Share

Rencana Licik

Deretan wanita cantik bertubuh tinggi semampai, dengan body yang aduhai kini sedang berdiri berjajar. Mereka hanya memakai pakaian dalam super seksi. Mereka juga berlenggak-lenggok dengan percaya dirinya.

“Kayanya gue juga kalau punya body kaya mereka-mereka gitu, bakalan PD abis meski dilihat jutaan mata cuma pake kancut doank,” ucap teman Lalita dengan pandangan penuh kekaguman dan iri dengki.

“Duuh, buka dikit, jos,” gumam temannya satu lagi sambil tetap fokus memelototi pemandangan indah di depannya. Air liur di mulutnya bahkan hampir saja akan menetes ketika menyaksikan model-model cantik itu.

“Dasar mesum!” Lalita menoyor kepala Randy. “Hati-hati tuh, bola mata lo bentar lagi jatoh,” sindirnya lagi.

“Please deh, jangan kebanyakan ngimpi, mereka pake begituan dibayar ratusan juta. Nah, elo. Kalo pake gituan, gue jamin bakalan di kira cewek stress yang frustasi karena susah jodoh.” Lalita menyampirkan tangannya di pundak Icha sambil sebelah tangannya lagi menunjuk salah satu model Elizabeth Secret yang sedang berlenggak lenggok memakai pakaian dalam seksi dan memakai sayap ala kupu-kupu.

Hal itu sontak membuat temannya di kasir tertawa. Lalita memang terkenal ceplas-ceplos jika bicara.

“Girls, udah jam 22.30. Saatnya tutup toko. Udahan dulu ya cantik ngerumpinya,” interupsi Riska dari belakang kasir. Ia segera memberikan sapu dan pel pada Lalita dan Icha yang hampir saja akan baku hantam. Malam minggu begini toko mereka tutup lebih malam dibandingkan dengan hari kerja biasanya. Pertemanan diantara mereka memang seperti itu, bercanda yang sedikit ekstrim tapi mereka saling menyayangi dan selalu ada satu sama lain.

Dengan wajah yang sedikit ditekuk mereka mengambil sapu dan kain pel itu untuk bersiap tutup toko.

Tak lama, mereka berhasil menyelesaikannya dan berganti baju di gudang.

Lalita yang sudah selesai, bahkan duduk santai sambil mengecek ponselnya sambil menunggu Icha yang belum selesai bersiap. Kebetulan, kosan Icha yang kebetulan searah dengan jalan ke rumahnya.

Hanya saja, Lalita begitu terkejut melihat puluhan panggilan tidak terjawab dan juga pesan dari adik laki-lakinya.

“Ada apa, Ta?” tanya Icha langsung menghampiri temannya yang kini terlihat sedikit panik. Kebetulan dia juga baru saja selesai berganti baju.

Lalita tidak menjawab pertanyaan Icha. Dia buru-buru menelpon kembali nomor adiknya. Dia menggigit kuku jempolnya dengan cemas, karena teleponnya tidak juga diangkat.

“H-hallo ….”

“Hallo, Dek. Kamu ada di mana sekarang? Kakak segera kesana!” berondong Lalita begitu telponnya tersambung.

“Kakak nggak usah kesini … hiks … kakak pulang aja,” jawab adiknya sambil menangis.

“Apa yang terjadi sama kamu sebenarnya? Kamu baik-baik aja, kan? Suara kamu kurang jelas. Di sana berisik banget.” Lalita mulai merasa aneh, di pesannya tadi adiknya menyuruh Lalita segera datang tapi kenapa sekarang malah melarangnya. Rasa khawatir Lalita jadi semakin bertambah, dia yakin sekali ada sesuatu hal yang tidak beres pada adiknya.

“Cepat datang ke alamat ini, kalau tidak adik kamu akan kami jebloskan ke penjara! Saya akan kirimkan alamatnya lewat chat.” Suara yang baru saja menjawab itu bukan suara Lucky, tapi suara pria lain dengan suara bass yang menyeramkan.

“Duh, gue kudu buru-buru pergi. Adek gue lagi kena masalah. Sorry ya, Cha kita nggak bisa bereng dulu.” Lalita bergegas pamit pada kedua temannya yang lain dan buru-buru ke parkiran karyawan untuk mengambil motornya.

