"Aku ... aku merasa bersalah. Kamu benar," ucap Zidan. Sansan mengerutkan keningnya, masih tak heran jika Zidan ternyata mengakui kesalahannya.
"Ak--aku harus pulang. Aku mau mengajak istriku nanti jalan-jalan."
"Eh, trus aku gimana?"
"Kamu pulang sendiri aja, ya." Zidan mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Sansan. "Ini ongkos pulang, maaf nggak bisa nganterin," ucap Zidan.
"Ok--oke." Sansan pun akhirnya keluar dari mobil Zidan.
Setelah itu, mobil Zidan melaju kencang meninggalkan Sansan di perempatan itu.
"Dia kenapa, ya? Kok jadi aneh gitu." Sansan tentunya heran melihat sifat lain Zidan yang menurutnya aneh.
"Tadi ninggalin istri untuk selingkuh, terus sekarang ninggalin selingkuhannya demi istri."
Sansan menggaruk kepalanya. "Apa mungkin Pak Zidan udah jatuh cinta sama gue kali, ya? Maksudnya gue yang jadi Zidny. Omg!"
Sansan menepuk dahinya
Hallo, Semua. Maaf ya baru update hehe. Baca terus cerita ini ya. Maaf kalau nggak bagus aku juga baru belajar hehe. Terima kasih yg udah mau baca. Jangan lupa vote dan komen ya Thank you. ~Amalia Ulan
Saat sampainya di Pasar Malam. Sansan segera menarik tangan Zidan untuk memasuki area pasar. Sansan sangat menyukai suasana Pasar Malam yang ramai, terang, dan tampak pancaran aura-aura kebahagiaan. Suasana pun mendukung, langit malam tampak terang. Hamparan langit dipenuhi bintang-bintang yang bertaburan. Sansan menatap ke sekelilingnya. Matanya tertuju pada ayunan naga yang berayun kencang. Tampak seru, karena orang-orang berteriak menikmati ayunan. Sansan pikir mereka berteriak girang, padahal berteriak ketakutan. "Pak!" "Hm?" "Mau main itu," rengek Sansan. "Jangan!" larang Zidan. "Yah, kok, jangan, sih! Aku mau main itu!" "Main yang lain aja," tawar Zidan. "Nggak mau! Maunya itu ...." "Yang lain." "Oh, ya udah kalau Pak Zidan nggak mau. Biar aku aja yang naik sendiri," ucap Sansan merajuk. Ia pun berjalan sendiri meninggalkan Zidan di sana. Sansan sengaja memelankan jalannya, berharap Z
Mereka pun masuk ke dalam mobil bersiap pulang. Saatnya Sansan memulai rencana Raqib."Pak.""Hm?""Aku boleh minta satu permintaan, nggak?""Apa?""Aku mau pergi ke acara ulang tahun temanku. Pak Zidan mau nganterin, nggak?"Zidan mengerutkan keningnya. Ia lantas menghela napas saja."Oke.""Tapi ... sebelum itu, Pak Zidan harus pakai topeng ini," ucap Sansan mengeluarkan dua topeng dari tasnya."Harus pakai topeng?" tanya Zidan."Iya, Pak. Konsep ulang tahunnya itu pake topeng."Sansan pun memberikan topeng itu pada Zidan dan langsung dipakainya. Topeng itu menutupi sebagian wajahnya, lebih tepatnya di area sekitar mata saja.Sansan pun memakai topeng yang sama, bewarna gold."Nah, udah. Ayo, kita berangkat, Pak."Zidan membuka dulu topengnya dan mulai menjalankan mobil. Nanti akan ia pakai kembali setelah sampai di acara.Sansan pun memandu arah jalan ke rumah Alvian. Ja
Setelah masuk ke dalam mobil Zidan. Sansan pun membuka topengnya. Namun, tiba-tiba Zidan menarik tangan Sansan. Ia membawa tangan istrinya itu ke bibir, lalu mengecupnya singkat.Adegan romantis beberapa detik yang lalu membuat pipi Sansan merona. Tumben sekali Zidan seperti itu padanya."Jangan kepedean, saya cium tangan kamu, karena tadi ada bekas tangan mantan kamu. Saya tidak sudi ada bekasnya."Walaupun ucapan Zidan terdengar menyakitkan, tetapi tidak bagi Sansan, ia malah tersenyum, karena terbukti jika Zidan cemburu. Bukankah cemburu itu tanda ... sayang?Setelah itu, Zidan menancap gas, menjalankan mobilnya untuk pulang.Sansan tiba-tiba kepikiran tentang Alvian. Apakah dirinya terlalu jahat menyakiti hati pria itu? Namun, ini bukanlah sepenuhnya salah Sansan. Bukankah memang Alvian yang telah mengakhiri hubungan mereka?Walaupun alasan Alvian memutuskannya, agar Sansan tak pergi ke club lagi, tapi apa boleh buat? Di sana
