Share

Suddenly Married

Hari itu tiba, di mana sang dua insan diperasatukan dalam status pernikahan. Dua pengantin yang akan menempuh hidup baru.

Zidan sudah bersiap, jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya. Tangan Zidan dingin dan peluhnya sudah membasahi pelipis. 

"Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti dengan raut muka kecewa pada Zidan.

"Tapi aku, kan, berhasil mendapatkan calon istri sendiri, Ma."

"Bukan Reni yang Mama harapkan. Mama sudah menyiapkan calon istri yang baik untuk kamu, tapi sekarang kamu nggak jadi menikahi dia!"

"Aku nggak tahu siapa gadis pilihan Mama, jadi nggak ada kewajiban bagi aku menikahi dia, Ma."

"Intinya, Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti keluar dari kamar Zidan. Ia hanya bisa menghela napas gusar. 

Dering ponsel Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu. Nomor tidak dikena muncul di layar HP Zidan. Siapa, ya? tanya Zidan dala hati, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon.

"Hallo?"

"Hallo, Brother. Apa kabar?"

Mata Zidan melebar mendengar suara itu. "DONI!" teriak Zidan terkejut. Dikabarkan sepupunya itu menghilang dan sekarang Doni meneleponnya. 

"Ke mana aja lo? Buat susah semua orang," tanya Zidan.

"Nggak penting gue ke mana. Gue dengar, lo mau nikah ya, Bang?"

"Pulang, Don! Lo nggak kasihan apa sama orang tua lo?" Zidan mencoba menasihati Doni agar segera pulang.

"Lo mau nikah sama Reni?" tanya Doni tak menghiraukan ucapan Zidan.

Kening Zidan mengkerut, ia bingung harus menjawab apa.

"Asal lo tau, Bang. Reni itu milik gue, di dalam rahimnya ada benih yang gue tanam."

Tangan Zidan tiba-tiba terkepal. "Apa maksud lo!" bentak Zidan.

"Nggak nyangka lo sebodoh ini. Reni minta lo nikahin dia, supaya ada yang menggantikan tanggung jawab gue. Haha."

PRANG!

Emosi Zidan memuncak, ia tak memedulikan HP-nya yang sudah dibanting tidak bisa hidup lagi. Jadi, ini alasan Doni menghilang? Lari dari tanggung jawab. Lalu, ini pula alasan Reni agar bisa menutupi apa yang telah diperbuat. 

"ARGH!" 

Seharusnya Zidan tidak sebodoh itu hanya karena cinta. Ia terlalu mudah mempercayai orang seperti Reni yang tidak ada bedanya dengan Doni. Buru-buru Zidan keluar kamar, ia akan membatalkan pernikahan ini. Untung saja ijab kabul belum dimulai.

***

"Kan, sudah Mama bilang, Sayang. Reni nggak baik. Kenapa kamu tetap aja keras kepala," ucap Wanti setelah Zidan mengadukan semuanya. Kerabat Zidan pun sudah mengkonfirmasi pada keluarga Reni agar pernikahan itu dibatalkan. Walaupun sempat menolak, akhirnya keluarga Reni menerima keputusan itu, karena memang putri merekalah yang salah. 

"Kalau kamu tidak jadi menikah. Mama yang akan malu sama teman-teman Mama. Pokoknya pernikahan ini tetap dilanjutkan!" ucap Wanti.

"Tapi, Ma. Aku nggak mau nikah sama Reni, Ma," ucap Zidan.

"Siapa bilang kamu akan menikah dengan Reni. Kamu menikah dengan calon istri pilihan Mama. Bilang ke penghulu tunda ijab kabulnya dua jam lagi."

Wanti tersenyum. Ia yakin jika Zidan memang berjodoh dengan gadis pilihannya. 

Zidan hanya pasrah, lagipula ia sudah terlanjur patah hati oleh Reni untuk kedua kalinya. Zidan sekarang hanya menuruti keinginan Wanti. Walaupun ia tidak tahu siapa calon istrinya, bagaimana wajah dan bentukannya, Zidan pasrah. Terpenting ia menikah dan itu membuat ia lega dari semua tuntutan Wanti padanya.

Zidan hanya berdoa semoga ia mendapatkan istri yang baik. Sudah itu saja.