Dia baru saja mendapatkan alamat tempat adiknya berada. Kening Lalita mengernyit heran karena itu adalah alamat sebuah club, tempat hiburan paling terkenal di kotanya dan tempat itu sangat mahal yang hanya bisa di datangi oleh orang-orang berduit saja. Bagaimana bisa adiknya masuk ke tempat seperti itu? Pikirnya.

Tanpa pikir panjang Lalita langsung tancap gas ke tempat itu.

Sementara itu, di sisi lain, Lucky--adik Lalita--masih merutuki kebodohannya.

Ia memang pulang dengan temannya dalam keadaan sedikit mabuk. Namun, ia tidak menyangka bahwa mereka akan menabrak supercar yang harganya mahal di depan mereka karena tak fokus kala melihat perempuan cantik di pinggir jalan.

“Penyok dikit, motor mereka nubruk lumayan kenceng. Tapi ajaibnya kedua bocah itu selamat karena mereka loncat dari motornya pada waktu yang tepat,” ucap Jonatan yang tadi duduk di depan kemudi, memberikan laporan pada Adrian. Ya, supercar itu adalah milik Adrian Respati. Salah satu bujangan paling kaya di kota itu, cucu sulung keluarga Respati yang merupakan salah satu dari lima puluh orang terkaya dan berpengaruh di Indonesia.

“Bagaimana keadaan anak-anak itu?” tanya Adrian.

“Mereka baik-baik saja. Cuma lecet-lecet dan beset dikit, yang satunya agak teler,” lapor Jonathan kembali lalu menatap kedua anak yang menurutnya nakal itu dengan tajam. “Kalian masih muda udah banyak ulah. Lihat sekarang? Kalian sudah merusak mobil ini. Kalau sudah begini, apa kalian mau tanggung jawab, hah?!” 

“Maafkan kami, Pak. Kami benar-benar tidak sengaja. K-kami bakalan tanggung jawab, kok.” Ilham menjawab dengan terbata-bata dan tubuh yang gemetar. Tragedi barusan membuat kesadarannya sedikit demi sedikit terkumpul.

“Tanggung jawab? Kalian mau jual ginjal buat benerin kerusakan mobil ini?” gertak Jonathan.

Sementara itu, Adrian hanya memperhatikan kedua mulut anak muda itu menganga lebar. Tampaknya, mereka terkejut dengan biaya ganti rugi yang begitu mahal.

“Mana sini, kasih saya lihat identitas kalian. Kecil-kecil udah belajar mabok. Tahu nggak, kalian bisa kena hukuman penjara karena mabuk sambil berkendara!” ucap Jonathan makin garang.

Tangan Lucky gemetar. Dia benar-benar ketakutan, untuk mengambil kartu identitasnya saja dia sampai kesusahan sehingga Jonathan segera merebut dompet di tangannya yang sedang gemetaran.

“Mereka benar-bener masih di bawah umur,” ucap Jonathan begitu melihat Adrian mendekat padanya. Pria itu baru saja melihat bumper mobilnya yang kini terlihat sedikit penyok.

Mata Adrian sedikit memicing saat melihat foto di dompet yang ada di tangan Jonathan. Di dompet bocah itu terdapat foto Lucky yang sedang di peluk oleh pria paruh baya dan juga gadis muda yang sejak tadi mengganggu pikirannya!

“Berikan padaku dompet itu, Jo,” pinta Adrian.

Jonathan segera menuruti perkataan Adrian.

“Gadis ini,” gumam Adrian sambil menyunggingkan senyum liciknya.

“D-dia … kakak saya, Om,” jawab Lucky ragu-ragu.

Mata Adrian melotot saat Lucky memanggilnya dengan sebutan Om. Dia jadi teringat saat gadis dalam foto itu yang juga memanggilnya, Pak. Dia sedikit tidak terima dengan sebutan itu karena merasa dianggap sudah tua.

Adrian merutuk sambil melihat pantulan dirinya pada kaca mobil. "Tampan seperti biasanya," ucapnya penuh percaya diri dalam hati. "Aku masih tampan dan muda, kenapa kakak beradik ini menganggap aku sudah tua," ringisnya kemudian dalam hati.

Hanya saja, Adrian kini memiliki sebuah rencana.

Ia pun berdehem  sebelum akhirnya bersuara lagi. “Kalau kalian tidak ingin masuk penjara, suruh kakak perempuanmu itu untuk datang kemari. Karena kamu masih berada di bawah umur, Saya akan meminta pertanggung jawaban padanya!” ucap Adrian tegas sambil menyeringai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status