LOGINWaktu sudah menunjuk angka delapan malam.
Malam itu kantor Romanov Group sudah sepi. Lampu-lampu di lantai 45 menyisakan hanya satu ruangan yang masih menyala—ruang kerja Julian Romanov.
Kiara berdiri di depan pintu kaca itu dengan jantung berdetak cepat. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan tepat, sesuai dengan perintah pria itu.
Tangannya sedikit bergetar saat mengetuk pelan.
“Masuk,” suara berat dan datar terdengar dari dalam.
Kiara menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ruangan itu tampak luas, dindingnya kaca, dan memperlihatkan panorama langit malam kota.
Di balik meja besar dari marmer hitam, Julian duduk dengan tegak tengah memeriksa beberapa berkas dengan wajah tanpa ekspresi.
Ia tidak langsung menatap Kiara, hanya berkata tanpa mengangkat kepala, “Duduk.”
Kiara menurut. Tapi, jantungnya seolah ingin meloncat keluar dari dada.
Rasanya sulit bernapas di bawah tatapan pria itu, bahkan sebelum dia memulai pembicaraan apa pun.
Beberapa menit berlalu dalam sunyi. Hanya suara jam dinding dan ketukan pena Julian yang terdengar.
Sampai akhirnya pria itu meletakkan pena di meja dan mengangkat wajahnya. Tatapan kelamnya langsung menembus mata Kiara.
“Jadi,” ucap Julian tenang, “kau meminjam uang pada temanmu tapi dia tidak meminjamkannya? Itu, yang kudengar saat kau menghubunginya.”
Julian memang tidak sengaja mendengar percakapan Kiara saat menghubungi teman lamanya itu.
Kiara menelan ludah sambil mengangguk. “Y-ya, Tuan.”
Julian bersandar di kursinya sambil melipat tangan di dada. “Lima puluh juta bukan jumlah kecil untuk seorang karyawan magang sepertimu, Kiara. Wajar kalau temanmu tidak mau memberimu pinjaman.”
Kiara mengangguk lagi. “Ya, Tuan. Aku tahu. Tapi, aku harap Anda mau meminjamkan uang padaku, Tuan,” ucapnya dengan nada penuh harap.
“Sudah dua minggu ibuku dirawat di rumah sakit, dan aku belum bisa membayar tagihannya,” sambungnya kembali, berharap Julian mau berbelas kasih padanya.
Julian tidak bereaksi. Hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Aku tidak punya siapa-siapa lagi, Tuan. Hanya beliau yang aku punya,” lanjut Kiara dengan suara yang semakin lirih.
“Aku janji akan membayar semuanya, meskipun dicicil dari gajiku setiap bulan. Aku akan bekerja seumur hidup di sini jika perlu, asal Tuan mau menolongku kali ini.”
Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia menunduk dalam sambil berusaha menjaga sisa harga diri yang masih tersisa.
Ruangan itu kembali hening. Julian menatap gadis di depannya cukup lama—gadis berusia 23 tahun yang tubuhnya tampak kecil di kursi besar itu, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyimpan keteguhan yang ganjil.
Lalu pria itu berkata datar, “Aku bukan rentenir, Kiara. Aku tidak suka ada yang meminjam uang padaku dengan cara mencicil!"
Kiara mengangkat wajahnyanya dengan raut wajah tampak bingung. “Jadi … Tuan menolak?”
Julian tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari kursinya lalu berjalan perlahan ke arah jendela besar di belakangnya.
Punggungnya tampak tegap, siluetnya tampak gagah di bawah cahaya lampu kota yang menembus kaca.
“Aku tidak bilang menolak,” ujarnya tenang, “aku hanya tidak tertarik dengan konsep membayar utang dengan cara mencicil. Uang lima puluh juta bukan mainan.”
Kiara menggigit bibirnya. “Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dengan pelan.
Julian berbalik dan menatapnya tajam. “Pertanyaan yang bagus,” katanya dingin.