Sansan dibuat panik, bagaimana tidak? Sedari tadi pikirannya kalut. Bagaimana jika ia benar-benar hamil? Apa tanggapan Zidan, yang mana ia saja belum pernah menyentuhnya. Walaupun Zidan pernah bermain dengannya yang sedang berperan sebagai Sansan di club.Dering telepon yang terdengar mengalihkan perhatian Sansan. Ia pun segera mengangkat telepon."Ha--halo?""Zid. Sebentar lagi saya pulang. Kamu bersiap-siap, kita akan ke dokter."Sansan langsung membisu. Jantungnya berdetak tak karuan, perasaan tak enak langsung menyelimutinya."Zid?""Eh, i--iya, Pak. Baik, Pak. A--aku siap-siapa sekarang.""Oke."Sansan melempar HP-nya ke kasur. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Sebenarnya Sansan bisa saja membeli tespack untuk mengecek apakah ia hamil atau tidak, tetapi dirinya saja tak diperbolehkan keluar kamar oleh Nuni dan Wanti, karena disuruh istirahat. Bagaimana caranya ia ke Minimarket?"Duh, gimana, nih," uca
Walaupun Wanti dan Nuni sempat kecewa mendengar kabar Zidny yang ternyata tak hamil, tetapi mereka tetap mengkhawatirkan Zidny, karena terkena asam lambung."Zid, kamu beneran udah nggak apa-apa, kan?" tanya Wanti."Nggak pa-pa, kok, Ma.""Kamu istirahat dulu aja, Sayang. Zidan, bawa istri kamu ke kamar," suruh Wanti, diangguki Zidan.Zidan lalu membimbing istrinya itu menuju ke kamar."Beneran udah nggak pa-pa? Minum obat dulu, ya," ucap Zidan."Emangnya obat tadi jadi Pak Zidan ambil? Bukannya dikasih lagi ke dokternya?" tanya Sansan heran."Rugi, Zid. Obatnya, kan, dibeli."Sansan memutar bola matanya. Sebenarnya Sansan takut meminum obat, daridulu ia selalu menghindarinya, maka dari itu Sansan jarang sakit. Walaupun demam, ia hanya memilih untuk istirahat saja dan minum air hangat.Setelah sampai kamar. Sansan duduk di ranjang, sedangkan Zidan mengambilkan air unt
Mengingat tentang hal semalam Zidan jadi semakin penasaran apa yang terjadi dengan orang tua Zidny. Kenapa mereka tak hadir saat pernikahan putrinya? Ke mana mereka sekarang? Zidan pun berniat menanyakan tentang itu pada Nuni—di luar sepengetahuan istrinya.Pagi ini Zidan menyuruh Zidny untuk tetap beristirahat dulu saja di kamar, walaupun istrinya itu berkata sudah sembuh, tetapi Zidan tetap menyuruhnya tetap di kamar saja.Sebelum berangkat ke kantor, Zidan menghampiri Nuni terlebih dahulu. Ia berjalan ke kamar Nuni dan mengetuk pintu.Tak lama kemudian pintu terbuka, menampakkan Nuni yang sepertinya baru selesai mandi."Eh, Nak Zidan. Ada apa, Nak?""Mama mana, Nek?" tanya Zidan."Wanti ke warung, beli bahan masakan. Ada apa, Nak?""Sebenarnya ada hal yang ingin Zidan tanyakan, Nek. Boleh bicara dengan Nenek sebentar?" tanya Zidan sopan."Boleh, Nak. Kita bicara di mana?"
Sansan tak menggubris. Ia masih diam tak berkutik, sampai seseorang di balik pintu itu masuk dengan kunci cadangan."Nak ....""Kenapa Nenek menceritakan semuanya?" tanya Zidny tanpa menatap muka Nuni. Ya, yang datang adalah Nuni, semua orang di rumah ini memang mempunyai kunci cadangan setiap kamar ataupun pintu depan."Maaf, Nak, tapi ....""Aku nggak mau dikasihani, Nek. Aku nggak mau ada orang yang tahu penderitaanku selama ini."Nuni pun mendekat ke arah Sansan. Ia duduk di tepi ranjang. Sansan yang melihat itu segera bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Namun, ia sama sekali tak menoleh ke arah Nuni, Sansan menatap ke luar jendela."Zidan suami kamu, Nak.""Aku nggak peduli, Nek." Air mata Zidny pun meluncur. Ia mengusap matanya pelan."Maaf, Nak ...." Nuni menunduk, ia jadi merasa bersalah.Sansan menatap ke arah Nuni. Oh, tidak! Apakah Nuni ... menan
Zidan terdiam saat melihat tamu yang datang adalah Reni—mantan kekasinya. Untuk apa wanita itu datang kemari?"Hai, Mas Zidan. Apa kabar?" sapa Reni. Namun, Zidan hanya diam saja. Reni tampak berbeda, tumben sekali wanita itu tidak memakai make up dan juga ia berkacamata."Ada apa?" tanya Zidan tak ingin basa-basi."Aku ke sini hanya mau pamit. Sekalian mau minta maaf sama kamu," ucap Reni lembut. Zidan tetap tak berkutik."Maafin kesalahan yang pernah terjadi di antara kita, ya, Mas. Aku tau, aku udah nyakitin hati kamu. Ak--aku minta maaf." Reni lalu mendekati Zidan dan memegang kedua tangan pria itu sembari minta maaf. Zidan sempat terkejut saat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangannya."Aku akan pindah ke Bandung. Mungkin ... untuk selamanya. So, kita pasti nggak akan ketemu lagi, Mas," ucap Reni. Ia menghela napas sembari menundukkan kepala. "Ak--aku ... boleh minta satu permintaan sebelum pergi, nggak?" t