Home / Romansa / Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu / Bab 2. Datang ke Ruanganku

Share

Bab 2. Datang ke Ruanganku

Author: Senja Berpena
last update Huling Na-update: 2025-10-11 13:28:02

Kiara duduk di salah satu kursi bar tinggi sambil menghadap jendela besar. Dari sana, dia bisa melihat langit yang tampak mendung, awan kelabu menggantung rendah di atas gedung-gedung tinggi.

Pemandangan yang biasanya menenangkan kini justru membuat hatinya terasa semakin berat.

Tangannya terangkat lalu menutup wajahnya yang dingin dan basah oleh air mata.

Dia lalu menarik napas dalam-dalam, tapi suara isaknya tetap lolos pelan. “Kenapa aku begitu bodoh,” gumamnya lirih.

Pikirannya semakin kacau. Setiap bayangan kejadian tadi menari-nari di kepalanya dan mempermalukannya berulang kali.

Suara tumpahan kopi, tatapan kaget para staf, dan suara dingin Julian yang menyuruhnya keluar—semuanya seperti pisau yang mengiris hatinya perlahan.

Tapi lebih dari rasa malu, yang paling menakutkan adalah konsekuensi dari semua itu.

Pekerjaan ini adalah satu-satunya hal yang menahannya dari kehancuran. Tanpa gaji, tanpa pekerjaan, dia tidak akan bisa membayar rumah sakit.

Dan jika ibunya dipulangkan, Kiara tidak sanggup memikirkan kemungkinan itu.

Dengan tangan bergetar, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Setelah menatap layar beberapa detik, dia mengetik nama yang sudah lama tak dia sentuh di daftar kontaknya: Rhea.

Rhea adalah teman kuliah sekaligus sahabat dekatnya dulu. Mereka pernah tinggal di kamar kos yang sama, makan mie instan bersama, dan saling berbagi mimpi di malam hari.

Tapi kehidupan membawa mereka ke jalan yang berbeda. Rhea kini menjadi istri seorang konglomerat—hidupnya glamor, berkilau, dan penuh kemewahan.

Sementara Kiara, hanya gadis biasa yang berjuang agar ibunya tetap hidup.

Ia menggigit bibirnya sebelum menekan tombol panggil. Butuh keberanian besar untuk menghubungi seseorang setelah bertahun-tahun tak berbicara.

Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara lembut menyapa dari seberang.

“Kiara? Ya Tuhan, ini benar kau?” suara itu terdengar hangat, tapi ada jarak di dalamnya.

“Hai, Rhea,” ucap Kiara pelan, berusaha terdengar biasa walau suaranya serak karena menangis. “Maaf ya, aku tiba-tiba menelepon. Apa kau sedang sibuk?”

“Oh, tidak, tidak. Aku baru pulang dari salon. Ada apa? Suaramu, terdengar tidak baik.”

Kiara menundukkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata, “Rhea, aku minta maaf kalau ini terdengar memalukan. Aku … aku butuh bantuan.”

Hening sejenak. Dari seberang, terdengar napas Rhea yang berubah pelan seolah tengah berwaspada. “Bantuan? Maksudmu?”

“Ibuku sedang dirawat di rumah sakit. Tagihannya sangat besar, dan aku belum bisa membayarnya. Aku … aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin meminjam uang padamu. Aku janji akan mengembalikannya. Aku hanya butuh pinjaman sementara. Lima puluh juta saja.”

Suaranya pecah di akhir kalimat. Ia mengusap air mata yang mulai jatuh di pipinya.

Di seberang, terdengar suara helaan napas panjang. “Kiara, aku … aku sebenarnya ingin bantu, tapi, kau tahu, semua keuangan diatur suamiku sekarang. Aku tidak bisa asal mengeluarkan uang. Lagipula, lima puluh juta bukan jumlah kecil.”

Kiara langsung terdiam. Hatinya perih mendengar nada suara itu. Bukan karena Rhea menolak, tapi karena cara bicaranya berubah, seolah ada ada batas yang kini memisahkan mereka.

Dulu, Rhea selalu berkata bahwa mereka adalah sahabat sejati. Tapi kini, kata “sahabat” itu terasa asing.

“Aku mengerti,” jawab Kiara akhirnya dengan suara pelan. “Maaf sudah merepotkan. Aku tidak seharusnya menelepon.”

“Kiara, jangan salah paham, aku hanya tidak punya akses langsung. Mungkin kau bisa ajukan pinjaman ke bank, atau ke atasanmu? Bukankah kau magang di perusahaan besar?”

Kiara terdiam lagi. Rhea tidak tahu bahwa atasan yang dimaksud baru saja mengusir Kiara dari ruang rapat karena secangkir kopi.

“Ya, aku akan coba cari cara lain,” ucap Kiara singkat sembari menekan perasaannya yang mulai retak.