Seolah dia baru saja memancing Kiara dan akhirnya umpan itu berhasil dimakan oleh gadis yang tengah rapuh dan putus asa itu.
Ia kembali berjalan ke meja lalu membuka dompet kulit hitamnya, dan mengeluarkan satu kartu logam berwarna hitam legam.
Kartu itu tampak elegan dan berkilau di bawah cahaya lampu. “Lihat ini,” katanya sambil mengangkat kartu tersebut.
“Ini black card unlimited. Dengan ini, semua tagihan rumah sakit ibumu bisa lunas dalam waktu satu jam. Bukan hanya itu—kartu ini bisa menanggung kehidupanmu sepenuhnya, sampai kau masuk ke peti mati.”
Kiara menatapnya dengan raut wajah kaget. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak saat mendengarnya.
Kata-kata Julian terdengar seperti tawaran yang tidak masuk akal—terlalu besar dan terlalu mulia, tapi diucapkan dengan nada yang sama sekali tidak menunjukkan belas kasih.
“Tapi,” lanjut Julian dengan nada yang masih dingin. “Di dunia ini, Kiara, tidak ada yang gratis.”
Tubuh Kiara sontak menegang. Namun, dia tidak sanggup mengatakan apa pun.
Julian menatapnya lekat dan langkahnya mendekat hingga hanya berjarak satu meter darinya.
Wajahnya kini terlihat jelas—rahang tegas, mata abu-abu pekat yang memantulkan bayangan dirinya sendiri.
“Aku tidak tertarik meminjamkan uang. Aku ingin membeli sesuatu yang lebih berharga.”
Kiara mengerutkan alisnya. “Membeli? Apa maksud Tuan?”
Julian mencondongkan tubuh sedikit ke depan dan menatapnya tanpa berkedip. “Kau.”
Wajah Kiara seketika pucat. “T-tuan Julian ….”
“Aku akan membayarkan semua biaya rumah sakit ibumu,” lanjut Julian pelan tapi tegas, “dan kau tidak perlu mencicil apa pun. Sebagai gantinya, kau akan menjadi teman tidurku.”
Kata-kata itu jatuh seperti petir di ruang yang sunyi. Dunia Kiara seakan berhenti. Ia mematung dan menatap pria itu tanpa bisa bernapas.
Dalam sekejap, air mata menetes dari matanya. Ia tidak tahu harus tertawa, marah, atau pingsan.
Hatinya remuk, seolah seluruh harga diri yang tersisa hancur di bawah kaki pria itu.
“T-tuan …,” suaranya nyaris tak keluar, “apakah … Tuan sedang bercanda?”
Julian tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan tatapan datar, tanpa senyum dan tanpa emosi. “Aku tidak pernah bercanda dalam urusan tawar-menawar, Nona Devina.”
Kiara menunduk dalam dan air matanya jatuh membasahi rok hitamnya. “Kenapa …,” bisiknya, “kenapa harus seperti ini, Tuan?”
Julian masih diam.
Kiara mengepalkan tangannya berusaha menahan isak. Dalam pikirannya, wajah ibunya terlintas—terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi selang infus.
Ia bisa mendengar suara napas sang ibu yang berat, dan kata-kata dokter yang bergema di kepalanya: ‘Besok adalah hari terakhir jika Anda tidak membayar.’
Air matanya semakin deras. Dia ingin berteriak, ingin marah, tapi yang keluar hanyalah suara parau yang nyaris tak terdengar.
“Apa hidupku benar-benar tidak ada nilainya sampai harus ditukar dengan hal seperti itu?” ucapnya lirih.
Julian menatapnya lama lalu menghela napas kasar.
“Aku hanya menawarkan pilihan, Kiara. Tidak ada paksaan. Kau bisa pergi malam ini dan biarkan ibumu menunggu nasibnya. Atau kau bisa tinggal, menerima kartu ini, dan menyelamatkannya.”
Kiara menutup wajahnya dengan kedua tangannya sementara bahunya bergetar. Dunia terasa begitu kejam malam itu.