***

Dua jam berlalu dengan cepat. Zidan sudah duduk di hadapan sang penghulu untuk melangsungkan ijab kabul. Wanti sudah memberitahu nama calon istri yang akan ia sebutkan nanti. Namanya saja begitu asing bagi Zidan. 

Saatnya pengantin wanita berjalan masuk ke ruang itu. Zidan langsung menatap sang calon istri.

Wanita itu memakai gaun putih tulang yang panjang. Kepalanya terbalut hijab dan mukanya tertutup oleh cadar bewarna putih. Badannya langsing dan tidak terlalu tinggi. Kulit gadis itu putih, karena terlihat dari punggung telapak tangannya. Sholehah, itulah kesan pertama yang diberikan oleh Zidan.

Sang pengantin wanita dipersilakan duduk di samping Zidan. Tak sengaja mata mereka bertatapan sebentar. Mata yang indah, ucap Zidan dalam hati.

"Bagaiamana? Apakah saudara Zidan siap?" tanya penghulu.

"Baik. Mari kita mulai, ya." Penghulu itu mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Zidan.

"Bismillahirrohmanirrohim. Saudara Zidan Leonli bin Zaki Leonli, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Zidny Sandika binti Darmawan dengan maskawin seperangkat alat sholat dan cincin emas TUNAI...."

"Saya terima nikah dan kawinnya Zidny Sandika binti Darmawan dengan maskawin tersebut TUNAI ...."

"Bagaimana, Saksi?"

"SAH!"

"ALHAMDULILLAH."

Semuanya mengadahkan tangan dan berdoa bersama. Ya, wanita yang dinikahi oleh Zidan adalah Zidny atau Sansan! 

Zidan menatap istrinya itu. Sansan dengan ragu menatap mata Zidan. Sansan langsung mengambil tangan suaminya itu dan mengecupnya singkat. Zidan tahu, istrinya itu pasti malu jika ia tatap seperti itu. Padahal bukanlah itu alasannya. Sansan hanya takut jika Zidan mengetahui jika ia adalah wanita yang di club itu. 

Setelah Sansan mencium punggung tangan suaminya itu. Kini giliran Zidan yang mencium kening istrinya. Zidan mencium kening Sansan singkat.

Menikah dadakan! Walaupun sebenarnya sudah direncanakan dan dipersiapkan. Namun, hampir saja mereka tidak jadi menikah, akan tetapi jodoh tidaklah bisa ditukar. Jodoh itu takdir dan tidak ada siapa pun yang bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan.

***

Sansan sebelumnya tidak tahu jika ia akan menikah dengan Zidan—pria yang telah merenggut keperawanannya. Namun, saat Nuni memberitahu nama pria yang akan menjadi calon suaminya Sansan tahu jika ialah pria itu.

Lalu, apa alasan Sansan menerima ajakan menikah dadakan ini? Tentu saja ini adalah pilihan tepat, karena pria itu bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus menutup apa yang sudah terjadi.

Sansan akan menutupi rahasia ini. Ya, Zidan atau siapa pun tidak boleh tahu tentang kejadian itu. 

"Cucu Nenek sekarang sudah menjadi seorang istri," ucap Nuni. Sansan langsung memeluk Neneknya itu.

"Terima kasih ya, Nek, untuk semuanya."

"Sama-sama, Sayang."

"Zid, mulai sekarang panggil Mama ya, bukan Tante," ucap Wanti. Sansan tersenyum singkat. 

"Baik, Ma."

Sansan sebenarnya sedih, karena di hari pernikahannya pun orang tuanya tidak hadir. Namun, Sansan tidak lagi memedulikan itu. Jika orang tuanya menganggapnya sudah tiada, kenapa Sansan masih terus-terusan berharap mereka menemuinya?

"Zid, ikut aku sebentar!" ucap Zidan menarik tangan Sansan pergi dari situ.

Acara ijab kabul sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Acara resepsi diadakan nanti malam di hotel berbintang. Sekarang waktunya keluarga mempelai pria maupun kekuarga mempelai wanita beristirahat.

Zidan mengajak Sansan duduk di sofa. 

"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membua jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya?

"Aku tahu ...."

***

BERSAMBUNG

***

Lanlia

Hai Semua. Semoga suka, ya. Tetap baca terus kelanjutannya, ya. Terima kasih. Salam hangat, ~Amalia Ulan

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status