“Oke, jaga dirimu ya, Kiara. Aku harap ibumu cepat sembuh.”

Sambungan pun terputus.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Kiara menatap ponsel di tangannya lama sekali.

Dalam pantulan layar yang gelap, dia melihat wajahnya sendiri—pucat, lelah, dan penuh keputusasaan. Air mata kembali mengalir pelan tanpa suara.

Satu per satu harapan terasa seperti menghilang. Tidak ada lagi tempat untuk bergantung. Tidak ada lagi orang yang bisa dimintai tolong.

Dia menunduk, menutupi wajahnya, dan bahunya bergetar hebat saat isakan kecil lolos dari bibirnya.

“Kenapa harus begini?” suaranya hampir tak terdengar. “Aku hanya ingin Ibu sembuh.”

Dia tidak sadar bahwa seseorang telah berdiri di ambang pintu pantry.

Siluet tinggi dengan jas gelap dan sorot mata tajam itu menatapnya diam-diam beberapa saat sebelum akhirnya melangkah masuk perlahan.

“Kenapa kau menangis di sini?”

Suara berat itu membuat Kiara tersentak keras. Ia buru-buru menoleh dan darahnya seolah berhenti mengalir saat melihat siapa yang berdiri di sana.

Julian Romanov.

Pria itu berdiri tegak di dekat mesin kopi, satu tangannya menyelip di saku celana, sementara wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

Namun, sorot matanya tertuju langsung pada Kiara yang masih duduk dengan mata sembab dan air mata di pipi.

“T-Tuan Julian ….” Kiara berdiri terburu-buru lalu menunduk karenapanik.

 Tangannya gemetar, dan dia segera menghapus air mata dengan punggung tangan.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengganggu waktu Anda. Aku hanya—”

“Menangis setelah membuat kesalahan di ruang rapat?” potong Julian datar.

Nada suaranya tidak keras, tapi entah kenapa justru membuat Kiara semakin gemetar.

“Aku … aku benar-benar menyesal, Tuan,” ucapnya dengan suara bergetar.

“Aku tidak sengaja. Aku akan menerima apa pun konsekuensi yang Anda berikan asalkan jangan pecat aku, Tuan. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk pengobatan ibuku.”

Julian menatapnya lama, nyaris tanpa berkedip.

Sementara Kiara berharap Julian mau memberikan rasa iba meski hanya sedikit padanya.

Julian akhirnya melangkah mendekat lalu berhenti tepat di hadapan Kiara. Gadis itu menunduk dalam sambil menggenggam tangannya sendiri untuk menahan gemetar.

“Datang ke ruang kerjaku jam delapan malam nanti,” katanya singkat.

Kiara mendongak pelan dan matanya membulat kaget. “T-Tuan?”

“Jangan terlambat.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 8. Aku Menyukainya

    Kiara tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan sampai di titik ini—menjadi barang, menjadi sesuatu yang bisa dilihat, diperintah, bahkan dimiliki oleh seorang lelaki yang telah “membelinya” dengan uang.Semua yang terjadi begitu cepat. Baru beberapa hari lalu dia hanyalah seorang karyawan magang biasa di Romanov Group, dengan seragam lusuh dan pikiran penuh kekhawatiran tentang tagihan rumah sakit ibunya.Kini, tubuhnya berdiri di depan cermin besar dalam kamar mandi mewah, dengan pakaian yang bahkan tak pantas disebut sebagai kain.Cahaya lampu berwarna keemasan memantul di permukaan kaca besar di hadapannya. Kiara menatap refleksi dirinya yang nyaris tidak ia kenali.Tubuhnya terbalut lingerie merah transparan yang membalut ketat di setiap lekuknya.Gaun tipis itu terlalu kecil untuknya, sehingga setiap inci kulitnya terekspos dengan gamblang. Dada padatnya tampak menyembul, nyaris keluar dari belahan kain yang seolah menolak menutupi apa pun.Jari-jarinya gemetar saat menyentu

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 7. Kau Harus Patuhi semua Perintahku

    “Ma-maksud, Tuan?” ucap Kiara dengan suara kecil. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan barusan.Julian menatapnya tanpa ekspresi, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sorot matanya gelap, dalam, seolah bisa menelusup masuk ke dasar jiwa Kiara.“Aku hanya ingin tahu,” katanya datar namun tegas, “bahwa apa yang sudah kubeli di hadapanku kini masih original.”Kata-kata itu membuat tubuh Kiara seketika menegang. “Original?” gumamnya pelan, mencoba mencerna arti di balik kalimat sinis yang baru saja diucapkan Julian.Namun sebelum sempat ia berpikir lebih jauh, langkah kaki berat lelaki itu mendekat.Julian maju satu langkah, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Kiara.Tubuh tinggi tegapnya menutupi sebagian cahaya lampu gantung di ruang itu, membuat bayangannya jatuh menutupi tubuh Kiara yang tampak mungil di hadapannya.“Belum tersentuh oleh siapa pun,” lanjut Julian, suaranya lebih rendah, bergetar dengan nada yang sulit didefinisikan—antara ancaman dan godaan.Kiara men

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 6. Kau masih Perawan?

