[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
Semua pasang mata manusia menatap perempuan tengah berdiri berdampingan dengan laki-laki paruh baya. Menggenggam seikat bunga putih – symbol pernikahan – dan bunga itu adalah bunga kesukaannya. Mungkin sebuah kebetulan yang pas.Mempelai perempuan belum memahami situasi, raut wajahnya yang linglung begitu jelas hingga kemudian lengan kanannya terasa ada yang menyenggol lalu menyelipkan ke dalam siku, sontak si pengantin menoleh.Bisa dipastikan dia sedang berada di sebuah acara pernikahan, nuansa sakral begitu terasa kala bunga berjajar cantik pada setiap sisi pinggiran altar. Dia sedang tidak menghadiri pernikahan teman, kerabat ataupun orang lain. Melainkan dirinya yang menjadi pengantin.“Tidak perlu gugup. Ayah di sampingmu.” Suara laki-laki yang merangkul tadi. Pakaiannya begitu rapi, ada ‘sapu tangan saku’ terselip pada sisi kantong, penghias jas ketika pemakai menghadiri acara formal.‘Ayah? Ma-maksudny
Terdengar napas si lelaki ngos-ngosan setelah adegan yang dianggap romantis oleh semua orang. Kemungkinan hanya perempuan di sebelah yang memperhatikan.Sepasang pengantin baru ini beralih tersenyum – namun ekspresi sang suami terkesan kaku – terlebih menyambut para tamu yang memberikan ucapan selamat. Kalau bukan salah satu dari keharusan, ia tidak akan pernah melakukan hal mengerikan ini. Juga Wira harus menyiapkan berbagai alasan agar tak menerima salaman tiap tamu.Pengantin perempuan melayangkan pandangan tempat terselenggaranya pernikahan.Sedari tadi ia baru menyadari kalau pernikahan dilaksanakan di halaman luas rumah pribadi. Dengan rumput yang tak membiarkan tanah terlihat. Di dominasi warna putih pada setiap dekorasi. Melihat banyaknya kursi, menyatakan tidak sedikit tamu yang hadir. Pula rata-rata tamu bukan dari kalangan biasa – Arina bisa melihat handbag dengan brand langit.Perempuan berumur tetapi bagi Arina dia
“Setelah kakak (Wira) menyetujui menikah dengan mbak, kami semua terkejut. Termasuk mama, sampai-sampai menangis. Aku juga tidak tahu apa yang membuatnya tertarik pada mbak Kiran. Tapi, aku senang sekali. Dan aku merasa mbak itu perempuan paling baik.” Rakin tersenyum lebar, ekspresinya manis sekali. Seolah wajah Wira yang sedang manja, karena kemiripannya.“Kamu berlebihan. Aku tidak sebaik itu. Lagipula ini tidak akan lama, bisa saja penawaran tersebut hangus tanpa tahu waktu dan tempat, sebentar lagi aku juga akan bangun dan kembali ke kehidupan menyedihkan.”Pria di sebelah menaikkan sebelah alis, “Penawaran? Hahaha. Kakak mau ngelucu, ya?” sebenarnya itu tawa yang terkesan terpaksa. Pemuda ini mengira kakak iparnya sedang melawak.“Ngelucu? Maksud kamu?” sekarang Arina yang terheran.‘Bisa-bisanya adik kakak beda sifat begini’ pikir Arina.Rakin pun menarik hidung menantu Ara
“Tidak. Lagian aku sudah memberimu baju.” Wira menolak tegas.“Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Kau bisa memegangku? Atau menampar, mencubit dan sejenisnya?” tanpa bersalah dia mendekat pria pemilik kamar.“Jangan mendekat sedikitpun! Dan aku tidak mau apapun itu!” permintaan mengerikan bagi laki-laki tersebut.Arina tidak menghiraukan perkataan Wira. Perkataan tersebut seperti ancaman tetapi menyimpan ketakutan. Arina tersenyum sembari perlahan mendekati pria di sana.“Ku bilang jangan mendekat! Kau tidak mengerti ucapanku, ya!” Wira bergegas mengambil handphone di atas nakas, ia berniat menelepon Ningrum, nyonya rumah sekaligus mamanya.“Huh, Lelaki aneh!” pungkas si menantu. Kembali mengabaikan laki-laki aneh di sebelah ranjang.Arina membuka pintu dengan kesal, hatinya sangat geram karena diusir. Dia sudah seperti pekerja yang kecolongan memasuki kamar tuan muda.&ldqu
Istri Wira terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari orang lain datang menghampiri.“Permisi nona muda, saya Aris sekretaris tuan Wira,” laki-laki berpakaian formal hitam memperkenalkan diri. “Saya menerima telepon dari ibu Ningrum untuk mengantar segala keperluan dan di luar sudah ada mobil yang membawa seluruh barang-barang anda.”Arina ingat ibu mertuanya akan meminta sekretaris Wira membawakan semua kebutuhannya sesaat yang lalu.‘Cepat juga barang-barang itu datang’.“Ah, iya. Bawakan semuanya ke kamarku.” Sekretaris pun menunduk hormat.Aris memberi intruksi kepada para pekerja perempuan – yang mengantar. Arina menuju kamar Wira juga segera bergegas membantu membawakan beberapa jenis paperbag. Sesampainya di sana, tak didapati laki-laki yang mengusir dirinya beberapa saat lalu.“Ada yang nona perlukan lagi?” Aris menyadarkan nona muda y
Bukan hanya itu, sesuatu yang mengganggu lainnya adalah jarak antara kursi Wira dan ibunya. Posisi mereka tak menunjukkan hubungan ibu dan anak. Sungguh tak bisa dimengerti seorang menantu. ‘Sebenarnya aku bisa menikah dengan dia karena apa? Lihatlah dia seperti pria batu, kemarin saja berteriak ketakutan’ Kiran sempat mencuri lirikan pada laki-laki di depannya. ‘Kukira kehidupan setelah menikah enak dan bahagia. Ternyata lebih menyulitkan dari hidupku sebelumnya.’ “Uhuk. Uhuk.” Wira terbatuk tiba-tiba. Sontak Kiran menyodorkan gelas terdekat yang berisi air kepada laki-laki aneh di depan. “Aku bisa sendiri.” Pria batu menolak cepat. Perlahan menantu keluarga menurunkan gelas di genggamannya, dia kembali mendapati tatapan dari seluruh anggota keluarga. Tatapan yang sama, tidak bisa dimengerti. *** Tangan lebih kecil menarik lengan Rakin yang mana pemuda itu hendak menuju pintu keluar, menyeretnya paksa