aku mulai kehilangan kepercayaan atas apa yang telah diajarkan padaku. Dilihat dari apa yang bisa kuingat, aku tak pernah benar-benar memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Aku sekadar percaya pada apa yang telah diajarkan padaku dan pada hal-hal yang berlaku di masyarakat luas. Namun, saat usiaku menginjak dewasa dan aku mulai mampu memahami kehidupan, kepercayaan ini perlahan mulai goyah. Aku melihat bahwa mayoritas ajaran-ajaran agama yang diterima tanpa pertanyaan dan ditopang ole
Mardian telah tiba pada batas akhir kekuatannya. Di hadapannya malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunug menjelang fajar. Rohana berdiri duduk di sampingnya. Sosoknya semakin nyata, semakin utuh, semakin abadi. "Tepat pada saat ini, Ana, akhirnya aku mengerti sudah rahasia alam semesta. Aku tahun jalan setapak jiwa terkadang tumbuh dengan begitu cepat, kerap hanya mengenal malam. Malam yang sangat luas nyaris tak terbatas, gersang dan hampa. Namun, aku katakan padamu : kita akan lolos, Ana.Kita berdua akan terus hidup. Meskipun, ya, pasti dalam situasi yang sangat jauh berbeda.""Maha karya yang luar biasa selalu lahir dari kelam malam. Keindahan yang menakjubkan terinspirasi dari bintang-binta di langit dan rembulan yang menggantung rendah. Kelam mala. Kadang menenggelamkan jiwa manusia dalam lubang keputusasaan yang dalam, yang tak berdasar. Kelam malam membuat manusia sampai menutup mata dan menggadaikan idealismenya sendiri. Kelam malam melahirkan manusia menjadi
Baginya membunuh adalah ekspresi cinta termanis, hasrat terdalam dan semangat hidup. Karena itu satu pembunuhan tidak pernah cukup. “Apa katamu?”“Jangan bunuh saya. Saya berjanji akan mengatakan segalanya pada Anda. Saya mohon, Sir.” Drake Sloan mengiba. Pria bermata biru cerah itu tertawa renyah. Dia mengeluarkan kamera saku dan berkata, “Aku datang ke sini karena aku ingin membuat sebuah dokumentasi dan aku perlu bantuanmu.”Drake menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tidak percaya. Apa dia bercanda? “Jangan khawatir, ini tidak akan memakan waktu lebih dari dua menit. Kau hanya perlu memperkenalkan dirimu dan sedikit pendapatmu mengenai Lara Cameron. Aku akan merekam dari dekat pintu.” Drake Sloan menjadi benar-benar bingung sekarang. Awalnya dia mengira jika Dammon datang untuk membunuhnya karena pengkhianatan yang dia lakukan. Mike sudah tertangkap dan menghilang. Mereka pasti telah melenyapkan Mike. Drake tahu dengan baik apa hukum tak tertulis para pencuri huku
Jhon Slade tertawa lalu berbalik untuk membuka kunci pintu. Saat terdengar bunyi klik dari pintu, tiba-tiba saja lututnya terasa bergetar dan lemas. Dengan tak acuh dia menarik gagang pintu dan membukanya. Saat pintu terbuka kepalanya mendadak terasa pusing, pandangannya pun mengabur. Jhon memaki Tomm Lylod untuk cepat. Namun, baru saja dia melangkah keluar pintu, dia ambruk dalam genangan darahnya. Jhon merasa heran kenapa ada darah di sana dan kenapa sekujur tubuhnya sedikit demi sedikit mati rasa. Dia baru menyadari apa yang terjadi saat mencium samar bubuk mesiu di udara. Tomm Lylod ingin membunuhnya. Dia menembak dari belakang. Sialan! Rupanya dia ingin menguasai sepuluh juta dolar itu seorang diri. Maki Jhon dalam hati. Benar-benar bangsat sialan. Setelah memasukkan kembali revolver ke saku jas dalamnya yang sebelah kiri Tomm Lylod berjalan menghampiri Jhon. Dengan tenang dia berjongkok di samping pria yang sedang sekarat itu lalu tersenyum misterius. “Jangan salahkan aku. Kau
