Bukan hanya itu, sesuatu yang mengganggu lainnya adalah jarak antara kursi Wira dan ibunya. Posisi mereka tak menunjukkan hubungan ibu dan anak. Sungguh tak bisa dimengerti seorang menantu.
‘Sebenarnya aku bisa menikah dengan dia karena apa? Lihatlah dia seperti pria batu, kemarin saja berteriak ketakutan’ Kiran sempat mencuri lirikan pada laki-laki di depannya.
‘Kukira kehidupan setelah menikah enak dan bahagia. Ternyata lebih menyulitkan dari hidupku sebelumnya.’
“Uhuk. Uhuk.” Wira terbatuk tiba-tiba.
Sontak Kiran menyodorkan gelas terdekat yang berisi air kepada laki-laki aneh di depan.
“Aku bisa sendiri.” Pria batu menolak cepat.
Perlahan menantu keluarga menurunkan gelas di genggamannya, dia kembali mendapati tatapan dari seluruh anggota keluarga. Tatapan yang sama, tidak bisa dimengerti.
***
Tangan lebih kecil menarik lengan Rakin yang mana pemuda itu hendak menuju pintu keluar, menyeretnya paksa hingga mereka berhenti pada halaman depan rumah. Cuma si bungsu keluarga yang berani Kiran ajak bicara.
“Aku tidak tahu siapa lagi yang bisa kutanyakan. Rakin, maukah kau memberiku sedikit informasi?” Arina memberlakukan sikap Kiran yang dikenal lemah lembut. Kabar itu tak sengaja dia dapatkan dari obrolah para pekerja rumah tangga, mungkin inilah yang dikatakan Wira beberapa kali.
“Tidak masalah, selama tidak bertentangan dengan peraturan.” Balas adik ipar.
Kiran tidak memedulikan peraturan apa yang dimaksud.
“Apa yang mendasari aku menikah dengan kakakmu? Lagipula dia kemarin tidak terlihat di rumah seharian.”
“Aku juga tidak tahu pasti, seminggu setelah kak Wira kembali dari luar kota, tiba-tiba mengatakan ingin menikah. Mbak Kiran juga diperkenalkan ke keluarga kami empat hari sebelum pernikahan.” Penjelasan Rakin.
“Sejujurnya kami sekeluarga terkejut mendengar laki-laki payah itu ingin menikah. Secara dia kan selalu menolak perempuan, apalagi perempuan yang belum dia kenali dalam waktu lama. Beberapa kali mama menyarankan anak-anak gadis temannya pada kak Wira namun, hasilnya tetap sama.” Tambah pemuda bersama Rakin.
‘Pantas saja di hari pernikahan mama menangis saat memelukku’ batin si gadis.
‘Kemungkinan ada sebuah rahasia yang tidak kuketahui sebelum berada dalam tubuh Kiran, sayangnya aku langsung menerima tawaran dia tanpa tahu resiko dan hal-hal rumit lainnya. Mana ada laki-laki yang tidak ingin menikah tiba-tiba mengatakan pernikahan dalam waktu singkat. Waktu itu Wira juga berperilaku beda padaku, tidak boleh mendekatinya’.
“Satu lagi! Kenapa di meja makan keluarga kalian saling diam? Kakakmu itu kursinya sangat aneh, bisa-bisanya membuat jarak begitu.” Perkataan yang menjadikan lawan bicara kikuk.
“Ah… masalah itu… karena mbak Kiran baru menjadi bagian keluarga kami, bisa saja menganggapnya aneh. Tapi, lama kelamaan mbak pasti akan paham kok. Bukan padaku kalau mau bertanya hal itu, tanyakan langsung pada kak Wira. Kalau menyangkut kak Wira dan mama, bisa dikatakan aku sudah melanggar peraturan yang dibuat.” Lagi-lagi membahas peraturan yang tidak dipahami anggota baru keluarga Arasatya.
“Baiklah aku mengerti.” kata Kiran.
