Share

Seth Godin

“Baiklah, aku terima tawaranmu. Menyerahkan yang kau katakan berarti menikahinya, bukan?” Tuan muda menebak.

Ragu-ragu Lukman menganggukkan kepala, “Be-benar.” Pria itu kembali berpikir ‘Di luar dugaan, Wira menerima penawaran dengan mudah’.

“Kebetulan yang pas, aku juga sedang mencari istri. Setelah mendengar penjelesanmu, mungkin putrimu perempuan yang tepat.”

Wira akan mulai uji coba tubuhnya terhadap sentuhan perempuan, belasan tahun terapi yang dia jalani untuk menghilangkan Haphephobia. Bisa saja peraturannya dalam hal menjaga jarak antar manusia dianggap arrogant, sebab tidak mau berdekatan dengan karyawan rendahan. Dalam satu waktu, pria itu memiliki kelemahan. Kelemahan yang tidak ingin diketahui, dengan kata lain tidak mau dikasihani.

Melalui pernikahan, tidak, lebih tepatnya cara untuk menyembuhkan titik lemah seorang Wira Arasatya. Meski kemungkinannya kecil.

(Haphephobia merupakan gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut pada sentuhan. Tidak hanya takut menerima sentuhan dari orang lain, perasaan serupa juga muncul saat disentuh orang-orang yang sudah dikenal, misalnya saat berpelukan, bersalaman maupun bergandeng tangan)

“Pertemukan aku dengan putrimu besok. Aris akan menjemputnya.” pinta Wira.

Ayah Kiran mengangguk, lalu berpamitan. Secara sopan sekretaris yang sedari tadi berdiri satu meter di sebelah Wira membukakan pintu untuk calon mertua sang atasan.

“Carikan tempat privasi untuk bertemu anak pak Lukman, Ris. Aku penasaran, semenarik apa putrinya itu.”

“Baik, tuan Wira.” Sahut Aris.

Tuan muda melirik arloji pergelangan tangan, dia harus segera pulang. Deringan telepon pun sudah berkali-kali berbunyi, sungguh memekakkan telinga. Siapapun tahu kalau putra sulung Arasatya malas menerima panggilan ibu atau ayahnya.

Terlihat santai Wira bersama sekretaris menaiki Rolls Royce, sengaja meminta Aris mengemudikan kendaraan tersebut.

Kepulangan Wira seakan menjadi pusat keceriaan bagi Ningrum, seorang ibu cantik rela menyiapkan sendiri makanan kesukaan putranya. Sayangnya, dia hanya bisa melakukan hal tersebut tanpa memeluk atau sekedar melepas kerinduan.

Anggota keluarga Arasatya berkumpul di kala mereka sedang makan malam. Pembicaraan dimulai dari Wisnu yang menanyakan pekerjaan, disusul Wira dengan memberitahu sesuatu.

“Aku akan menikah dengan putri pak Lukman, pasti kalian tahu dia, kan?” kalimat biasa dari Wira tetapi mengejutkan seluruh anggota keluarga.

“Maksud kamu Kiran?” Ningrum memperjelas.

“Siapa lagi putri pak Lukman selain dia?” ini suara Wira.

“Wira, jangan bercanda. Kalau tujuanmu untuk mempermainkan perempuan lebih baik tidak usah. Papa peringatkan sekali lagi!”

“Untuk apa bercanda. Memangnya selama ini aku pernah bercanda, Pa? Mempermainkan bagaimana? Menyentuhnya saja aku bisa mati, terkadang Papa lucu. Dirinya yang membuatku jadi pria gila, sekarang malah memperingatkanku.” Wira tersenyum mengejek.

Dua orang pria saling menunjukkan sifat keras mereka.

“Wira, dia papamu!” Ningrum ambil suara. Perempuan anggun ini tahu betul apa yang terjadi jika mereka melempar amarah satu sama lain.

Di sisi lain, Ningrum senang sekaligus takut. Apa yang akan terjadi kalau putri Lukman tahu kebenaran dari Wira. Bukannya sangat jelas, gadis cantik itu akan pergi begitu saja. Tidak ada pernikahan tanpa sentuhan.

***

“Kurasa cukup sebatas ini obrolan kita.” Wira beranjak dari sofa. Tidak mungkin ia mengutarakan hal yang menjadi rahasia.

Di hadapannya, sedang termenung seorang perempuan yang berupaya memahami ucapan laki-laki berkelas.

Pria itu berjalan kearah meja kerja, mencomot buku yang belum selesai ia baca.

“Satu lagi,” tiba-tiba Kiran berujar. Wira di samping meja kerja pun menoleh, menunggu perkataan selanjutnya. “Besok aku diundang ke pembukaan besar toko temanku… boleh aku mendatanginya?” Perempuan ini membuang lirikan ketika Wira menangkap arah pandangnya.

Lelaki aneh di sana belum menjawab.

“Silakan, tidak masalah. Aku akan minta Aris memberimu sopir, gunakan mobilku yang warna putih.” Jawaban yang ditunggu-tunggu putri Lukman, meski sesaat tadi dia seperti sedang menunggu pengumuman kelulusan yang mendebarkan.

Dua manusia dalam satu ruangan sibuk dengan kegiatan masing-masing, putra sulung keluarga masih asyik membaca buku tebal, sesekali si gadis mencuri lirikan dan terpusat pada benda dalam genggaman Wira – melihat dari kejauhan saja membuat Kiran mual. Dari sampulnya buku itu berisi tulisan berderet, semakin menambah beban hidup untuk orang pemalas.

Berbeda dengan gadis yang santai memeluk bantal di atas tempat tidur, dia sibuk pada pikirannya sendiri, tak jarang ia menggeleng-geleng membuat Wira menaikkan satu alis. Dari meja kerja lelaki itu bisa melihat jelas apa yang dilakukan istrinya.

“Ehem!” Deheman sia-sia si pria aneh, perempuan di sana tidak paham kode suara ataupun kode gerakan.

“Kiran.” Panggil Wira.

Lawan yang dipanggil menoleh, “Kenapa?” menatap sekilas laki-laki di balik meja kerja.

“Tidak, aku hanya penasaran. Di saat aku mengajakmu ke rumah ini pertama kalinya, apa yang kau pikirkan? Maksudku, tanpa pikir panjang kau langsung menyetujuinya.”

'Apa yang harus aku jawab? Kan itu Kiran, bukan aku'. pikir si gadis sembari menyusun karangan.

“Yah, karena pesan yang ayah sampaikan. Katanya keluarga Arasatya mengajakku makan malam. Jadi, kupikir makan malam keluargamu pasti mewah, tidak mungkin ku sia-siakan.” Jawaban ngawur seorang Arina.

“Nalarmu sangat pendek, apa kau tidak takut aku akan memanfaatkanmu untuk suatu hal?”

“Takut? Aku sama sekali tidak takut, tuh. Nyatanya laki-laki yang bicara tadi meraung-raung ketika aku mendekat.” Perkataan bernada datar tetapi menyakitkan, sindirannya tepat sasaran.

Wira terdiam, segera mengalihkan pandangan. Dia berpura-pura serius membaca buku sebuah karya dari Seth Godin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status