"Woi, Sampah! Masih berani lo nunjukin muka? Tebel banget, sih itu muka!" Teriakan Riza menyapa telinga Baskara yang baru saja melewati parkiran SMA Insan Harapan.
"Udah nggak sabar main bareng kita?" Andre bertanya dengan nada penuh penghinaan. Jangan salah paham, main yang dimaksud oleh laki-laki itu bukan benar-benar main melainkan perundungan di mana mereka menjadikan Baskara sebagai samsak atau asbak tempat mematikan puntung rokok mereka.
"Kalian masih belumn puas menghina aku?" Biasanya Baskara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka tetapi hari ini moodnya sedang tidak baik hingga dia memilih menanggapi sekaligus meluapkan emosinya.
Sontak Andre, Riza dan genk mereka terbahak. Pertanyaan Baskara terdengar aneh di telinga mereka.
Andre berjalan dengan santai hingga hanya rumpun tanaman yang menjadi pembatas di antara mereka, "Heh Sampah, gue kasih tahu sesuatu, gue nggak pernah ngehina lo. Itu kenyataan. Di sini lo cuma sampah! Sampai kapanpun lo bakalan tetap jadi sampah. Beda sama gue dan teman-teman gue. Makin cepat lo sadar makin baik."
"Tempat sampah bukan di sini," Riza yang sudah berdiri di samping Andre tersenyum sinis, "Lo cuma bikin sekolahan kita bau!"
***
"Kalian," Baskara menatap Andre dan Riza bergantian, "Yang mengajarkanku. Menyatakan kenyataan tidak termasuk hinaan. Benar?"
Andre dan Riza terdiam untuk alasan berbeda. Andre merasa kalau dia harus berhati-hati dalam menghadapi Baskara atau dia akan membongkar kartunya di depan hadapan teman-temannya. Sementara Riza terdiam karena apa yang diucapkan Baskara adalah kenyataan. Tidak peduli berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan oleh orang tuanya tetap saja tidak berhasil memasukkan anak mereka ke salah satu universitas Ivy League. Bahkan lebih memalukan lagi, dia tidak diterima di universitas manapun kecuali karena orang tuanya bersedia memberikan donasi dengan nominal yang sangat luar biasa.
"Udah, udah, kenapa kalian ribut terus, sih?" Sandra kembali bersuara dengan nada kenesnya yang khas, "Bas, sahabat kamu mana? Biasanya kalian selalu bareng, kan?"
"Gala itu nggak pernah absen datang ke reuni kelas," Rue ikut bersuara, "Penampilannya juga udah nggak seculun dulu."
"Udah nggak culun tapi nggak pernah gandeng cewek."
Komentar itu langsung memancing tawa yang lain. Sudah menjadi rahasia umum kalau Gala memang tidak pernah tertarik untuk pacaran. Pria itu sejak dulu lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca. Pacar hanya akan menyusahkan saja.
"Dia akan datang," Baskara tersenyum tipis, "Ada yang harus dikerjakan sebelum dia menyusul ke sini."
"Waaah... kalian masih dekat sampai sekarang?" Entah siapa yang bertanya.
"Kamu bisa sesukses sekarang karena bantuan Gala?" Jika ini diajukan oleh orang lain, Baskara akan mengatakan kalau itu murni karena penasaran. Tetapi karena yang bertanya adalah teman sekelasnya dia tahu pertanyaan itu bermaksud untuk merendahkan.
"Pertanyaanmu..." Baskara menatap tajam si penanya, "Terkesan mengatakan kalau aku tidak mampu sukses dengan usahaku sendiri."
"Nggak... tentu saja bukan seperti itu maksudku," teman sekelasnya terlihat salah tingkah. Sedetik tadi dia lupa kalau Baskara sudah bukan anak beasiswa yang tidak pernah melawan walau direndahkan seperti apapun.
"Lantas, apa maksud ucapanmu?" Baskara masih menatap tajam.
"Hanya... basa-basi," dia menjawab masih dengan salah tingkah.
"Jangan terlalu banyak basa-basi. Kasihan orang tuamu. Sukses sebagai diplomat tetapi anaknya... maaf apa kegiatanmu sekarang?"
Sang penanya langsung menelan ludah berulang kali. Pertanyaan itu adalah sesuatu yang paling dihindarinya. Sepulang dari mengenyam pendidikan di Eropa, dia kembali ke ibukota. Terlalu banyak waktu kosong hingga dia kecanduan judi online. Sejak itu tidak ada yang dilakukannya selain berjudi walau kepada orang tuanya dia mengaku sedang menjajal cryptocurrency.