Sekembalinya mereka dari taman, Kiran melihat Wira sedang berjalan menuju kamar. Laki-laki bertubuh tinggi di sana semakin membuat si istri penasaran. Kebetulan pintu putih dengan ukiran di bagian bawah, sedikit terbuka, dari situlah Kiran mengintip nakal. Tidak ada hal menarik dari dalam, Wira pun tak terlihat oleh netranya. Gadis itu seperti melakukan perbuatan yang sia-sia.
Karena tidak sabaran, akhirnya Kiran memasuki kamar tanpa permisi.
“Ke mana dia?” gumam si istri mendapati laki-laki yang dia ikuti tidak ada.
Setelan jas tergeletak di atas ranjang, menandakan pria itu sedang melakukan sesuatu. Saat ini Kiran akan menunggu dan mencoba membicarakan baik-baik di antara mereka. Hingga bosan istri Wira duduk pada sisi tempat tidur, ia berganti haluan mendekati jendela. Meski malam, dari sana menampakkan halaman luas dan jalan yang menuju rumah besar tampak berderet teratur pada sisinya.
Suara dari arah berlawanan mengejutkan perempuan di dekat jendela, segera Kiran mengalihkan pandangan.
“Kau!” Wira terperanjat. “Kenapa kau ada di sini?”
Istrinya pun mendekat, “Jangan mendekat! Kuperingatkan sekali lagi jangan mendekat!” Lelaki itu terlihat gemetar sekaligus cemas. Gadis bersamanya selalu di luar prediksi.
“Fine, aku tidak akan mendekatimu. Aku hanya ingin bicara, apa itu sulit?”
“Bicaralah, tetapi kau dalam jarak dua meter. Tidak boleh lebih dari itu.” Pria tersebut memperingati yang masih berusaha menutupi sisi lemahnya, bersikap seolah dia lah pria yang tak sembarang orang bisa menyentuh.
“Sebaiknya… kau memakai baju lebih dulu.” Kiran melirik tubuh Wira dari atas hingga bawah. Dengan cepat lelaki di sana menutupi bagian dadanya menggunakan kedua lengan menyilang.
Bergegas putra sulung keluarga beranjak menuju tempat tatanan semua baju.
“Apa yang mau kau bicarakan?” Wira bertanya setelah kembali dari ruang pakaian. “Ingat, tidak lebih dari dua meter!” Pria itu mengingatkan lagi.
Kiran mendesah pasrah, dia harus mengalah dalam permainan gila ini.
Sang suami perlahan berpindah ke sofa sambil memantau apakah perempuan di sana berusaha mendekatinya, untuk berbicara dia membutuhkan tempat nyaman, tentu saja.
“Bagaimana kita bisa menikah?” singkat gadis penasaran di depan Wira yang berjarak dua meter.
“Bukannya sudah jelas? Mama tidak memberitahumu sama sekali?” dengan santainya pria itu berkata, memang keharusannya menyembunyikan kecemasan dan ketakutan.
‘Kenapa dia bisa berlagak sekarang? Tadi melihatku seperti melihat setan’.
