Home / Romansa / Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu / Bab 1. Bencana di Pagi Hari

Share

Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu
Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu
Author: Senja Berpena

Bab 1. Bencana di Pagi Hari

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-10-10 10:18:21

“Kalau pembayaran tidak dilakukan besok, kami terpaksa harus menghentikan pengobatannya dulu, Nona Kiara.”

Kata-kata itu seperti pisau tajam yang mengiris jantungnya tanpa ampun. Dunia Kiara Devina seolah berhenti berputar sesaat. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya sesak, dan telapak tangannya yang dingin bergetar hebat.

Ruangan putih rumah sakit yang biasanya menenangkan kini terasa seperti penjara dingin yang perlahan menghimpit dari segala arah.

Dokter di hadapannya menatapnya dengan ekspresi canggung—antara iba dan profesionalitas yang harus dijaga. Tapi bagi Kiara, kata-kata barusan terdengar seperti vonis mati.

Ia memalingkan pandangan, tak sanggup menatap wajah sang ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Tubuh wanita itu tampak semakin menyusut, pipinya tirus, dan napasnya teratur pelan-pelan melalui selang oksigen. Infus yang menancap di tangan kirinya membuat hati Kiara mencelos setiap kali menatapnya.

Air mata menetes tanpa izin, jatuh di ujung dagunya. Hatinya bergetar saat memandang sosok yang selama ini menjadi alasan ia kuat bertahan.

Ibunya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa setelah ayahnya meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan kerja. Sejak itu, hidup mereka berubah drastis—dari rumah kecil yang hangat menjadi kamar kontrakan sempit di pinggiran kota.

Ibunya berjuang keras, menjahit pakaian siang malam agar mereka bisa makan, sampai akhirnya penyakit itu datang: gagal ginjal kronis yang perlahan menggerogoti tubuhnya.

“Berapa tagihan yang harus aku bayar, Dokter?” tanya Kiara dengan suara bergetar, berusaha menahan isak yang hampir pecah.

“Lima puluh juta, Nona Kiara,” jawab sang dokter pelan.

“Sudah dua minggu ibu Anda dirawat di sini, dan belum pernah Anda bayar sama sekali. Jadi, besok malam adalah hari terakhir jika ibu Anda masih ingin dirawat di sini.”

Angka itu bergema di kepalanya seperti palu yang terus menghantam tanpa henti. Tubuhnya terasa ringan, tapi bukan karena lega—melainkan karena semua tenaga seakan tersedot keluar dari tubuhnya.

Jika ibunya dipulangkan, apa yang akan terjadi? Dia tahu kondisi sang ibu belum stabil. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk dirawat di rumah. Tapi rumah sakit menolak tanpa pembayaran.

Ke mana lagi dia harus mencari uang sebesar itu dalam waktu satu hari?

Gajinya sebagai karyawan magang di Romanov Group bahkan belum cair. Dan itu pun, nominalnya tak seberapa dibandingkan tagihan yang menumpuk.

Ia sudah mencoba meminjam ke teman-temannya, tapi hampir semua menolak halus, mengeluh sedang kesulitan juga.

Dengan langkah gontai, Kiara keluar dari ruang dokter. Matanya bengkak, kepalanya berat. Dia berhenti sejenak di koridor rumah sakit yang sunyi, menatap ke arah jendela besar di ujung lorong.

“Aku harus kuat,” gumamnya pelan.

Dia menggenggam tasnya erat-erat, seolah dari genggaman itu dia bisa mendapatkan kekuatan baru.

“Kalau aku tidak bekerja, aku tidak akan punya uang. Kalau aku tidak punya uang, aku akan kehilangan Ibu,” katanya lirih, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 07.55 pagi. “Astaga! Rapat lima menit lagi!” seru Kiara spontan.

Jantungnya berdetak kencang karena panik menyerangnya. Dengan langkah tergesa, dia hampir menumpahkan kopinya saat berlari menuju lift.

Begitu sampai di lantai 45, pintu ruang rapat sudah setengah tertutup. Dari celahnya, dia bisa mendengar suara-suara rendah dan tegas para eksekutif yang sudah berkumpul. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mendorong pintu.

Begitu masuk, semua mata langsung beralih padanya.

