Share

Pendatang Baru

Istri Wira terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari orang lain datang menghampiri.

“Permisi nona muda, saya Aris sekretaris tuan Wira,” laki-laki berpakaian formal hitam memperkenalkan diri. “Saya menerima telepon dari ibu Ningrum untuk mengantar segala keperluan dan di luar sudah ada mobil yang membawa seluruh barang-barang anda.”

Arina ingat  ibu mertuanya akan meminta sekretaris Wira membawakan semua kebutuhannya sesaat yang lalu.

‘Cepat juga barang-barang itu datang’.

“Ah, iya. Bawakan semuanya ke kamarku.” Sekretaris pun menunduk hormat.

Aris memberi intruksi kepada para pekerja perempuan – yang mengantar. Arina menuju kamar Wira juga segera bergegas membantu membawakan beberapa jenis paperbag. Sesampainya di sana, tak didapati laki-laki yang mengusir dirinya beberapa saat lalu.

“Ada yang nona perlukan lagi?” Aris menyadarkan nona muda yang matanya sibuk mencari sosok lelaki aneh.

“Tidak, tidak ada. Ini lebih dari cukup.”

Sekretaris tersebut memunggungi nona muda sembari melihat para pekerja menyelesaikan tugasnya. Laki-laki yang dikenal professional dan sigap setiap mengerjakan perintah dari keluarga Arasatya. Arina ikut berdiri, bermaksud ingin memantau. Pikirnya ‘Kenapa dari tadi antar-mengantar belum selesai.’

Posisi Arina sudah berdampingan bersama si sekretaris. “Aris. Kau kenal aku?” Pertanyaan random si nona muda.

“Tentu saja, nona. Anda istri atasan saya, tuan Wira.” Perempuan di sebelah mengangguk-angguk pelan.

“Kau bisa menyentuhku?” Kalimat nona muda membuat sekretaris terkejut, tampak dari reaksi tubuh yang dia tunjukkan.

“Maaf, nona. Saya tidak bisa. Saya tidak ingin di gantung hidup-hidup oleh tuan Wira.”

‘Selain aneh, pria itu bisa mengancam juga rupanya’.

“Hahaha… di balik mukamu yang mengesalkan ternyata kau lucu. Bagaimana kalau aku meminta bantuan?” membuat pengalihan sempurna.

“Silahkan, nona. Bantuan apa yang perlu saya berikan?” Aris tetap teguh pendirian, begitu formal pada istri tuannya.

“Kalau aku memukulmu langsung kau tangkis, ya. Aku ingin melihat sampai mana ilmu beladiriku.” Sebenarnya ini akal-akalan Arina saja.

Si sekretaris terdiam sebentar.

“Apa itu tidak masalah? Saya takut menyakiti nona.”

Perempuan ini tersenyum penuh rencana.

“Tentu saja tidak masalah. Aku lebih kuat dari yang terlihat, loh. Kau meremehkanku karena tubuhku kecil, ya?”

Aris sontak merubah cara bicaranya diiringi gerakkan-gerakkan tangan memberitahu bahwa dia tidak bermaksud menyepelekan nona muda. Padahal tanpa sadar dia sudah termakan umpan Arina yang memiliki tujuan berbeda. Namun, sebagian ucapan istri Wira ada benarnya, bahwa sekretaris melihat tubuh perempuan di sebelah lebih kecil darinya yang hampir sama tinggi dengan putra sulung Arasatya.

Arina mulai melajukan kepalan tinjunya – sasaran yang dituju ialah tulang pipi Aris. Belum sempat tangan mungil itu mengenai wajah laki-laki tersebut, secara sigap Aris menggunakan lengannya yang lebih besar memberi balasan.

“Awww…!” Penantang mengadu.

“Ma-maafkan saya, nona. Saya akan panggil dokter.” Dengan cepat Aris mengeluarkan handphone dari saku jas.

“Aku… aku tidak apa-apa. Tak perlu dokter.” Nona muda berkata sembari menahan sakit.

“Saya benar-benar akan digantung tuan Wira.” Aris bergumam khawatir.

***

Seorang perempuan ber-midi dress hitam tengah sendirian menyusuri jalur pejalan kaki. Tatapan yang kosong seolah menunjukkan kekecewaannya. Gadis itu terus melangkah, tidak memedulikan simpang siur lampu kendaraan. Jangan lupakan alas kaki yang berpindah ke tangan, yaitu heels berdempetan dalam satu genggaman, dia menentengnya. Wajah cantik si gadis tampak lelah, sesekali menunjukkan sunggingan bibir penyesalan. Dia tampak hilang arah.

Tinnn…!

Suara memekakkan bersamaan dengan cahaya terang datang entah dari arah mana. 

Kilasan alam bawah sadar menyebabkan perempuan yang tertidur di kamar Wira seketika terbangun.

“I-itu aku.” katanya, sesaat setelah melihat kejadian mimpi yang dialami. Tubuhnya berkeringat serta risih di balik selimut, dengan cepat Arina menyingkirkan benda berbahan kain tersebut.

“Mimpi itu adalah aku yang berjalan ingin pulang tapi… kenapa aku bisa di sana sendirian?” Ia berusaha mengingat.

“Ah, Sebelum itu aku dari restoran. Lagipula aku kan tidak pernah makan di restoran karena makanannya mahal. Terus apa yang membuatku datang ke tempat itu?”

Tok. Tok. Tok.

“Nona, anda diminta untuk makan malam bersama.” Raungan dari luar mengejutkan gadis di dalam kamar. Hari kedua menjadi menantu keluarga Arasatya.

Mendengar ucapan ‘makan malam’ membuat Arina melirik jam dinding segera, pergeseran jarum waktu rupanya sudah terlalu jauh – ia tertidur cukup lama. Tidak bisa dipungkiri, seorang istri penasaran apakah sang suami belum kembali sejak pertemuan menyebalkan mereka sore kemarin. Sebab ketika Arina membuka mata hanya hamparan ruangan tanpa penghuni.

Belum juga ada sambutan dari nona mudanya, pekerja di luar mengetuk pintu untuk kedua kali.

“Nona, anda baik-baik saja?”

Bergegas menantu Arasatya beranjak membuka pintu, “Nanti saya menyusul, mbak.” Panggilan yang terdengar aneh untuk seorang pekerja perempuan.

Meja makan kemarin yang pendatang baru gunakan terlihat sangat berbeda, berbagai jenis makanan memenuhi bidang datar berbahan kayu tersebut. Penarik perhatian di sana adalah laki-laki berpakaian rapi di tengah-tengah.

‘Kapan dia pulang?’ pikir Kiran sembari melangkah.

“Mbak Kiran.” Adik ipar menyapa penuh senyuman. Semua orang beralih menatap sang menantu keluarga yang mendekat.

Kentara sekali kecanggungan dari Kiran, dia merasa seperti menjadi sasaran empuk dari para mata tajam manusia. Nyalinya menjadi ciut seketika.

Terdapat kursi kosong tepat di depan Wira. Kiran yakin itu kursi untuknya.

Mereka memang  sedang makan malam bersama, hanya saja suasana ini tidak ada bedanya dengan makan sendirian. Tidak ada obrolan dan candaan layaknya keluarga harmonis dalam bayangan seorang gadis. Pemuda jahil bernama Rakin pun tampak diam. Kejadian yang tak bisa dipahami pendatang baru rumah besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status