Share

Bab 3: Black Card

"Woi, Sampah! Masih berani lo nunjukin muka? Tebel banget, sih itu muka!" Teriakan Riza menyapa telinga Baskara yang baru saja melewati parkiran SMA Insan Harapan. 

"Udah nggak sabar main bareng kita?" Andre bertanya dengan nada penuh penghinaan. Jangan salah paham, main yang dimaksud oleh laki-laki itu bukan benar-benar main melainkan perundungan di mana mereka menjadikan Baskara sebagai samsak atau asbak tempat mematikan puntung rokok mereka. 

"Kalian masih belumn puas menghina aku?" Biasanya Baskara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka tetapi hari ini moodnya sedang tidak baik hingga dia memilih menanggapi sekaligus meluapkan emosinya. 

Sontak Andre, Riza dan genk mereka terbahak. Pertanyaan Baskara terdengar aneh di telinga mereka. 

Andre berjalan dengan santai hingga hanya rumpun tanaman yang menjadi pembatas di antara mereka, "Heh Sampah, gue kasih tahu sesuatu, gue nggak pernah ngehina lo. Itu kenyataan. Di sini lo cuma sampah! Sampai kapanpun lo bakalan tetap jadi sampah. Beda sama gue dan teman-teman gue. Makin cepat lo sadar makin baik."

"Tempat sampah bukan di sini," Riza yang sudah berdiri di samping Andre tersenyum sinis, "Lo cuma bikin sekolahan kita bau!" 

***

"Kalian," Baskara menatap Andre dan Riza bergantian, "Yang mengajarkanku. Menyatakan kenyataan tidak termasuk hinaan. Benar?" 

Andre dan Riza terdiam untuk alasan berbeda. Andre merasa kalau dia harus berhati-hati dalam menghadapi Baskara atau dia akan membongkar kartunya di depan hadapan teman-temannya. Sementara Riza terdiam karena apa yang diucapkan Baskara adalah kenyataan. Tidak peduli berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan oleh orang tuanya tetap saja tidak berhasil memasukkan anak mereka ke salah satu universitas Ivy League. Bahkan lebih memalukan lagi, dia tidak diterima di universitas manapun kecuali karena orang tuanya bersedia memberikan donasi dengan nominal yang sangat luar biasa. 

"Udah, udah, kenapa kalian ribut terus, sih?" Sandra kembali bersuara dengan nada kenesnya yang khas, "Bas, sahabat kamu mana? Biasanya kalian selalu bareng, kan?"

"Gala itu nggak pernah absen datang ke reuni kelas," Rue ikut bersuara, "Penampilannya juga udah nggak seculun dulu."

"Udah nggak culun tapi nggak pernah gandeng cewek." 

Komentar itu langsung memancing tawa yang lain. Sudah menjadi rahasia umum kalau Gala memang tidak pernah tertarik untuk pacaran. Pria itu sejak dulu lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca. Pacar hanya akan menyusahkan saja. 

"Dia akan datang," Baskara tersenyum tipis, "Ada yang harus dikerjakan sebelum dia menyusul ke sini." 

"Waaah... kalian masih dekat sampai sekarang?" Entah siapa yang bertanya. 

"Kamu bisa sesukses sekarang karena bantuan Gala?" Jika ini diajukan oleh orang lain, Baskara akan mengatakan kalau itu murni karena penasaran. Tetapi karena yang bertanya adalah teman sekelasnya dia tahu pertanyaan itu bermaksud untuk merendahkan. 

"Pertanyaanmu..." Baskara menatap tajam si penanya, "Terkesan mengatakan kalau aku tidak mampu sukses dengan usahaku sendiri." 

"Nggak... tentu saja bukan seperti itu maksudku," teman sekelasnya terlihat salah tingkah. Sedetik tadi dia lupa kalau Baskara sudah bukan anak beasiswa yang tidak pernah melawan walau direndahkan seperti apapun. 

"Lantas, apa maksud ucapanmu?" Baskara masih menatap tajam. 

"Hanya... basa-basi," dia menjawab masih dengan salah tingkah. 

"Jangan terlalu banyak basa-basi. Kasihan orang tuamu. Sukses sebagai diplomat tetapi anaknya... maaf apa kegiatanmu sekarang?" 

