Share

Pemeriksaan Ulang

“Tidak. Lagian aku sudah memberimu baju.” Wira menolak tegas.

“Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Kau bisa memegangku? Atau menampar, mencubit dan sejenisnya?” tanpa bersalah dia mendekat pria pemilik kamar.

“Jangan mendekat sedikitpun! Dan aku tidak mau apapun itu!” permintaan mengerikan bagi laki-laki tersebut.

Arina tidak menghiraukan perkataan Wira. Perkataan tersebut seperti ancaman tetapi menyimpan ketakutan. Arina tersenyum sembari perlahan mendekati pria di sana.

“Ku bilang jangan mendekat! Kau tidak mengerti ucapanku, ya!” Wira bergegas mengambil handphone di atas nakas, ia berniat menelepon Ningrum, nyonya rumah sekaligus mamanya.

“Huh, Lelaki aneh!” pungkas si menantu. Kembali mengabaikan laki-laki aneh di sebelah ranjang.

Arina membuka pintu dengan kesal, hatinya sangat geram karena diusir. Dia sudah seperti pekerja yang kecolongan memasuki kamar tuan muda.

“Ah, kakak ipar. Ada apa? Kenapa di sini? Laki-laki payah itu mana?” Rakin kebetulan lewat. Penampilannya pun terlihat santai.

Arina belum paham ocehan adik suaminya, juga tidak peduli. Saat ini dia harus membuktikan sesuatu terlebih dahulu, yang terbilang penting. Spontan Arina menarik lengan Rakin, hendak membawanya ke tempat sepi. Sialnya para pekerja rumah besar wara-wiri – di setiap ruangan mereka ada.

‘Di mana tempat yang sepi, ya’ Arina belum bisa mencari lokasi yang tepat.

“Mbak. Kita mau ke mana?” Di sisi belakang ada laki-laki muda keheranan melihat tangannya masih digenggam.

“Mencari tempat sepi.”

“Tempat sepi? Mbak jangan main-main. Aku bisa dibunuh kak Wira.”

Menantu Arasatya berbalik menghadap adik ipar “Dibunuh? Untuk apa dia membunuhmu? Aku hanya ingin membuktikan sesuatu. Kakakmu itu tidak mau melakukannya.”

“Mbak Kiran mau melakukan apa?” dipastikan pikiran Rakin sudah ke mana-mana.

“Sssttt. Jangan banyak tanya. Sekarang antarkan aku ke tempat yang aman dan sepi.” Arina masih celingukan melihat-lihat para pekerja.

“Ikut aku, mbak.” Adik ipar melepaskan genggaman lalu berjalan memimpin.

Ruangan per ruangan mereka lewati, Arina benar-benar tidak paham seluk beluk rumah besar, tugasnya sekarang hanya membuntuti Rakin. Lelaki tersebut kemudian mendorong sebuah pintu yang berada di lantai bawah. Mempersilahkan kakak ipar memasuki lebih dulu, di dalam terdapat benda-benda yang berbahan kayu serta tampak berdebu.

“Sepi kan, mbak?” tanya Rakin enteng.

Istri Wira terdiam sesaat.

“Iya, sepi.” Arina tersenyum kaku. ‘Memang sepi, tapi bukan gudang horror seperti ini juga’  kesal batinnya.

“Baiklah. Sekarang pukul aku.” Pinta kakak ipar tiba-tiba.

“APA? Mbak Kiran tidak mengada-ngada, kan? Ha-haha… Pukul bagian mana?”

‘Dasar pria tidak jelas. Kukira dia mau menolak’  benak Arina.

“Kita mulai.” Putra bungsu Arasatya memberi ancang-ancang. Perempuan yang meminta tadi telah siap memejamkan mata. Dia akan dipukul secara nyata dan laki-laki di depan adalah pria bertubuh tinggi, setara dengan Wira.

Lalu…

Bunyi tamparan sederhana yang tidak menimbulkan rasa sakit. Arina mengintip menggunakan sebelah matanya. Perkiraan Arina salah, sebelumnya dia mengira benar-benar akan dipukul.