“Menyenangkan sekali bukan, Drake?” ujar Dammon penuh kemenangan. “Kau tentu tahu dengan baik jika membunuh memberi kepuasan tak terhingga untukku.”Drake Sloan menatap Dammon penuh kebencian. Bibirnya bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. Namun tidak ada satu patah kata pun yang keluar. “Sampai bertemu di neraka, bangsat!” Dammon mengedipkan sebelah matanya lalu mematikan kamera dan berbalik pergi. Beberapa mil jauhnya dari apartemen Drake, John Slade mengertakkan rahang kuat-kuat. “Habislah riwayatmu kali ini, keparat!” desis John. “Aku akan mengumpankanmu. Kau akan jadi santapan empuk Edy dan Hakim Wild di pengadilan.”“Jangan senang dulu, Jhony. Apa kau lupa kita sedang berhadapan dengan siapa? Dammon adalah setannya pencuri hukum. Jika kita gegabah, salah perhitungan sedikit saja kita yang akan tamat, Jhony. Kita yang akan jadi babi panggang.” Tomm Lylod mengingatkan temannya. Pria berkulit hitam berambut ikal yang berusia pertengahan tiga puluh tahun itu tersenyum sinis. “
Orang telah melupakan siapa namanya. Dia biasa dipanggil Pak Mantri karena dia seorang mantri pasar di desa itu. Pria paruh baya bertubuh kurus dan berwajah cekung itu merupakan salah satu tokoh penting di Pada Suka. Selain karena kepriyayiannya, Pak Mantri menjadi terkenal karena kemurahan hatinya meski kepada seorang gila sekalipun. Dia bahkan dengan senang hati memelihara Karman tanpa pernah memandangnya sebagai orang yang hilang akal. Tak ada yang tak mengenal si gila Karman di Pada Suka. Lelaki berambut kemerahan yang suka memaki-maki siapa saja yang dia temui di masjid. Karman bukanlah orang jahat, tidak bisa dikatakan dia ini jahat. Masa lalunya yang kelamlah yang membuatnya tidak beradab. Suatu hari pernah Mardian menyaksikan bagaimana orang gila itu memaki orang-orang di surau dan mendebatnya dengan mengesankan. “Hei manusia-manusia bodoh, pulanglah kalian! Tuhanmu tidak mabuk disembah, Tuhanmu tidak mabuk pujian. Pulanglah, urusi saja perut keluarga kalian!” “Orang gila,
Mardian menyadari kelelahannya. Dia lapar, kedinginan, sesak napas, dan yang lebih buruk dari itu dia mulai merenung. Mungkinkah aku telah mengabaikan sesuatu, sesuatu yang aku telah gagal memahaminya? Suara Kolonel Sudarto terngiang di telinganya, “Seandainya kau berani mengakuin, sebenarnya kau merasa bahagia terbebas dari ayah yang membebanimu itu.” Ayahku segalanya bagiku, Mardian menegaskan pada dirinya sendiri. Ayahku adalah alasan untukku tetap hidup, berjuang, menegakan keadilan. Ayahkulah sebab aku melakukan kejahatan. Kegelapan yang menyelimuti tubuh Mardian terasa dingin dan tebal. “Menjijikan!” Parta tiba-tiba melompat dari pikirannya. “Kau menjadikan ayahmu kambing hitam untuk kesalahan yang kau buat sendiri.” “Semua orang tahu aku sangat menyayangi ayahku, keparat!” Parta tertawa keras. “Tidak, tidak. Kau sama sekali tidak menyayangi ayahmu. Kau membencinya. Tetapi, kau menutupi kebencianmu itu dan tak pernah mau mengakuinya.”
Setelah mendapatkan kebebasaannya Mardian menetap di kota, menyewa sebuah kamar mungil dan menghidupi diri dari uluran tangan seorang paman. Dia tak kenal seorang pun di kota itu, dia tak punya lingkaran pertemanan, tak menjadi bagian kelompok mana pun, dan memang itu yang dia inginkan. Menarik diri dan menjaga jarak dari dunia dan kehidupan di atasnya. Seorang lelaki pincang bermulut seperti moncong serigala adalah satu-satunya tamu yang sesekali datang mengetuk pintu kamarnya. Lelaki itu berusia pertengahan dua puluh, tetapi, bahunya telah bungkuk dan wajahnya tampak lebih tua. “Izinkan aku masuk, kawan,” ujarnya. “Ini aku. Tidakkah kau mengenali suaraku?” “Enyah! Pergilah, Parta! Aku tak ingin bertemu bangsat sepertimu!” teriak Mardian. “Ada yang ingin kujelaskan padamu. Banyak hal. Kita harus bicara.” “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Pergi dari pintuku.” “Kau tidak mengerti. Bukalah, kawan! Izinkan aku masuk.”