Seandainya Baskara mau, dia dapat mempermalukan seluruh teman sekelasnya ini. Berkat bantuan Gala dan orang suruhannya, Baskara mengetahui apa saja kegiatan teman sekelasnya yang dulu begitu meremehkannya. Seperti yang dikatakan Gala kepadanya, tidak ada yang mengalahkan pencapaian seorang Baskara.
"Udah dulu ngobrolnya," Rue kembali berusaha mencairkan suasana, "Ini pesanan kita udah mulai dingin, lho. Mendingan kita makan."
Ucapan gadis itu membuat suasana riang kembali. Obrolan dengan cepat berubah menjadi riang beradu dengan denting peralatan makan. Baskara menyembunyikan senyum. Teman sekelasnya tidak banyak berubah. Semua masih serupa seperti dulu. Seakan waktu hanya berhasil mengubah penampilan mereka saja.
Rue tidak banyak berubah. Tidak hanya secara fisik, gadis itu masih secantik masa sekolah, tetapi juga kemampuannya untuk mengendalikan suasana. Rue selalu berhasil mengembalikan ketenangan saat Andre dan genk merundung Baskara secara terang-terangan di kelas. Tidak sekali dua kali gadis itu membantu Baskara dengan menghentikan tindakan Andre dan genk hanya melalui ucapan. Wajar rasanya jika sekarang gadis itu berkiprah di PBB sebagai perwakilan negara ini.
Sambil menikmati hidangan yang tersedia sesekali Baskara akan menjawab pertanyaan kecil yang diajukan oleh mantan teman-teman sekelasnya. Selain Andre dan genknya, semua bersikap cukup ramah. Mereka penasaran dengan kabar pria itu. Tidak aneh karena sebelum hari ini Baskara selalu berusaha menghindari pertemuan dengan teman-temannya. Luka yang ditinggalkan mereka masih menganga lebar dalam dirinya.
"Oke! Kayak bisa, ya?" Andre tiba-tiba berseru cukup kuat sambil mengeluarkan dompet kemudian mengambil sebuah kartu kredit, "Kumpulin kartu kredit kalian di sini."
Ucapan itu menghadirkan nostalgia berujung tawa dan keriuhan kecil. Ini merupakan kebiasaan mereka sejak masih di SMA. Walau biasanya dilakukan di akhir acara sedangkan saat ini mereka bahkan belum selesai bersantap.
"Kalian masih melakukan ini?" Baskara menghabiskan air mineralnya.
"Kenapa? Jangan bilang lo masih nggak bisa ikutan," Andre mencibir, "Dulu lo miskin makanya nggak bisa ikutan. Sekarang apa lagi alasan lo?"
"Masa udah masuk 30 under 30 Forbes nggak bisa bayar makanan kita hari ini? Paling berapa, sih? 30? 50 juta?"
"Iih, kalian kenapa, sih? Nggak mungkin, lho, Baskara secupu itu. Iya, kan, Bas?" Sandra langsung mengerjapkan mata beberapa kali ke arah teman sekelasnya. Bukannya tergoda, diam-diam Baskara bergidik ngeri.
"Jangan banyak omong, keluarin aja," salah satu temannya mengeluarkan kartu kredit, "Biar cepet, nih! Gue masih harus jemput istri sebelum dia ngeborong mal."
"Tidak perlu," Baskara meletakkan peralatan makan sebelum berdiri kemudian berjalan dengan langkah pasti menuju Andre yang duduk di ujung berlawanan dengan tempat duduknya, "Kali ini aku yang bayar."
Ketika sampai di samping Andre, pria itu langsung mengeluarkan kartu kredit edisi terbatas yang hanya dimiliki segelintir orang di seluruh dunia. Dia meletakkan kartu kredit itu diiringi seruan tertahan dari mulut teman-temannya.
"Itu..."
"Beneran itu black card?!"
