“Baiklah, aku terima tawaranmu. Menyerahkan yang kau katakan berarti menikahinya, bukan?” Tuan muda menebak.
Ragu-ragu Lukman menganggukkan kepala, “Be-benar.” Pria itu kembali berpikir ‘Di luar dugaan, Wira menerima penawaran dengan mudah’.
“Kebetulan yang pas, aku juga sedang mencari istri. Setelah mendengar penjelesanmu, mungkin putrimu perempuan yang tepat.”
Wira akan mulai uji coba tubuhnya terhadap sentuhan perempuan, belasan tahun terapi yang dia jalani untuk menghilangkan Haphephobia. Bisa saja peraturannya dalam hal menjaga jarak antar manusia dianggap arrogant, sebab tidak mau berdekatan dengan karyawan rendahan. Dalam satu waktu, pria itu memiliki kelemahan. Kelemahan yang tidak ingin diketahui, dengan kata lain tidak mau dikasihani.
Melalui pernikahan, tidak, lebih tepatnya cara untuk menyembuhkan titik lemah seorang Wira Arasatya. Meski kemungkinannya kecil.
(Haphephobia merupakan gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut pada sentuhan. Tidak hanya takut menerima sentuhan dari orang lain, perasaan serupa juga muncul saat disentuh orang-orang yang sudah dikenal, misalnya saat berpelukan, bersalaman maupun bergandeng tangan)
“Pertemukan aku dengan putrimu besok. Aris akan menjemputnya.” pinta Wira.
Ayah Kiran mengangguk, lalu berpamitan. Secara sopan sekretaris yang sedari tadi berdiri satu meter di sebelah Wira membukakan pintu untuk calon mertua sang atasan.
“Carikan tempat privasi untuk bertemu anak pak Lukman, Ris. Aku penasaran, semenarik apa putrinya itu.”
“Baik, tuan Wira.” Sahut Aris.
Tuan muda melirik arloji pergelangan tangan, dia harus segera pulang. Deringan telepon pun sudah berkali-kali berbunyi, sungguh memekakkan telinga. Siapapun tahu kalau putra sulung Arasatya malas menerima panggilan ibu atau ayahnya.
Terlihat santai Wira bersama sekretaris menaiki Rolls Royce, sengaja meminta Aris mengemudikan kendaraan tersebut.
Kepulangan Wira seakan menjadi pusat keceriaan bagi Ningrum, seorang ibu cantik rela menyiapkan sendiri makanan kesukaan putranya. Sayangnya, dia hanya bisa melakukan hal tersebut tanpa memeluk atau sekedar melepas kerinduan.
Anggota keluarga Arasatya berkumpul di kala mereka sedang makan malam. Pembicaraan dimulai dari Wisnu yang menanyakan pekerjaan, disusul Wira dengan memberitahu sesuatu.
“Aku akan menikah dengan putri pak Lukman, pasti kalian tahu dia, kan?” kalimat biasa dari Wira tetapi mengejutkan seluruh anggota keluarga.
“Maksud kamu Kiran?” Ningrum memperjelas.
“Siapa lagi putri pak Lukman selain dia?” ini suara Wira.
“Wira, jangan bercanda. Kalau tujuanmu untuk mempermainkan perempuan lebih baik tidak usah. Papa peringatkan sekali lagi!”
“Untuk apa bercanda. Memangnya selama ini aku pernah bercanda, Pa? Mempermainkan bagaimana? Menyentuhnya saja aku bisa mati, terkadang Papa lucu. Dirinya yang membuatku jadi pria gila, sekarang malah memperingatkanku.” Wira tersenyum mengejek.
Dua orang pria saling menunjukkan sifat keras mereka.
“Wira, dia papamu!” Ningrum ambil suara. Perempuan anggun ini tahu betul apa yang terjadi jika mereka melempar amarah satu sama lain.
Di sisi lain, Ningrum senang sekaligus takut. Apa yang akan terjadi kalau putri Lukman tahu kebenaran dari Wira. Bukannya sangat jelas, gadis cantik itu akan pergi begitu saja. Tidak ada pernikahan tanpa sentuhan.
***
“Kurasa cukup sebatas ini obrolan kita.” Wira beranjak dari sofa. Tidak mungkin ia mengutarakan hal yang menjadi rahasia.
Di hadapannya, sedang termenung seorang perempuan yang berupaya memahami ucapan laki-laki berkelas.
Pria itu berjalan kearah meja kerja, mencomot buku yang belum selesai ia baca.
“Satu lagi,” tiba-tiba Kiran berujar. Wira di samping meja kerja pun menoleh, menunggu perkataan selanjutnya. “Besok aku diundang ke pembukaan besar toko temanku… boleh aku mendatanginya?” Perempuan ini membuang lirikan ketika Wira menangkap arah pandangnya.
Lelaki aneh di sana belum menjawab.
“Silakan, tidak masalah. Aku akan minta Aris memberimu sopir, gunakan mobilku yang warna putih.” Jawaban yang ditunggu-tunggu putri Lukman, meski sesaat tadi dia seperti sedang menunggu pengumuman kelulusan yang mendebarkan.
Dua manusia dalam satu ruangan sibuk dengan kegiatan masing-masing, putra sulung keluarga masih asyik membaca buku tebal, sesekali si gadis mencuri lirikan dan terpusat pada benda dalam genggaman Wira – melihat dari kejauhan saja membuat Kiran mual. Dari sampulnya buku itu berisi tulisan berderet, semakin menambah beban hidup untuk orang pemalas.
