"Lho? Gue nggak ditungguin?"
Gala yang baru memasuki ruang makan VIP disambut dengan tatapan beberapa temannya sementara yang lain masih penasaran dengan kartu kredit yang dimiliki oleh Baskara. Bagaimana mungkin seorang miskin seperti Baskara dapat memiliki kartu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Apakah benar pria itu sudah sesukses itu? Rasanya sulit untuk membayangkan.
Bukan. Teman-temannya bukan sulit untuk membayangkan kalau itu mungkin terjadi. Tetapi mereka sulit untuk mengakuinya. Berat mengakui kesuksesan orang lain jika mereka jauh lebih sukses.
"Beuh! Pasti karena Baskara, ya? Kalian langsung lupa sama gue?" Gala langsung berjalan dan menduduki salah satu kursi yang tidak terisi.
Entah siapa tertawa kecil, "Nggak nyangka lo berhasil ngerayu Baskara buat datang."
"Tuh, Bas, lo denger sendiri? Mereka penasaran sama lo," tanpa rasa bersalah karena sudah terlambat datang pria itu mulai menikmati hidangan yang ada.
"Gimana kita nggak penasaran? Lo tahu sendiri kalau Baskara itu nothing," Riza terkekeh, "Eh, kok bisa tiba-tiba jadi gini? Gue jadi curiga, apa jangan-jangan lo jadi sugar baby tante-tante selama kuliah?"
Entah hinaan yang keberapa hingga Basakra malas untuk bereaksi. Pria itu dengan santai kembali ke kursi yan tadi didudukinya kemudian melanjutkan menghabiskan hidangan yang ada di piringnya.
"Itu kesalahan lo," Gala berdecak, "Kesalahan kalian semua. Dari dulu Baskara itu udah seseorang," pria itu menyeringai, "Kalau nggak mana mungkin Aruna milih dia ketimbang lo, Dre."
DANG!
Ucapan itu membuat Andre seketika terdiam. Gala sukses membuat pria itu mengingat salah satu kenangan masa SMA yang ingin dilupakannya.
Aruna merupakan adik kelas mereka. Gadis yang lebih muda dua tahun dibanding mereka itu tidak hanya memiliki paras yang menawan tetapi juga berasal dari salah satu keluarga yang selalu masuk dalam daftar orang terkaya di dunia, Widjaja.
Sejak awal Andre sudah mengincar gadis itu untuk dipacari. Tidak, dia bahkan berencana untuk melakukan segala cara agar hubungan mereka tetap bertahan sampai menikah. Menjadi bagian dari keluarga Widjaja akan memberikan berbagai macam keuntungan. Jauh dari apa yang sekarang didapatkannya. Sayangnya, jangankan berpacaran Aruna bahkan tidak sudi untuk berdekatan dengan Andre. Dan yang membuat Andre semakin sering merundung Baskara, gadis itu lebih memilih Baskara dibandingkan dirinya. Entah apa yang dilihat Aruna dalam diri Baskara!
"Tapi aku beneran penasaran, deh," Rue berpaling dan bertopang dagu, "Rumornya start up kamu berhasil secure deal dengan Widjaja Group?"
DANG! DANG!
Andre yang baru saja menyiapkan sesuatu untuk dilontarkan kembali terdiam. Apa maksud pertanyaan Rue?
"Benar," Baskara tersenyum tipis, "Perusahaan mereka yang bergerak di bidang consumer goods ikut tender yang kemarin Steam Perfection adakan dan keluar sebagai pemenang."
Sebagian dari mereka terbelalak mendengar ucapan Baskara sementara Gala bersiul penuh kemenangan.
"Gilaaa," Gala masih belum puas menyombongkan keberhasilan sahabatnya, "Tahu sendiri gimana susahnya kerja sama dengan Widjaja Group. Dre, tahun lalu lo gagal bukan, sih?"
DANG! DANg! DANG!
Kalau tidak memikirkan ada citra yang harus dijaga dihadapan teman-temannya, ingin rasanya Andre meninggalkan acara reuni ini. CUkup sudah penghinaan yang diterima hari ini. Sebelum ini tidak pernah ada yang berani melakukan ini kepadanya!
"Kayaknya kita terlal lama nggak ketemu sampai lo lupa gue siapa."
Bukannya mengkerut ketakutan, Gala malah tertawa terbahak mendengarnya.
"Kenapa lo ketawa?"
Saat ini ruang makan VIP seketika hening. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Tebakan Baskara benar, hampir tidak ada yang berubah di antara teman-teman sekelasnya. Apa yang mereka lakukan sekarang sama seperti yang bertahun lalu mereka lakukan. Ketika dia dihina atau dirundung oleh Andre dan genk dengan cepat mereka memilih untuk membisu dan menyelamatkan diri sendiri.
"Lucu aja dengar lo berani ngomong gitu," Gala menatap Andre sambil menyeringat lebar seakan dia sedang melumat pria itu, "Udah bertahun-tahun dan lo masih nggak sadar lo itu siapa."
"Gue atau lo yang nggak sadar siapa gue?!" Andre masih memiliki nyali untuk menantang. Tidak ada seorang pun yang boleh mengusik egonya.
"Memangnya lo siapa?" Baskara yang duduk di hapadan Andre bangkit dari duduknya. Dalam pandangan Andre, saat ini pria itu terlihat jauh lebih besar dan mengerikan dari seharusnya.
"Lo cuma anak dari seorang pengusaha. Lo nggak pernah mencapai apapun dalam hidup lo."
Andre terdiam. Bibirnya bergetar dan tangannya mengepal penuh amarah.
"Gue salah?" Baskara sengaja mengucapkan itu untuk menantang Andre.
Sudah kepalang tanggung. Memang Gala yang pertama menabuhkan genderang perang tetapi itu dilakukan oleh sahabatnya untuk membalas apa yang pernah dilakukan oleh Andre di masa lalu terhadapnya. Baskara tidak memiliki pilihan selain menyelesaikan perang ini. Memastikan Andre tidak akan pernah berani melakukan hal yang sama.
"Aku dengar rumor lain," Rue memecang keheningan yang mulai menebal, "Dre, bokap lo ngedepak lo dari perusahaan keluarga. Itu benar?"
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i