Kiara harus merelakan tubuhnya jika ingin melihat ibunya sehat kembali.
Namun, di tengah tangis itu, dia tahu satu hal yang pasti: ibunya tidak boleh mati.
Tidak ada pilihan lain dan tidak ada waktu.Julian masih berdiri di tempat yang sama sambil memegang kartu hitam itu di tangannya.
Sorot matanya tetap dingin, tapi di baliknya ada sesuatu yang samar. Entah iba, atau mungkin sekadar rasa ingin tahu terhadap gadis yang sedang berada di ambang kehancuran itu.
Kiara menatap kartu itu dengan air mata yang masih mengalir. Bibirnya bergetar, tapi tidak ada suara yang keluar.
Julian mendekat setapak lagi lalu meletakkan kartu itu di atas meja di depan Kiara.
“Pikirkan baik-baik,” katanya datar. “Kau punya waktu sampai tengah malam.”
“Ada yang ingin aku tanyakan tentang Natasha. Kenapa kalian dijodohkan?” tanyanya seraya menatap wajah Julian yang sedang memeluknya.Mereka merebahkan tubuh setelah bergulat beberapa jam yang lalu dengan kondisi tubuh yang masih sama-sama tak mengenakan apa pun.“Urusan bisnis,” jawab Julian dengan santai.Kiara menatap wajah pria itu, berusaha membaca setiap garis ketegangan yang tampak di sana.“Jadi, semua ini karena urusan bisnis?” tanya Kiara dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh dinding sekalipun.Julian memejamkan matanya sejenak, lalu membuka lagi dengan tatapan yang dingin. “Ya. Sebagian besar karena itu. Aku tidak punya pilihan waktu itu.”Kiara menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya ketika mendengar kalimat itu—pahit, getir, dan entah kenapa terasa menyakitkan.“Lalu kenapa tidak menolak sejak awal?” tanyanya lirih, walau dalam hati dia sadar pertanyaan itu mungkin terdengar terlalu berani.Julian membalikkan tubuhnya,
Kiara baru saja selesai mandi. Uap hangat masih menempel di kulitnya, membuat handuk putih yang melilit tubuhnya terasa lebih tipis dari biasanya.Rambutnya masih basah, menetes perlahan sepanjang leher hingga tulang selangka.Ia menarik napas panjang sambil membuka pintu kamar mandi, siap bergegas mencari pakaian sebelum Julian masuk ke dalam kamar.Namun begitu pintu terbuka, Kiara langsung berhenti kaku.Julian sudah ada di sana.Pria itu berdiri di depan jendela kamar membelakangi cahaya sore yang redup.Tubuh tegapnya menciptakan siluet kuat, garis bahu dan rahangnya terlihat makin tajam.Ia baru saja melepas jas kerjanya; hanya kemeja hitam tipis yang masih melekat, bagian lengan sudah digulung sampai siku, membuat nadinya terlihat jelas.Kiara mematung, jantungnya melompat seolah tertangkap sedang melakukan sesuatu yang salah.“Ju-Julian?” gumamnya dengan mata menganga.Julian menoleh lambat ke arah Kiara. Tatapannya langsung turun menyapu tubuh Kiara dari kepala sampai kaki.K
Natasha duduk di belakang meja riasnya, roknya yang ketat terasa menekan paha. Ia menopang dagu sambil menatap pantulan wajahnya di cermin besar berlampu itu.Makeup-nya sempurna, bibir merah, mata tajam. Tapi aura murka dan rasa ingin tahu membuat kecantikannya tampak seperti kilap pisau.Ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul: Hansen – Private Investigations.Natasha langsung mengangkatnya. “Sudah dapat?” tanyanya dengan suara datarnya.“Semuanya, Nona,” jawab Hansen. “Tentang Kiara Devina.”Natasha mengusap pelan sudut alisnya. “Jelaskan!” titahnya.Hansen terdengar membuka berkas. Lalu mulailah laporan itu.“Kiara Devina. Usia 23 tahun. Baru lulus kuliah satu tahun yang lalu, jurusan administrasi perkantoran. Masuk sebagai pegawai magang di Romanov Group tiga bulan sebelum diangkat menjadi sekretaris pribadi Tuan Julian.”Natasha mendengus kecil. “Sejauh ini tidak mencurigakan.”“Ya. Riwayat hidupnya bersih,” lanjut Hansen.“Tinggal bersama ibunya di rumah kecil di sebuah pe