"Lho? Gue nggak ditungguin?" Gala yang baru memasuki ruang makan VIP disambut dengan tatapan beberapa temannya sementara yang lain masih penasaran dengan kartu kredit yang dimiliki oleh Baskara. Bagaimana mungkin seorang miskin seperti Baskara dapat memiliki kartu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Apakah benar pria itu sudah sesukses itu? Rasanya sulit untuk membayangkan. Bukan. Teman-temannya bukan sulit untuk membayangkan kalau itu mungkin terjadi. Tetapi mereka sulit untuk mengakuinya. Berat mengakui kesuksesan orang lain jika mereka jauh lebih sukses. "Beuh! Pasti karena Baskara, ya? Kalian langsung lupa sama gue?" Gala langsung berjalan dan menduduki salah satu kursi yang tidak terisi. Entah siapa tertawa kecil, "Nggak nyangka lo berhasil ngerayu Baskara buat datang." "Tuh, Bas, lo denger sendiri? Mereka penasaran sama lo," tanpa rasa bersalah karena sudah terlambat datang pria itu mulai menikmati hidangan yang ada. "Gimana kita nggak penasaran? Lo tahu sendir
"Lo lihat mukanya anak mami itu?" Gala masih terbahak bahkan setelah lima belas menit mereka meninggalkan parkiran restoran kelas atas itu. Dia datang diantar oleh supir kantor. Tidak ingin supernya lembur, Gala memutuskan untuk menyuruh supirnya segera kembali setelah menurunkannya di restoran. Tentu saja Baskara tidak keberatan jika harus mengantarkan sahabatnya pulang. "Gue kira dia bakalan ngamuk sampai lempar-lempar barang. Ternyata dia udah lebih dewasa dari dulu." "Dewasa dari mana?" Dia terbahak, "Gengsi aja dia depan anak-anak." "Bisa jadi," Baskara mempercepat laju kendaraan ketika melihat jalan raya cukup lenggang. "Akhirnya lo mau juga beli mobil mahal," Gala mengusap dengan hati-hati interior Audi RS E-Tron milik sahabatnya. "Nggak beli gue. Kalau beli sendiri mending gue beli mobil lain. Nggak usah yang mahal begini." "Dikasih siapa?" "Investor. Katanya ini mobil operasional gitu," Baskara berdecak, "Waktu dia bilang mobil operasional gue mikirnya van atau s
Menjelang tengah malam baru Baskara tiba di kontrakannya. Rencananya dia hanya mengantarkan sahabatnya ke rumah orang tuanya. Tetapi ketika Ghaida mengetahui kalau Baskara yang berada di balik kemudi, wanita paruh baya itu meminta untuk mampir. Baskara tentu tidak memiliki pilihan selain menuruti keinginan ibu dari sahabatnya. Dia melepaskan jaket kemudian menyampirkannya dengan sembarangan di sandaran sofa. Kontrakannya terlihat seperti kapal pecah. Baskara adalah orang yang apik. Dia paling tidak suka jika barang terletak tidak pada tempatnya. Kali ini dia harus berkompromi karena sedang bersiap untuk pindah. Kontrakan ini penuh dengan kenangan. Kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit ini adalah tempat pertama yang dapat disebutnya rumah. Sebelumnya dia dan ibu hanya mampu menyewa kamar berukuran kecil untuk berteduh. Baru ketika Baskara kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh mereka dapat pindah ke kontrakan sederhana ini. Baskara mengummpulkan setiap sen penghasila
"Kamu nggak apa-apa?" Suara seorang gadis yang bertanya dengan hati-hati memaksa Baskara membuka mata. Emosinya masih bergejolak setelah Andre dan genknya merusak buku catatan pelajaran miliknya. "Ya," akhirnya dia menjawab singkat. "Ya itu berarti kamu nggak apa-apa atau kamu apa-apa?" Untuk pertama kalinya dia menyadari gadis yang berdiri di hadapannya dengan sedikit menunduk itu memiliki bola mata yang besar seperti boneka. Menggemaskan. "Aku nggak apa-apa." Gadis itu mengangguk, "Kamu nggak pintar bohong." "Maksud kamu apa?" Suaranya meninggi. Dituduh berbohong tidak pernah menyenangkan. Terlebih ketika tertangkap basah melakukannya seperti sekarang. "Kamu bilang kamu nggak apa-apa," dia tersenyum kecil, "Tapi muka kamu bilang sebaliknya." Kali ini Baskara memilih untuk tidak menjawab. Dia berharap gadis itu paham kalau saat ini dia tidak sedang ingin berbicara dengan siapa pun. Sayangnya, harapan Baskara jauh panggang dari api. Dengan santai gadis itu duduk di samping B