“Coba cari cara lain supaya aku merasa sakit.” ‘Mungkin dia tidak tega melakukannya’

“Mbak Kiran memang ingin aku dibunuh kak Wira, ya?” lagi-lagi adik ipar bertanya. Hal tidak masuk akal ini tidak akan dia lakukan.

“Kenapa kau membahas bunuh membunuh terus, sih? Aku cuma minta tolong, apapun caranya kau harus bisa membuatku bersuara. Bila perlu berteriak. Pemeriksaan ulang harus selesai di sini.”

Rakin mendekat selangkah, jarak antara adik dan kakak ipar kurang lebih lima belas sentimeter. Rakin mengangkat kedua tangannya, meletakkan ke dagu Arina. Lelaki itu menggosok-gosok wajah perempuan di depan hingga mencubit-cubit cukup keras.

“Stop! Kukira cukup membuktikan.” Mengusap-usap pipinya yang mulai terasa sakit. Ucapan Arina memunculkan raut bingung dari lawan bicara.

“Ah… tidak usah dipikirkan. Ini hanya rasa penasaranku sebagai perempuan.” tambah isti Wira. Dia bisa melihat wajah Rakin penuh tanya.

***

Anggota keluarga Arasatya belum juga menunjukkan batang hidung hingga malam. Sebuah keluarga yang tidak dipahami pendatang baru seperti Arina.

Sedangkan menantu keluarga tengah sendirian di meja makan. Sejak acara pernikahan dia tidak memakan sesuatu yang membuat perutnya kenyang. Menyangga kepala menggunakan tangan kiri sembari tangan kanan memainkan sendok, Arina memikirkan kejadian-kejadian aneh hari ini.

‘Jelas sekali ini bukan mimpi. Cubitan adik ipar masih terasa’ nona muda larut dalam pikirannya.

‘Kalau ini bukan mimpi, kenapa aku bisa menjadi istri pria aneh (Wira) itu? sejak kapan kami bertemu? Tunggu dulu, tubuh ini bukan tubuhku yang sebenarnya. Ini tubuh Kiran istrinya pria aneh. Sepantasnya semua orang memanggilku dengan namanya. Mungkin gadis itu tidak sanggup melihat kelakuan suaminya sendiri. Lalu memintaku menggantinya'.

Ia menyuap sepotong daging.

‘Kalau aku di sini, tubuhku yang asli di mana? Semenjak penawaran tersebut aku lupa segalanya, hanya sedikit yang bisa kuingat’.

“Kiran,” Panggilan Ningrum membuat menantunya terkejut. “Wira mana? Kenapa kamu makan sendirian?” tambah ibu mertua. Malam pertama yang berharga di sambut kesendirian menantu yang kelaparan. Ningrum sangat paham bagaimana kondisi sang putra, tidak mudah berbuat hal baru layaknya pengantin normal pada umumnya. 

Nyonya Arasatya melihat pakaian Kiran, “Oh, astaga, maaf mama lupa bawakan baju untukmu. Nanti mama telepon sekretarisnya Wira saja, ya. Biar dia membawa semua keperluan kamu di sini.”

“Tidak perlu, ma. Tadi Wira memberiku baju ini, cukup nyaman kok.” Tersenyum lebar, menunjukkan raut bahagia.

Hanya sapaan singkat perempuan anggun kepada sang menantu. Lalu melangkah menjauh dari tempatnya. Arah yang dituju nyonya rumah adalah sebuah ruangan khusus. Ruangan yang tak dipahami seorang pendatang baru.

‘Kalau dipikir-pikir, bagaimana aku bisa menjadi tuan putri dalam sekejap. Seingatku aku sedang tidur biasa. Malam itu Riana pergi bersama pacarnya’. Arina menelaah potongan-potongan ingatan sebelum pertemuan dan penawaran berlangsung. Syukur nama temannya bisa ia ingat.

‘Sial, aku tidak bisa ingat lebih dari ini’.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status