Kiara meletakkan laptop kerja Julian di atas meja kaca ruang kerja itu dengan sangat hati-hati, seolah benda itu bisa meledak kalau ia salah menaruh.Hatinya masih belum benar-benar stabil sejak kejadian di kantor tadi. Rasanya suasana antara Julian, Natasha, dan dirinya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Ia menarik napas panjang, menahan dinginnya udara AC yang menusuk kulitnya.Begitu keluar dari ruang kerja, Kiara menemukan Julian sudah duduk santai di sofa ruang tengah.Pria itu menyandar, satu kaki terangkat sedikit, satu tangan memegang remote TV.Tayangan berita mengisi ruangan, tapi jelas sekali Julian hanya menonton layar itu tanpa benar-benar memperhatikan isinya.Kiara mendekat dengan langkah ragu. Detak jantungnya berantakan. Duduk di samping pria itu saja rasanya seperti berdiri di tepi jurang.“Tuan?” Kiara membuka suara pelan. “Kenapa Anda seolah sengaja membuat Natasha mencurigai kita?”Julian tidak langsung menoleh. Ia hanya memindah saluran televisi deng
Hujan rintik mengguyur halaman luas rumah keluarga Romanov sore itu.Langit kelabu memberi kesan muram, seolah ikut mencerminkan suasana hati Natasha yang sejak pagi tercekik rasa tidak nyaman. Ia mengetuk pintu rumah besar itu dengan gerakan cepat, hampir tak sabar.Tak sampai satu menit, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakan Natasha masuk.Di ruang keluarga yang megah, Monna Romanov duduk sambil menikmati teh hangat.Wanita itu elegan dengan balutan setelan krem mahal, tatapan matanya tajam namun tetap mengandung keanggunan ibu pejabat kelas atas.“Oh, Natasha,” sapa Monna dengan lembut. “Kau datang tanpa kabar.”Natasha mencoba tersenyum, tapi tegangnya terlalu jelas. “Aku ingin bicara, Bibi,” katanya sambil duduk di sofa berhadapan dengan wanita itu.Monna meletakkan cangkirnya. “Tentang Julian?”Natasha mengangguk sambil menarik napas panjang. “Ya, Bibi, aku rasa ada yang janggal. Sangat janggal dengan sikap Julian akhir-akhir ini.”Alis Monna sedikit naik. “Apa maks
Natasha berhenti tepat di depan meja Max, yang langsung berdiri dengan sopan.“Selamat siang, Nona Natasha,” sapanya ramah, seolah tidak terpengaruh aura panas yang dibawa wanita itu.“Aku ingin bicara denganmu,” jawab Natasha tanpa basa-basi. Suaranya dingin, namun ada getir kemarahan yang jelas tak bisa disembunyikan.Max mengangguk dan mempersilakan Natasha ke ruang kecil di belakang area resepsionis eksekutif. Pintu ditutup.Begitu mereka duduk, Natasha langsung mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja.“Aku ingin tahu,” ujarnya langsung memotong, “Julian benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, atau dia hanya sedang menghindar dariku?”Max tetap tersenyum ramah, meski dia bisa merasakan bara emosional di balik kata-kata Natasha. Tanpa menjawab secara langsung, Max membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku agenda tebal berisi jadwal resmi Julian.“Silakan lihat,” katanya sambil mendorong agenda itu ke arah Natasha. “Ini jadwal Tuan Julian dari minggu lalu hingg