Kiran pun menggeleng menandakan dia tidak tahu apa-apa. Kali ini sikap perempuan di hadapan Wira seolah memiliki dua sisi. Pertemuan mereka di hari pernikahan, menunjukkan karakter Arina yang terkesan jahil serta tidak menghiraukan peringatan dari pria itu. Sebelumnya tidak ada orang yang berani menyela ucapan putra sulung Arasatya. Namun, berbanding terbalik dengan sekarang, menantu keluarga lebih banyak berperilaku lembut seperti kebanyakan orang yang membincangkannya.“Semua orang mengatakan kau gadis yang lembut, bahkan keluargaku berpikir demikian. Tapi, aku berpendapat lain.”Kiran tidak bisa membantah, memang benar adanya dari perkataan laki-laki tersebut.“Sebaiknya kau tanya pada keluargamu sendiri. Ah, lebih tepatnya ayahmu, sampai-sampai ingin bersimpuh padaku agar aku menikahimu. Karena mama juga mendesak – dia tidak mau mendengar gunjingan para kolega bisnis bahkan saudara sendiri, terpaksa aku menikahimu. Lagipula pertama ka
“Baiklah, aku terima tawaranmu. Menyerahkan yang kau katakan berarti menikahinya, bukan?” Tuan muda menebak.Ragu-ragu Lukman menganggukkan kepala, “Be-benar.” Pria itu kembali berpikir ‘Di luar dugaan, Wira menerima penawaran dengan mudah’.“Kebetulan yang pas, aku juga sedang mencari istri. Setelah mendengar penjelesanmu, mungkin putrimu perempuan yang tepat.”Wira akan mulai uji coba tubuhnya terhadap sentuhan perempuan, belasan tahun terapi yang dia jalani untuk menghilangkan Haphephobia. Bisa saja peraturannya dalam hal menjaga jarak antar manusia dianggap arrogant, sebab tidak mau berdekatan dengan karyawan rendahan. Dalam satu waktu, pria itu memiliki kelemahan. Kelemahan yang tidak ingin diketahui, dengan kata lain tidak mau dikasihani.Melalui pernikahan, tidak, lebih tepatnya cara untuk menyembuhkan titik lemah seorang Wira Arasatya. Meski kemungkinannya kecil.(Haphephobia
Esoknya, pukul sembilan pagi mobil putih yang diminta putra tertua Arasatya melewati pagar rumah besar. Sesuai ucapan Wira, istrinya diantar sopir atas perintah Aris. Kebohongan kecil pertama dari Kiran agar bisa keluar dari kediaman keluarga tersebut. Dia mendatangi perumahan lama, tempat kediamannya di saat menjadi Arina yang utuh. Tujuan utama adalah Riana, sahabat sejak mereka menginjak sekolah menengah atas.“Pak, antar saya sampai sini saja, tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri.” Nona muda berbicara setelah sopir membukakan pintu. Mereka telah tiba pada lorong paling depan, butuh dua belokan lagi untuk menemukan rumah Riana.“Ta-tapi, nona-”“Nanti saya hubungi Wira, pasti dia mengizinkan.” Kebohongan kedua untuk hari ini.Sopir itu mengangguk tanpa menyahut.Ketika sampai di rumah Riana, perempuan itu langsung memencet tombol bel yang tak jauh dari pintu. Menunggu pemilik rumah membukakannya. Lim
Riana terduduk lemah – kecemasan itu menyebabkan air matanya turun, “Ah, aku benar-benar cengeng.”“Maaf, ini semua salahku, kau pasti terkejut setelah mendengar perkataanku tadi, kan? Aku menyesal, Kiran. Aku tidak tahu hubunganmu dengan Arina, tapi aku sungguh minta maaf.” Riana mulai terisak, dia merasakan ketakutan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menatap wajah cantik gadis terbaring. Sambil terus memohon melalui gumaman.Sesaat berikutnya, dia segera menyambar handphone dalam tas yang ia gunakan ketika bepergian. Menekan nomor darurat, meminta bantuan pihak medis atau semacamnya. Namun, di saat panggilan Riana mendapat sambutan dari pihak petugas, Kiran perlahan membuka mata.“Kiran,” Riana menanggapi cepat lalu menggeserkan tombol merah pada layar ponsel pintarnya. “Kau tidak apa-apa?” Memeluk sahabat baru penuh haru."A-aku mau pulang." Raut bingung Kiran serta kaki gemetarnya menginj
Secara sigap pekerja melakukan tugas sesuai ucapan tuan Wisnu, lelaki paruh baya ini pun mondar-mandir menunggu psikiater dan anggotanya tiba.“Wisnu, apa yang kau lakukan! Kenapa kau diam saja? Anakmu tidak bisa bangun dan kau tidak melakukan apa-apa?” suara putus asa dari mulut lembut Ningrum menjadi sesuatu yang asing, kali pertama Kiran melihat sang ibu mertua meninggikan ucapan. Di balik perkataan itu terselip kekecewaan teramat.Sesaat berikutnya, Rakin mengajak kakak ipar untuk pergi, pemuda itu lebih tenang dari yang terlihat. Dia paham betul akibatnya jika Kiran tahu kebenaran dari rahasia keluarga Arasatya.“Ayo, mbak, kita keluar.” Membantu Kiran berdiri sebab tidak kuatnya bertahan ketika melihat suami dan ibu mertua tak berdaya.Ketika adik dan kakak ipar sampai di titik tengah tangga, derap langkah terburu-buru memasuki rumah besar. Laki-laki seumuran Wisnu datang bersama anak buahnya, lengkap serta alat-alat khusus.