Dan di ujung meja, duduk Julian Romanov.

Pria berusia 33 tahun itu memutar pena di antara jemarinya dengan santai, tapi auranya begitu kuat hingga seolah memenuhi seluruh ruangan.

Tingginya lebih dari 185 cm, tubuhnya tegap dalam jas hitam mahal yang disetrika sempurna. Rambutnya tersisir rapi, rahangnya tegas, dan sorot matanya yang tajam seperti elang yang tengah menilai mangsanya.

Tatapannya beralih ke arah Kiara. Tatapan yang dingin, menusuk, dan membuat siapa pun sulit bernapas. Mata abu-abu itu menelusuri Kiara dari ujung kepala hingga kaki.

“Maaf, aku—”

Belum sempat Kiara menyelesaikan kalimatnya, cangkir kopi di tangannya terguncang. Semua terjadi begitu cepat.

Satu langkah kecil yang salah, satu getaran gugup di ujung jarinya—dan bencana itu pun terjadi.

Cairan kopi yang masih panas tumpah, mengalir dari bibir cangkir, menetes ke meja, lalu jatuh tepat di sisi kanan jas mahal yang dikenakan Julian Romanov.

Sunyi.

Semua orang yang berada di ruang rapat itu menahan napas. Tatapan mereka saling bertukar panik.

Seorang manajer senior spontan menutup wajahnya dengan tangan, sementara asisten pribadi Julian membeku di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa.

Kiara terpaku.

Wajahnya langsung pucat pasi, darah seolah berhenti mengalir. Tangannya yang masih memegang cangkir kosong bergetar hebat, seakan benda itu kini menjadi beban yang sangat berat.

Hatinya berdegup begitu kencang sampai terasa menyakitkan di dada. Ia tahu, ia baru saja melakukan kesalahan terburuk dalam hidupnya.

“Astaga! Maafkan aku, Tuan. Aku tidak sengaja—”

Julian sontak menatapnya.

Tatapan itu. Tatapan dingin yang selama ini hanya Kiara lihat dari jauh—kini menembus langsung ke dalam dirinya.

Julian perlahan meraih sapu tangan putih dari sakunya dan menepuk sisi jasnya yang terkena noda kopi, lalu meletakkan sapu tangan itu di atas meja tanpa sepatah kata pun.

“Keluarlah,” katanya datar.

Kiara membeku di tempat. “Ta-tapi, Tuan. Aku harus mengikuti rapat penting ini—”

“Bagaimana kau bisa fokus jika berjalan saja masih melakukan kesalahan?” katanya tanpa meninggikan suara, tapi setiap katanya terasa seperti tamparan keras.

Ruangan seolah menyusut.

Kiara, wanita muda berusia dua puluh tiga tahun, karyawan magang yang bahkan belum genap dua bulan bekerja di Romanov Group, berdiri kaku di depan seluruh jajaran manajer senior dan direktur.

“Rapat akan segera dimulai,” lanjut Julian dengan nada yang nyaris tanpa emosi, “dan aku tidak ingin ada satu pun yang membuat rapat ini jadi kacau.”

Kata-kata itu menjadi tanda berakhirnya segalanya. Tidak ada ruang untuk penjelasan. Tidak ada kesempatan kedua untuk Kiara. 

“Kiara, sebaiknya keluar sekarang,” ucap Max—asisten pribadi Julian—dengan suara hati-hati.

Wajahnya menunjukkan rasa iba yang sulit disembunyikan. Ia tahu Julian tidak akan mentolerir kesalahan sekecil apa pun, apalagi yang melibatkan dirinya secara langsung.

Kiara menatap Max dengan mata berkaca-kaca.

Dia ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa pagi ini adalah pagi yang kacau, tapi bibirnya kelu.

Dan pada akhirnya, dia hanya bisa menunduk dan mengangguk pelan. “Baik, Tuan.”

Langkahnya terasa berat saat berjalan keluar. Tidak ada satu pun yang berani menatapnya lama-lama, seolah ketakutan mereka pun bisa menular.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Kiara bersandar di dinding koridor yang dingin.

Tubuhnya bergetar hebat, dan akhirnya air mata yang sejak tadi dia tahan mulai menetes satu per satu.

