Riana terduduk lemah – kecemasan itu menyebabkan air matanya turun, “Ah, aku benar-benar cengeng.”
“Maaf, ini semua salahku, kau pasti terkejut setelah mendengar perkataanku tadi, kan? Aku menyesal, Kiran. Aku tidak tahu hubunganmu dengan Arina, tapi aku sungguh minta maaf.” Riana mulai terisak, dia merasakan ketakutan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menatap wajah cantik gadis terbaring. Sambil terus memohon melalui gumaman.
Sesaat berikutnya, dia segera menyambar handphone dalam tas yang ia gunakan ketika bepergian. Menekan nomor darurat, meminta bantuan pihak medis atau semacamnya. Namun, di saat panggilan Riana mendapat sambutan dari pihak petugas, Kiran perlahan membuka mata.
“Kiran,” Riana menanggapi cepat lalu menggeserkan tombol merah pada layar ponsel pintarnya. “Kau tidak apa-apa?” Memeluk sahabat baru penuh haru.
"A-aku mau pulang." Raut bingung Kiran serta kaki gemetarnya menginj
Secara sigap pekerja melakukan tugas sesuai ucapan tuan Wisnu, lelaki paruh baya ini pun mondar-mandir menunggu psikiater dan anggotanya tiba.“Wisnu, apa yang kau lakukan! Kenapa kau diam saja? Anakmu tidak bisa bangun dan kau tidak melakukan apa-apa?” suara putus asa dari mulut lembut Ningrum menjadi sesuatu yang asing, kali pertama Kiran melihat sang ibu mertua meninggikan ucapan. Di balik perkataan itu terselip kekecewaan teramat.Sesaat berikutnya, Rakin mengajak kakak ipar untuk pergi, pemuda itu lebih tenang dari yang terlihat. Dia paham betul akibatnya jika Kiran tahu kebenaran dari rahasia keluarga Arasatya.“Ayo, mbak, kita keluar.” Membantu Kiran berdiri sebab tidak kuatnya bertahan ketika melihat suami dan ibu mertua tak berdaya.Ketika adik dan kakak ipar sampai di titik tengah tangga, derap langkah terburu-buru memasuki rumah besar. Laki-laki seumuran Wisnu datang bersama anak buahnya, lengkap serta alat-alat khusus.
Ke sana kemari perempuan yang telah menjadi bagian keluarga besar Arasatya mengitari beberapa tempat. Rumah Arasatya terlalu luas ia jelajahi. Seharian di rumah memang membosankan, Kiran tidak tahu apa yang mengasyikkan di sini.Sangat berbeda kala menjalani hidup sebagai Arina. Saat itu, Riana si gadis penyuka rok mini setengah memaksa dirinya untuk pergi berbelanja cemilan ataupun kebutuhan lainnya. Pusat perbelanjaan yang dipilih adalah AR Town Square. Sebenarnya gadis sederhana itu malas, bisa berjam-jam Riana berada di sana. Terlebih kalau melihat satu baju yang menarik perhatian, kertas berharga di dompet bisa habis dalam hitungan detik.Setelah mendapat rayuan luar biasa dari Riana, Kiran mengalah. Ia menyetujui keinginan seorang teman untuk sehari saja.Wajah gembira seperti anak kecil tersemat untuk gadis berusia di atas dua puluh lima tahun, mereka tiba selepas Arina memarkirkan kendaraan. Dengan menggandeng lengan temannya, Riana mengoceh riang. Secar
“Lantai tempat makanan bertumpuk.” Di mana lantai dasar AR Town Square dikhususkan untuk semua jenis camilan, sayur hingga buah-buahan, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.“I-itu tempat yang sangat ramai, tuan.” Asisten mengkhawatirkan atasan, dia waswas kalau Aris tahu.“Kalau begitu kalian paksa perempuan tadi menemuiku di sini.” Wira begitu gusar terhadap gadis penganggu itu.Langkah sedikit takut milik Bagas menuju arah keinginan tuannya, dari kejauhan Wira memantau. Ia bisa melihat kalau si asisten sedang bernegosiasi dengan dua gadis di sana. Temannya gadis tadi tampak menolak kasar, bahkan mendorong Bagas agar menjauh.Negosiasi pertama Bagas mendapat penolakan. Kemudian ia berusaha lagi, bukan karena uang saku asisten Wira mengikuti kemauannya, tetapi perintah tuan muda tidak bisa ditolak.“Dapat, kau.” Gumam sang atasan dari jauh.Sebab perempuan incaran sudah mengekori asisten, arti