Ke sana kemari perempuan yang telah menjadi bagian keluarga besar Arasatya mengitari beberapa tempat. Rumah Arasatya terlalu luas ia jelajahi. Seharian di rumah memang membosankan, Kiran tidak tahu apa yang mengasyikkan di sini.Sangat berbeda kala menjalani hidup sebagai Arina. Saat itu, Riana si gadis penyuka rok mini setengah memaksa dirinya untuk pergi berbelanja cemilan ataupun kebutuhan lainnya. Pusat perbelanjaan yang dipilih adalah AR Town Square. Sebenarnya gadis sederhana itu malas, bisa berjam-jam Riana berada di sana. Terlebih kalau melihat satu baju yang menarik perhatian, kertas berharga di dompet bisa habis dalam hitungan detik.Setelah mendapat rayuan luar biasa dari Riana, Kiran mengalah. Ia menyetujui keinginan seorang teman untuk sehari saja.Wajah gembira seperti anak kecil tersemat untuk gadis berusia di atas dua puluh lima tahun, mereka tiba selepas Arina memarkirkan kendaraan. Dengan menggandeng lengan temannya, Riana mengoceh riang. Secar
“Lantai tempat makanan bertumpuk.” Di mana lantai dasar AR Town Square dikhususkan untuk semua jenis camilan, sayur hingga buah-buahan, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.“I-itu tempat yang sangat ramai, tuan.” Asisten mengkhawatirkan atasan, dia waswas kalau Aris tahu.“Kalau begitu kalian paksa perempuan tadi menemuiku di sini.” Wira begitu gusar terhadap gadis penganggu itu.Langkah sedikit takut milik Bagas menuju arah keinginan tuannya, dari kejauhan Wira memantau. Ia bisa melihat kalau si asisten sedang bernegosiasi dengan dua gadis di sana. Temannya gadis tadi tampak menolak kasar, bahkan mendorong Bagas agar menjauh.Negosiasi pertama Bagas mendapat penolakan. Kemudian ia berusaha lagi, bukan karena uang saku asisten Wira mengikuti kemauannya, tetapi perintah tuan muda tidak bisa ditolak.“Dapat, kau.” Gumam sang atasan dari jauh.Sebab perempuan incaran sudah mengekori asisten, arti
“Perusahaan mereka memang sudah memiliki nama, beberapa perusahaan ada yang menggunakan jasa mereka. Tetapi, tidak bisa digunakan lagi ketika pihak perusahaan menambahkan fitur terbaru, ada pemberitahuan agar memperbarui secepatnya. Bukankah itu menimbulkan rasa malas bagi para pengguna? Kemungkinan mereka enggan lagi memakainya, terlebih para pesaing juga melakukan yang terbaik.” Wira mematahkan argument presiden direktur.“Jadi, Digital Local System lebih baik dari segala hal. Meski objek yang dikeluarkan belum sebaik ET (Enter Technology), karena mereka perusahaan yang baru berdiri beberapa tahun terakhir, kebetulan mereka sedang membutuhkan suntikan dana untuk pengembangan, saya pikir kesempatan ARS Corp mengakuisisi memiliki peluang tujuh puluh persen.” Pria tertua Arasatya kembali menjelaskan keinginan kuatnya kali ini.“Benar perkataan Pak Wira, dengan mudahnya kita membuat pelayanan secara digital untuk pelanggan AR Town Square. Se