Ia menutup mulutnya dengan tangan agar isaknya tak terdengar—tapi justru suara itu menggema samar melewati celah pintu yang belum tertutup rapat sempurna.

Tangisnya pelan, tapi nyata.

Dan tanpa dia sadari, beberapa kepala di dalam ruang rapat sempat saling bertukar pandang. Mereka mendengar semuanya, termasuk Julian. 

Namun tak satu pun berani membuka suara.

Di luar, Kiara berlutut perlahan di ujung lorong sambil menggenggam cangkir kertas yang kini hancur remuk di tangannya.

“Astaga … kau ceroboh sekali, Kiara,” gumamnya di antara isak.

“Kenapa melakukan kesalahan yang sangat berat seperti ini? Kalau kau dipecat, siapa yang akan melunasi tagihan ibumu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Nining Mulyaningsi
kasian banget sihh kamu Kiara.
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Sabar ya kiara, sekaliannya kena ujian langsung bertubi-tubi
goodnovel comment avatar
SumberÃrta
kuat yaaaa Ki.... kuat demi ibumu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 30. Tidak ada yang Abadi, Kiara

    “Ada yang ingin aku tanyakan tentang Natasha. Kenapa kalian dijodohkan?” tanyanya seraya menatap wajah Julian yang sedang memeluknya.Mereka merebahkan tubuh setelah bergulat beberapa jam yang lalu dengan kondisi tubuh yang masih sama-sama tak mengenakan apa pun.“Urusan bisnis,” jawab Julian dengan santai.Kiara menatap wajah pria itu, berusaha membaca setiap garis ketegangan yang tampak di sana.“Jadi, semua ini karena urusan bisnis?” tanya Kiara dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh dinding sekalipun.Julian memejamkan matanya sejenak, lalu membuka lagi dengan tatapan yang dingin. “Ya. Sebagian besar karena itu. Aku tidak punya pilihan waktu itu.”Kiara menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya ketika mendengar kalimat itu—pahit, getir, dan entah kenapa terasa menyakitkan.“Lalu kenapa tidak menolak sejak awal?” tanyanya lirih, walau dalam hati dia sadar pertanyaan itu mungkin terdengar terlalu berani.Julian membalikkan tubuhnya,

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 29. Aku Lebih Senang Melihatmu Seperti ini

    Kiara baru saja selesai mandi. Uap hangat masih menempel di kulitnya, membuat handuk putih yang melilit tubuhnya terasa lebih tipis dari biasanya.Rambutnya masih basah, menetes perlahan sepanjang leher hingga tulang selangka.Ia menarik napas panjang sambil membuka pintu kamar mandi, siap bergegas mencari pakaian sebelum Julian masuk ke dalam kamar.Namun begitu pintu terbuka, Kiara langsung berhenti kaku.Julian sudah ada di sana.Pria itu berdiri di depan jendela kamar membelakangi cahaya sore yang redup.Tubuh tegapnya menciptakan siluet kuat, garis bahu dan rahangnya terlihat makin tajam.Ia baru saja melepas jas kerjanya; hanya kemeja hitam tipis yang masih melekat, bagian lengan sudah digulung sampai siku, membuat nadinya terlihat jelas.Kiara mematung, jantungnya melompat seolah tertangkap sedang melakukan sesuatu yang salah.“Ju-Julian?” gumamnya dengan mata menganga.Julian menoleh lambat ke arah Kiara. Tatapannya langsung turun menyapu tubuh Kiara dari kepala sampai kaki.K

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 28. Yang Polos yang Berbahaya

    Natasha duduk di belakang meja riasnya, roknya yang ketat terasa menekan paha. Ia menopang dagu sambil menatap pantulan wajahnya di cermin besar berlampu itu.Makeup-nya sempurna, bibir merah, mata tajam. Tapi aura murka dan rasa ingin tahu membuat kecantikannya tampak seperti kilap pisau.Ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul: Hansen – Private Investigations.Natasha langsung mengangkatnya. “Sudah dapat?” tanyanya dengan suara datarnya.“Semuanya, Nona,” jawab Hansen. “Tentang Kiara Devina.”Natasha mengusap pelan sudut alisnya. “Jelaskan!” titahnya.Hansen terdengar membuka berkas. Lalu mulailah laporan itu.“Kiara Devina. Usia 23 tahun. Baru lulus kuliah satu tahun yang lalu, jurusan administrasi perkantoran. Masuk sebagai pegawai magang di Romanov Group tiga bulan sebelum diangkat menjadi sekretaris pribadi Tuan Julian.”Natasha mendengus kecil. “Sejauh ini tidak mencurigakan.”“Ya. Riwayat hidupnya bersih,” lanjut Hansen.“Tinggal bersama ibunya di rumah kecil di sebuah pe