“Perusahaan mereka memang sudah memiliki nama, beberapa perusahaan ada yang menggunakan jasa mereka. Tetapi, tidak bisa digunakan lagi ketika pihak perusahaan menambahkan fitur terbaru, ada pemberitahuan agar memperbarui secepatnya. Bukankah itu menimbulkan rasa malas bagi para pengguna? Kemungkinan mereka enggan lagi memakainya, terlebih para pesaing juga melakukan yang terbaik.” Wira mematahkan argument presiden direktur.“Jadi, Digital Local System lebih baik dari segala hal. Meski objek yang dikeluarkan belum sebaik ET (Enter Technology), karena mereka perusahaan yang baru berdiri beberapa tahun terakhir, kebetulan mereka sedang membutuhkan suntikan dana untuk pengembangan, saya pikir kesempatan ARS Corp mengakuisisi memiliki peluang tujuh puluh persen.” Pria tertua Arasatya kembali menjelaskan keinginan kuatnya kali ini.“Benar perkataan Pak Wira, dengan mudahnya kita membuat pelayanan secara digital untuk pelanggan AR Town Square. Se
Si pria pun menuruti dengan patuh.‘Sejak kapan aku melakukan pekerjaan yang mengerikan seperti itu?’ Kiran mengingat-ingat, mungkin dia pernah berbuat tanpa sadar. Jenis bunga saja cuma satu yang dia ketahui.“Yah… Sayangnya di sini tidak ada tanaman seperti itu.” Perempuan itu berkilah.“Bukan tidak ada, hanya kau tidak mau melihat ke taman. Kurasa ada beberapa bunga berwarna di taman. Coba kau tanyakan pada mama.” Sebab Ningrum penyuka bunga, sebelum ia sekolah ke luar negeri, Wira menyaksikan ibunya menyiram anggrek dan jenis lainnya setiap pagi. Tetapi, ia tidak tahu kalau untuk sekarang, sesekali saja Wira memerhatikan sang ibu berdiri di taman depan.“Kupikir itu tidak perlu.” Kiran tersenyum datar dan terpaksa.***Kiran sedang mengamati gadis cantik penuh pesona sedang duduk membaca sebuah buku. Gadis itu sendirian di meja dengan penerangan api kecil yang lama kel
Demi kertas berharga, Kiran pasrah menerima semua perintah putra tertua Arasatya. Kehidupan bebas yang ia miliki cukup membuat kenangan. Dia harus mulai membiasakan diri dalam peraturan Wira. Gadis mungil itu mengamati lelaki di meja kerja. Sejujurnya ia penasaran pada teman sekamarnya, perjanjian apa di antara Kiran terdahulu dan Wira sebelum pernikahan, sehingga menawarinya untuk menjadi istri pria itu. Yang ia ketahui tentang pernikahan adalah sebuah hubungan naluriah manusia, di mana terdapat prosedur untuk membentuk generasi baru, misal anak yang lucu dan menggemaskan. Sejauh ini, laki-laki itu tidak melakukan apapun, meski ia sendiri akan menolak. “Ada yang salah pada wajahku?” Wira mengejutkan istrinya. “Tidak,” menggeserkan kaki menuju lantai. “Kau baik-baik saja tidur di sofa?” berdiri santai, hanya berbalut celana pendek, menampakkan paha langsing itu pada teman sekamar. Wira dari seberang terbatuk kemudian segera memalingkan muka. “Ya, puti
*Cepatlah, Bayu. Saya ada urusan penting di kantor* Perkataan sekretaris tuan muda di telepon. *Iya, Pak.* Sangat sopan sang pengemudi menyahutnya. “Sekali lagi maaf, nona. Sepertinya anda harus ikut saya ke yayasan ‘Enfanst’.” Nona muda di belakang enggan menimpali, apapun itu ia akan tetap mengunjungi kediaman Riana, ada banyak pertanyaan memenuhi kepala. Kalau tidak disalurkan, bisa-bisa dia gila, karena tidak mengerti tujuan dia hidup sebagai Kiran, istri Wira. *** Kiran memperhatikan dengan cermat tempat yang baru ia singgahi, dia memilih keluar mobil sembari menunggu sopir menemui sekretaris kaku itu. Kemanapun lelaki berseragam itu pergi, Kiran tidak memedulikannya. “Aku merasa pernah melihat tempat ini, cukup tidak asing.” Nona muda menggunakan telunjuk menggaruk-garuk pelan dagunya. “Nona, ayo kita kembali.” Kali ini Aris menemui Kiran, agar mereka segera pergi. Sekretaris putra tertua benar-benar sibuk. “Kalia
Putri Lukman melirik kursi tamu yang terlihat mahal, dipersiapkan untuk para tamu pimpinan ARS Corporation. Gadis itu sedikit ragu, pula mata hitamnya menyapu ke seluruh ruangan, lebih tepatnya menghindar mata coklat terang di sana. Wira meminta sekretaris pergi melalui gerakan mata. Tidak perlu lama untuk menyisakan mereka berdua saja. Kiran menelan ludah seketika, tubuh kecil ini bergerak gelisah, dia benar-benar dilanda kegugupan. “Apa urusan dengan temanmu sudah selesai?” Pertanyaan berbeda dari yang dipikirkan putri Lukman. Lelaki di balik meja berkata lembut. Berputar dengan kursi kerjanya membentuk setengah lingkaran, sehingga menghadap sang istri yang duduk tegap. “Be-belum.” Sahut lawan bicara. “Belum?” “Ya,” Kiran langsung menyambar. “Tadi Bayu menjemput sekretarismu buru-buru, kemudian aku dibawa mereka ke sini, awalnya aku sudah meminta ditinggalkan di rumah temanku saja. Aku… mengganggu pekerjaanmu, ya?” Putri Lukman menundu