    Kalimat itu membuat Kiara membeku. “Pertunangan?” ulangnya dengan suara pelan.“Ya,” jawab Max. “Sebuah pernikahan bisnis yang sudah lama direncanakan keluarga Romanov. Dan Tuan Julian membencinya.”Kiara menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat cepat dan memantulkan warna kuning dan biru di permukaan matanya yang masih basah.“Jadi …,” katanya pelan, “aku hanya alat baginya untuk melarikan diri dari sesuatu yang dia tidak mau?”Tidak ada jawaban dari Max. Hanya keheningan yang tebal di antara mereka. Tapi diam itu sudah cukup menjelaskan segalanya.Kiara menunduk dan memejamkan matanya. Sebuah rasa pahit merayapi tenggorokannya.Dia telah menjual dirinya bukan untuk cinta, bukan untuk harapan, tapi untuk menjadi pelarian seorang pria yang bahkan tidak mengenalnya.Namun, di balik semua itu, dia tahu: keputusan itu menyelamatkan ibunya. Dan mungkin itu satu-satunya alasan yang bisa membuatnya tetap kuat.Mobil berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca, Romanov Tower —

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 5. Tidak ada Toleransi Sedikit pun

    Beberapa menit kemudian, Kiara tiba di halaman rumah sakit.Ia berlari kecil menuju bagian administrasi sambil memeluk tasnya erat-erat agar tidak basah.Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan, tapi dia tidak peduli dengan penampilannya. Yang penting, ibunya harus tetap hidup.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang memanggil dari belakang.“Kiara.”Kiara menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika melihat sosok pria jangkung dengan jas hitam berdiri di bawah naungan payung besar.Wajahnya familier — rapi, tenang, dan terlalu profesional.“Tuan Max?” Kiara bergumam dan sedikit terkejut. “Kenapa Anda ada di sini?”Max menatapnya dengan ekspresi datar tapi sopan. “Tuan Julian memintaku untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”Kiara membeku. Seketika hatinya mencelos. “Maksud Anda … Anda mengikutiku?”“Perintah langsung dari Tuan Julian,” jawab Max dengan tenang.Kiara langsung menghela napasnya mendengar ucapan Max tadi.Dalam hati, Kiara menggerutu. ‘J

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 4. Keputusan yang Diambil

    Detik berdetak begitu lambat bagi Kiara, namun waktu sebenarnya berlari tanpa belas kasihan.Begitu Julian meninggalkan meja dan berdiri menghadap jendela lagi, ponsel Kiara yang tergeletak di pangkuannya bergetar keras.Layar menyala dan menampilkan pesan dari dokter yang membuat seluruh darahnya seolah berhenti mengalir.“Nona Kiara, mohon maaf, tapi kami harus mencabut alat bantu pernapasan ibu Anda malam ini jika pembayaran tidak segera dilakukan. Kami menunggu keputusan Anda.”Tangannya gemetar hebat. Pandangannya kabur. Pesan itu seperti hukuman mati bagi ibunya—dan bagi dirinya.Tubuhnya kehilangan tenaga, hingga ponsel itu hampir terlepas dari genggamannya.“Tidak, jangan sekarang,” bisiknya dengan suara serak.Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang pucat. Ia mencoba mengetik balasan, tapi jari-jarinya gemetar hebat.Julian yang berdiri tak jauh darinya akhirnya berbicara. “Sudah aku bilang, kau tidak punya banyak waktu, Kiara,” ucapnya dengan tenang tapi menyayat

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 3. Berikan Tubuhmu

    Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu kantor Romanov Group sudah sepi. Lampu-lampu di lantai 45 menyisakan hanya satu ruangan yang masih menyala—ruang kerja Julian Romanov.Kiara berdiri di depan pintu kaca itu dengan jantung berdetak cepat. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan tepat, sesuai dengan perintah pria itu.Tangannya sedikit bergetar saat mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dan datar terdengar dari dalam.Kiara menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ruangan itu tampak luas, dindingnya kaca, dan memperlihatkan panorama langit malam kota.Di balik meja besar dari marmer hitam, Julian duduk dengan tegak tengah memeriksa beberapa berkas dengan wajah tanpa ekspresi.Ia tidak langsung menatap Kiara, hanya berkata tanpa mengangkat kepala, “Duduk.”Kiara menurut. Tapi, jantungnya seolah ingin meloncat keluar dari dada.Rasanya sulit bernapas di bawah tatapan pria itu, bahkan sebelum dia memulai pembicaraan apa pun.Beberapa menit berlalu dalam

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status