Berbeda dengan gadis yang santai memeluk bantal di atas tempat tidur, dia sibuk pada pikirannya sendiri, tak jarang ia menggeleng-geleng membuat Wira menaikkan satu alis. Dari meja kerja lelaki itu bisa melihat jelas apa yang dilakukan istrinya.
“Ehem!” Deheman sia-sia si pria aneh, perempuan di sana tidak paham kode suara ataupun kode gerakan.
“Kiran.” Panggil Wira.
Lawan yang dipanggil menoleh, “Kenapa?” menatap sekilas laki-laki di balik meja kerja.
“Tidak, aku hanya penasaran. Di saat aku mengajakmu ke rumah ini pertama kalinya, apa yang kau pikirkan? Maksudku, tanpa pikir panjang kau langsung menyetujuinya.”
'Apa yang harus aku jawab? Kan itu Kiran, bukan aku'. pikir si gadis sembari menyusun karangan.
“Yah, karena pesan yang ayah sampaikan. Katanya keluarga Arasatya mengajakku makan malam. Jadi, kupikir makan malam keluargamu pasti mewah, tidak mungkin ku sia-siakan.” Jawaban ngawur seorang Arina.
“Nalarmu sangat pendek, apa kau tidak takut aku akan memanfaatkanmu untuk suatu hal?”
“Takut? Aku sama sekali tidak takut, tuh. Nyatanya laki-laki yang bicara tadi meraung-raung ketika aku mendekat.” Perkataan bernada datar tetapi menyakitkan, sindirannya tepat sasaran.
Wira terdiam, segera mengalihkan pandangan. Dia berpura-pura serius membaca buku sebuah karya dari Seth Godin.
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Wira merasakan lehernya tercekat, seakan udara sulit menetralkan dadanya, penyesalan dan rasa bersalah datang kian membesar.‘Apa hubungannya kejadian itu dengan Kiran?’ ia benar was-was.Putra tertua Arasatya berusaha mengontrol dirinya untuk memudahkan suara keluar dengan sempurna.“A-apa gadis di mimpimu meninggal?” cara bicaranya yang pelan sekaligus ragu.Sesuai apa yang ditakuti Wira, perempuan di depannya mengangguk. Dadanya seolah bergemuruh, namun ingatan tentang Kiran tetap di sampingnya ketika ia berbicara kisah gadis bermidi dress – memberi sedikit ruang lega.‘Ternyata kejadian memilukan itu adalah diriku sendiri, takdir hendak memberitahuku dengan cara mendatangkan mimpi tersebut. Bagaimana bisa ingatanku tentang kehidupan sebelumnya bisa terlupakan?’ Kiran semakin tidak mengerti.“Mi-mirip sekali dengan gadis yang aku tabrak.” Ucapan Wira setengah berbisik.“Apa?” Sialnya Kiran bisa mendengar. Hanya saja ia terkejut.“Lupakan.” Titah pria itu.Ada setitik curiga dalam b
“Berapa lama lagi aku berada ditubuhmu? Kemungkinan terburuknya jiwaku akan mati mengikuti jasadku?”Gadis di balik meja menundukkan pandangan, “Aku tidak tahu. Setelah perjanjian yang kita sepakati, begitu saja aku di tempatkan di perpustakaan ini.”“Jika jiwamu terkurung di sini, bukan tidak mungkin ia akan kembali bukan? Kalau benar asumsiku, cepat atau lambat aku akan mati, Kiran. Dan perjanjian itu untuk pertama kali aku menyesalinya. Aku merasa dimanfaatkan! Tidak. Ini tidak adil bagiku.” Arina memundurkan langkah perlahan.Gadis penunggu perpustakaan klasik masih termenung, gurat wajahnya tetap datar seperti biasa. Kulit putihnya bersinar, memancarkan cahaya dalam sekejap. Tiba-tiba gadis itu berada tepat di depan jiwa Arina.“Darahmu sudah menjadi saksi perjanjian, dan kau manusia yang terpilih untuk bertukar jiwa denganku.”***“Da-darah?” Kiran berjiwa Arina terjaga dari mimpi. Dada itu seakan sesak di iringi napas yang terengah.Bayangan gadis bermidi dress hitam kemarin ke
“Kalau begitu kau boleh pergi.” Wira berkata cepat. Ia bisa menjadi manusia setengah mati kalau benar-benar Kiran melakukan ucapannya tadi. Membayangkannya saja membuat Wira sesak napas.‘Ternyata kau sungguh takut dengan perempuan ya?’ Kiran tersenyum miring, asumsinya semakin menunjukkan kebenaran.Kemudian tubuh mungil menurut Wira pun melenggang pergi.Sementara itu, lelaki di sofa menyambar gelas berisi air putih di samping – lalu meminumnya. Tenggorokan yang basah berhasil menyisihkan sedikit kecemasan.Kemudian hening.Rumah besar terasa kembali seperti pertama kali Wira menapakkan kaki ketika Jimmy memperbolehkannya pulang. Semua orang terlihat enggan berbicara pada si sulung. Di saat malam tiba, mimpi buruk menghantui Wira kecil.Ketakutan serta tangisan terdengar pilu bagi seorang ibu. Ningrum tak bisa berbuat apa-apa selain terisak hingga tak bersuara lagi.Rakin lah orang yang mampu mengajak s
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.