Seperti biasa, Baskara sudah berada di ruangannya sejak pukul tujuh pagi. Dia sudah selesai mengecek jadwal yang dikirimkan oleh Anya, asisten pribadinya, juga menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa kemarin. Sekarang dia sedang memeriksa surel dan memastikan tidak ada surel penting yang terlewat olehnya. Dia sudah hampir selesai ketika notifikasi dari salah satu penyedia layanan cloud yang digunakan olehnya muncul di sudut layar. Bukan notifikasi penting. Hanya pengingat memori yang terjadi tanggal ini di tahun-tahun yang sudah berlalu. Biasanya dia akan mengabaikan tetapi pagi ini entah mengapa dia memilik untuk mengkliknya. Tidak perlu menunggu lama layar iMac yang digunakannya dipenuhi sebuah foto. Foto Baskara bersama Gala dan... Aruna. Foto itu diambil beberapa minggu sebelum Baskara putus dengan Aruna. Bukan foto yang istimewa. Aruna yang memang suka fotografi itu selalu membawa kamera. Gadis itu seakan terobsesi untuk mengabadikan setiap momen dalam hidupnya. Mereka
"Lo jadinya kapan pindahan?" Gala bertanya sambil meminta tambahan kuah kacang untuk sate ayam yang sedang dinikmatinya. Makan bersama Gala berarti menjajal berbagai makanan gerobakan atau warung tenda. Padahal dulu ketika Baskara mengajaknya makan bakso abang-abang di dekat tempat tinggalnya, Gala berujung diare selama seminggu. Tapi sekarang tidak ada yang dapat menghalangi Gala menikmati jajanan kaki lima selain, tentu saja, ibunya. "Minggu depan. Gue belum selesai packing," Baskara yang sudah sejak tadi menghabiskan makan siangnya sekarang sedang menikmati es jeruk pesanannya. "Mau aku bantu, Bos?" Anya yang ikut makan siang bersama mereka bergabung dalam percakapan setelah lelah mengecek berbagai media sosial yang dimilikinya. Gadis itu tipe yang selalu harus update dan membagi kesehariannya. Followernya juga terbilang cukup banyak. "Nggak perlu," Baskara menjawab cepat. Dia tidak pernah suka barang-barangnya dipegang oleh orang lain. Selain itu dia juga masih sering tidak ny
Sepanjang hari Baskara sangat sibuk. Dia hanya sempat bersantai ketika makan siang bersama Gala. Setelah itu dia harus menghadiri meeting mingguan bersama tim inti Steam Perfection dilanjut dengan memeriksa dokumen kontrak dan berbagai pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda. Dia tidak mengeluh, sebaliknya dia sangat bersyukur karena itu berarti pikirannya tetap sibuk sepanjang hari. tidak ada ruang untuk memikirkan Aruna. Tepat pukul tujuh malam dia mematikan iMac kemudian bersantai sambil menunggu pesanan makan malamnya diantarkan. Entah kapan terakhir kali dia makan malam di kontrakan. Hampir setiap hari dia baru pulang setelah makan malam di kantor. Termasuk ketika dia akhir pekan. Jika tidak menyambangi kantor maka dia akan sengaja menjadwalkan meeting dengan klien atau bertemu dengan teman-teman kuliah dan merencanakan proyek bersama. "Bosan," Baskara bergumam sebelum menguap lebar. Tidak tahu harus melakukan apa akhirnya Baskara mengambil ponsel yang ada di atas meja. Dia men
"Bos, makan malamnya," Anya masuk dengan membawa baki berisi lele penyet pesanan Baskara yang sudah tertata cantik di piring. Lengkap dengan sambal di pisin dan es teh tawar sebagai pelengkap. Ini merupakan hidangan makan malam kesukaan Baskara. "Langsung aja taruh di meja," Baskara menjawab sambil mematikan layar ponsel hingga Anya tidak dapat mengintip apa yang sedang dilihatnya. Dengan cekatan gadis itu memindahkan isi baki ke atas meja yang ada di ruangan atasannya. Bulan lalu mereka pindah ke kantor yang ukurannya lebih luas dan ruangan Baskara akhirnya layak disebut sebagai ruangan CEO. Tidak sebelumnya yang lebih mirip seperti ruangan penyimpanan dokumen. "Ada lagi, Bos? Kalau nggak ada aku balik duluan, ya?" Baskara melirik jam di atas meja sebelum mengangguk, "Pakai taksi online aja. Udah malam. Bahaya kalau kamu naik angkutan umum." "Tenang, Bos. Buat anak ibukota ini masih sore," Anya tertawa kecil, "Jadwal untuk besok udah aku email." "Terima kasih," Baskara mengangg