Share

Sang Tamu

Esoknya, pukul sembilan pagi mobil putih yang diminta putra tertua Arasatya melewati pagar rumah besar. Sesuai ucapan Wira, istrinya diantar sopir atas perintah Aris. Kebohongan kecil pertama dari Kiran agar bisa keluar dari kediaman keluarga tersebut. Dia mendatangi perumahan lama, tempat kediamannya di saat menjadi Arina yang utuh. Tujuan utama adalah Riana, sahabat sejak mereka menginjak sekolah menengah atas.

“Pak, antar saya sampai sini saja, tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri.” Nona muda berbicara setelah sopir membukakan pintu. Mereka telah tiba pada lorong paling depan, butuh dua belokan lagi untuk menemukan rumah Riana.

“Ta-tapi, nona-”

“Nanti saya hubungi Wira, pasti dia mengizinkan.” Kebohongan kedua untuk hari ini.

Sopir itu mengangguk tanpa menyahut.

Ketika sampai di rumah Riana, perempuan itu langsung memencet tombol bel yang tak jauh dari pintu. Menunggu pemilik rumah membukakannya. Lima menit, sepuluh menit hingga dua puluh menit, Kiran tak kunjung mendapat sambutan.

Pada akhirnya ia mengeluh.

Terpaksa beranjak dengan berjalan kaki, terserah penopang tubuh itu akan membawanya ke mana. Sembari melangkah, angin terus berdatangan menerpa gadis sendirian. Hingga ia telah berada pada sisi jalan kota, terdapat pohon-pohon sehingga beberapa pengguna jalan bisa memanfaatkannya agar tak kepanasan.

“Aw…!” gadis tak fokus ini tersenggol pejalan lain.

“Maaf, nona. Saya tidak sengaja.” Penabrak berujar. Namun, terlihat kesal. Dia sedang berang karena apa Kiran tidak mengetahuinya.

Wajah penabrak itu sontak menjadikan istri Wira terkejut, “Riana?”

Lawan bicara pun menautkan alis, “Anda kenal saya? Sepertinya kita baru pertama kali bertemu, nona.”

“Kau tidak ingat padaku!” Suara Kiran meninggi. ‘Sial, aku kan Kiran, bukan Arina’. Benaknya langsung menimpali.

“Sebelumnya kita berteman, rupanya kau tidak ingat aku, ya.” Suara meninggi tadi berbalik menjadi lemah.

Riana menatap heran perempuan di depannya.

“Iya, aku benar-benar tidak mengenalmu. Mungkin kalau kau menyebutkan nama akan aku usahakan ingat.”

“Namaku Kiran. Ah, bisakah kau mempertemukanku dengan Arina?” Mungkin saja ia bisa melihat tubuh itu ketika jiwanya belum berpindah ke tubuh Kiran. Atau mungkin ia sedang bertukar tubuh? Sehingga jiwa Kiran berada di tubuh Arina. Sayangnya, raut seorang teman berubah sendu seketika. “Maaf, apa dari perkataanku ada yang salah, Riana?”

Gadis manis penyuka rok mini mengangkat pandangan, memaksa menerbitkan senyuman.

“Tidak sama sekali. Ayo akan aku ceritakan padamu.” Riana menggandeng lengan sahabat baru, mengajak kerumahnya.

Menapakkan kaki di tempat yang membuat kenangan seorang gadis mandiri menciptakan genangan pada matanya. Arina dalam paras Kiran telah duduk dengan memandang tiap sudut rumah tersebut. Beruntungnya Riana tidak ada niat untuk pindah dari sana.

‘Tidak ada yang berubah’. Kiran sungguh rindu suasana ramai rumah ini yang dipenuhi suara mereka berdua.

“Silakan, Ki-ran.” Sosok teman menyajikan segelas teh dengan kikuk, walau sekeras apapun ia mengingat tetap saja nama dan wajah Kiran tak dapat ia kenali.

“Rumahmu sangat nyaman.” Sela sang tamu setelah menyeruput sajian tadi lalu meletakkannya kembali.

“Memang. Sebelum pria angkuh itu mengambil temanku,” Riana tersenyum getir. Tampak raut si tamu menunggu perkataan berikutnya. Riana pun melirik sekilas, “Arina tidak bersamaku lagi. Kalau kau mau menitip salam atau apalah itu, maaf aku tidak bisa mengatakannya, dia sudah bahagia di surga. Mungkin dia lebih bahagia di sana.” Kiran tertegun.

“Hei, kenapa kau diam?” gadis pemilik rumah menjentikkan jari, membangunkan Kiran dari lamunan.

Seorang tamu menoleh dengan bingung, sedang memahami ucapan-ucapan temannya.

“Arina semenjak empat hari lalu sudah tidak bersamaku, karena kesalahanku. Yah, aku teman yang bodoh, usai membujuknya agar menerima kencan dari laki-laki yang nyatanya tidak disukai Arina. Malah menjadikan hari terakhirku melihatnya.” Penjelasan Riana masih belum dimengerti si teman baru. Dia masih terdiam.

 ‘Su-surga? Ma-maksudnya a-aku sudah ti-tiada? Lalu kalau tubuhku tidak ada, bagaimana Kiran yang asli bisa hidup kembali? Bukankah penawarannya hanya untuk sementara? Ketika waktunya tiba, aku akan diminta kembali ke tubuhku yang lama? sedangkan tubuh itu sudah tidak ada.  benak Kiran tak karuan.

'Kalau empat hari lalu, berarti malam sebelum pernikahan'. Kiran terkejut dengan hari itu.

Di saat yang sama, bayangan-bayangan ingatan tentang gadis ber-midi dress sedang berjalan pada tepian jalan kota beserta tatapan kosong yang tak tentu arah. Perjalanan si gadis memasuki sebuah restoran kemudian meninggalkannya, gambaran ingatan yang berulang-ulang, menimbulkan nyeri kepala dan denyutan di pelipis. Kiran mengerjap berkali-kali – melawan rasa sakit demi kesadaran akan dirinya. Ia tidak boleh ketahuan oleh Riana, pasti gadis itu akan menganggapnya gila sementara Arina telah tiada.

Bayangan itu kian bergerak cepat, semakin memperkuat kesakitan yang ada. Hingga lampu terang menghantamnya.

Seketika Kiran ambruk, netra hitam bulat pun tertutup.

“Kiran! Kau kenapa? Jangan bercanda aku mohon.” Riana menggerak-gerakkan tubuh terbaring di kursi tamu.

“Kumohon bangun, Kiran.” Gadis itu melirih, beriringan tangan yang meluruskan kaki temannya, berusaha memposisikan Kiran agar nyaman.

Tubuh berbaring tersebut terlihat berkeringat, menambah kekhawatiran sahabat baru.

“Kiran bangunlah, aku mohon, aku mohon.” Ia panik lalu berlarian ke sana kemari mencari minyak yang umum digunakan untuk orang pingsan. Kemudian Riana memberikan wewangian  tersebut ke hidung temannya, lalu menepuk-nepuk ringan pipi tersebut. Tidak hanya itu, Riana bahkan menggenggam erat lengan Kiran, berusaha memberi rangsangan indra peraba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status