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 27. Kau Punya Aku, untuk apa Takut?

    Kiara meletakkan laptop kerja Julian di atas meja kaca ruang kerja itu dengan sangat hati-hati, seolah benda itu bisa meledak kalau ia salah menaruh.Hatinya masih belum benar-benar stabil sejak kejadian di kantor tadi. Rasanya suasana antara Julian, Natasha, dan dirinya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Ia menarik napas panjang, menahan dinginnya udara AC yang menusuk kulitnya.Begitu keluar dari ruang kerja, Kiara menemukan Julian sudah duduk santai di sofa ruang tengah.Pria itu menyandar, satu kaki terangkat sedikit, satu tangan memegang remote TV.Tayangan berita mengisi ruangan, tapi jelas sekali Julian hanya menonton layar itu tanpa benar-benar memperhatikan isinya.Kiara mendekat dengan langkah ragu. Detak jantungnya berantakan. Duduk di samping pria itu saja rasanya seperti berdiri di tepi jurang.“Tuan?” Kiara membuka suara pelan. “Kenapa Anda seolah sengaja membuat Natasha mencurigai kita?”Julian tidak langsung menoleh. Ia hanya memindah saluran televisi deng

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 26. Mencari Tahu Tentang Kiara

    Hujan rintik mengguyur halaman luas rumah keluarga Romanov sore itu.Langit kelabu memberi kesan muram, seolah ikut mencerminkan suasana hati Natasha yang sejak pagi tercekik rasa tidak nyaman. Ia mengetuk pintu rumah besar itu dengan gerakan cepat, hampir tak sabar.Tak sampai satu menit, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakan Natasha masuk.Di ruang keluarga yang megah, Monna Romanov duduk sambil menikmati teh hangat.Wanita itu elegan dengan balutan setelan krem mahal, tatapan matanya tajam namun tetap mengandung keanggunan ibu pejabat kelas atas.“Oh, Natasha,” sapa Monna dengan lembut. “Kau datang tanpa kabar.”Natasha mencoba tersenyum, tapi tegangnya terlalu jelas. “Aku ingin bicara, Bibi,” katanya sambil duduk di sofa berhadapan dengan wanita itu.Monna meletakkan cangkirnya. “Tentang Julian?”Natasha mengangguk sambil menarik napas panjang. “Ya, Bibi, aku rasa ada yang janggal. Sangat janggal dengan sikap Julian akhir-akhir ini.”Alis Monna sedikit naik. “Apa maks

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 25. Menaruh Curiga yang Mendalam

    Natasha berhenti tepat di depan meja Max, yang langsung berdiri dengan sopan.“Selamat siang, Nona Natasha,” sapanya ramah, seolah tidak terpengaruh aura panas yang dibawa wanita itu.“Aku ingin bicara denganmu,” jawab Natasha tanpa basa-basi. Suaranya dingin, namun ada getir kemarahan yang jelas tak bisa disembunyikan.Max mengangguk dan mempersilakan Natasha ke ruang kecil di belakang area resepsionis eksekutif. Pintu ditutup.Begitu mereka duduk, Natasha langsung mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja.“Aku ingin tahu,” ujarnya langsung memotong, “Julian benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, atau dia hanya sedang menghindar dariku?”Max tetap tersenyum ramah, meski dia bisa merasakan bara emosional di balik kata-kata Natasha. Tanpa menjawab secara langsung, Max membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku agenda tebal berisi jadwal resmi Julian.“Silakan lihat,” katanya sambil mendorong agenda itu ke arah Natasha. “Ini jadwal Tuan Julian dari minggu lalu hingg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status