Sang penanya langsung menelan ludah berulang kali. Pertanyaan itu adalah sesuatu yang paling dihindarinya. Sepulang dari mengenyam pendidikan di Eropa, dia kembali ke ibukota. Terlalu banyak waktu kosong hingga dia kecanduan judi online. Sejak itu tidak ada yang dilakukannya selain berjudi walau kepada orang tuanya dia mengaku sedang menjajal cryptocurrency. 

Seandainya Baskara mau, dia dapat mempermalukan seluruh teman sekelasnya ini. Berkat bantuan Gala dan orang suruhannya, Baskara mengetahui apa saja kegiatan teman sekelasnya yang dulu begitu meremehkannya. Seperti yang dikatakan Gala kepadanya, tidak ada yang mengalahkan pencapaian seorang Baskara. 

"Udah dulu ngobrolnya," Rue kembali berusaha mencairkan suasana, "Ini pesanan kita udah mulai dingin, lho. Mendingan kita makan." 

Ucapan gadis itu membuat suasana riang kembali. Obrolan dengan cepat berubah menjadi riang beradu dengan denting peralatan makan. Baskara menyembunyikan senyum. Teman sekelasnya tidak banyak berubah. Semua masih serupa seperti dulu. Seakan waktu hanya berhasil mengubah penampilan mereka saja. 

Rue tidak banyak berubah. Tidak hanya secara fisik, gadis itu masih secantik masa sekolah, tetapi juga kemampuannya untuk mengendalikan suasana. Rue selalu berhasil mengembalikan ketenangan saat Andre dan genk merundung Baskara secara terang-terangan di kelas. Tidak sekali dua kali gadis itu membantu Baskara dengan menghentikan tindakan Andre dan genk hanya melalui ucapan. Wajar rasanya jika sekarang gadis itu berkiprah di PBB sebagai perwakilan negara ini. 

Sambil menikmati hidangan yang tersedia sesekali Baskara akan menjawab pertanyaan kecil yang diajukan oleh mantan teman-teman sekelasnya. Selain Andre dan genknya, semua bersikap cukup ramah. Mereka penasaran dengan kabar pria itu. Tidak aneh karena sebelum hari ini Baskara selalu berusaha menghindari pertemuan dengan teman-temannya. Luka yang ditinggalkan mereka masih menganga lebar dalam dirinya. 

"Oke! Kayak bisa, ya?" Andre tiba-tiba berseru cukup kuat sambil mengeluarkan dompet kemudian mengambil sebuah kartu kredit, "Kumpulin kartu kredit kalian di sini."

Ucapan itu menghadirkan nostalgia berujung tawa dan keriuhan kecil. Ini merupakan kebiasaan mereka sejak masih di SMA. Walau biasanya dilakukan di akhir acara sedangkan saat ini mereka bahkan belum selesai bersantap.

"Kalian masih melakukan ini?" Baskara menghabiskan air mineralnya. 

"Kenapa? Jangan bilang lo masih nggak bisa ikutan," Andre mencibir, "Dulu lo miskin makanya nggak bisa ikutan. Sekarang apa lagi alasan lo?" 

"Masa udah masuk 30 under 30 Forbes nggak bisa bayar makanan kita hari ini? Paling berapa, sih? 30? 50 juta?"

"Iih, kalian kenapa, sih? Nggak mungkin, lho, Baskara secupu itu. Iya, kan, Bas?" Sandra langsung mengerjapkan mata beberapa kali ke arah teman sekelasnya. Bukannya tergoda, diam-diam Baskara bergidik ngeri.

"Jangan banyak omong, keluarin aja," salah satu temannya mengeluarkan kartu kredit, "Biar cepet, nih! Gue masih harus jemput istri sebelum dia ngeborong mal." 

"Tidak perlu," Baskara meletakkan peralatan makan sebelum berdiri kemudian berjalan dengan langkah pasti menuju Andre yang duduk di ujung berlawanan dengan tempat duduknya, "Kali ini aku yang bayar."

Ketika sampai di samping Andre, pria itu langsung mengeluarkan kartu kredit edisi terbatas yang hanya dimiliki segelintir orang di seluruh dunia. Dia meletakkan kartu kredit itu diiringi seruan tertahan dari mulut teman-temannya. 

"Itu..."

"Beneran itu black card?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status