Elvian menjentikkan jari, "Tepat sekali!"
"Tapi pacaran sama siapa? Manusia atau setan?"
"Uhm—" Elvian memainkan dagu, tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya dia manusia, hanya saja terkadang sifatnya mengalahkan iblis."
"Astaghfirullahaladzim!" Juna menggelengkan kepala dengan cepat. "Saya nggak mau berurusan sama iblis. Musyrik! Pasti ini ujung-ujungnya saya disuruh nyari tumbal, kan?"
Elvian terkekeh remeh, "Kamu nggak akan bisa kabur dari wanita monster itu. Dia bahkan lebih mengerikan daripada Godzilla." Bayangan sosok Airish yang sedang bicara dengan penuh percaya diri sambil memainkan kuku lentiknya, seketika berseliweran di pikiran Elvian, membuatnya meringis membayangkan ekspresi malang Juna saat berhadapan dengan perempuan diktator tersebut.
"Loh ... Bapak ini gimana, sih? Masa cewek monster disuruh pacaran sama saya? Enggak mau saya mah," tolak Juna sambil bergidik ngeri. "Takut!"
"Sebagai gantinya, kamu akan menerima kompensasi sebesar lima ratus juta rupiah setelah tanda tangan kontrak."
"LIMA RATUS JUTA?!" Juna melotot tidak percaya. Jangankan lima ratus juta, bahkan uang sepuluh juta pun belum pernah dia lihat secara langsung.
"Bapak jangan coba-coba nipu saya, ya. Enggak bakalan mempan!" Juna mengibaskan tangan sambil berdecih remeh. "Udah sering saya nerima SMS dari nomor baru yang nggak dikenal. Katanya, saya mendapatkan uang tunai sejumlah ratusan juta rupiah, bahkan miliaran. Terus ujung-ujungnya malah saya yang disuruh ke ATM buat transfer uang ke dia. Tapi untungnya saya nggak punya ATM, hehehe."
Elvian hanya mengerutkan alis menyaksikan kepolosan bocah laki-laki di hadapannya sekarang.
"Pak, saya nggak bakalan ketipu lagi. Modus lama itu mah. Basi! Mending sekarang Bapak tobat, deh. mumpung masih dikasih napas sama Allah SWT. Contoh saya nih, Pak, meskipun nganggur dari lulus SMA sampe sekarang, tapi nggak pernah saya kepikiran buat nyari uang dengan cara selicik itu. Malu, Pak!" ujar Juna. "Ayo! Sekarang ikutin saya. Asyhadu—"
Elvian tidak ingin banyak omong, sehingga tangannya langsung bergerak membuka koper berisi ribuan lembar uang dengan total sejumlah lima ratus juta rupiah, membuat Juna terbelalak seraya membungkam mulut rapat-rapat.
Juna nyaris ingin pingsan. Seumur-umur, belum pernah dia melihat uang sebanyak itu secara langsung di depan matanya.
"I-i-itu uang asli atau palsu, Pak?" Jari tangan Juna sampai keriting karena gemetar saat menunjuk uang di dalam koper tersebut.
"Silakan cium dan nilai sendiri. Uang memiliki aroma surga yang nggak akan bisa membohongi indra penciuman manusia," balas Elvian sedikit angkuh.
Juna mendekatkan hidung ke uang tersebut, menghirupnya dalam-dalam, menikmati setiap aroma harum uang dengan jumlah yang belum pernah dia temukan sebelumnya.
"Bener, ini uang asli." Juna terkekeh-kekeh dengan raut seperti orang yang baru saja menang arisan.
"Jadi, bagaimana? Kamu siap mengabdikan jiwa dan raga kamu kepada monster berwajah malaikat tersebut?" Elvian menaikkan satu alis. "Namanya Airish Sevanya, dua puluh empat tahun, CEO di perusahaan besar dan ... maniak berondong!" tegasnya.
Kalimat akhir yang mengerikan di telinga Juna, membuat bulu kuduk pemuda itu meremang hingga akhirnya dia pun menggelengkan kepala. "Ah, tetep aja saya mah nggak mau kerja dengan cara seperti itu. Sama aja saya menjual diri ke tante-tante kesepian. Maaf, nggak minat. Takut, ih ...."
"Selain uang lima ratus juta, kamu juga akan mendapatkan mobil, apartemen mewah, treatment gratis kapan pun kamu mau, juga masih banyak bonus lainnya yang bisa diberikan oleh Airish tanpa diduga-duga."
Juna tetap bersikukuh dengan pendiriannya. "Mohon maaf, tapi saya udah punya pacar. Sebagai cowok setia, saya nggak mau jadi pacar sewaan perempuan lain walaupun katanya itu cuma pura-pura aja. Apalagi jadi pacar sewanya tante-tante. Menjijikkan!" ungkapnya.
"Pacar?" Kedua alis Elvian berjengit naik, sudut bibirnya terangkat sebelah. "Maksudmu ... gadis yang diam-diam sudah berkhianat demi pria yang jauh lebih mapan daripada kamu?"
"Maksud Bapak apa?" Juna menyipitkan mata. "Jangan fitnah pacar saya sembarangan, ya! Dia perempuan baik-baik, rajin shalat dan berakhlak mulia. Jadi, nggak mungkin dia tega mengkhianati saya seperti yang Bapak omongin barusan!"
Elvian mendengkus, mengeluarkan sebuah map yang dia sembunyikan di balik jas mewah miliknya. "Silakan lihat sendiri kalau kamu nggak percaya," lalu tangannya menyodorkan map tersebut kepada Juna.
Dengan rasa penasaran yang sudah menyelimuti dirinya, Juna mengambil alih pemberian Elvian, memeriksa isi di dalam sana dan betapa terkejutnya dia saat mendapati foto kekasihnya sedang berpegangan tangan bersama pria lain.
Bukan hanya berpegangan, tetapi pria itu juga terlihat memasukkan cincin ke jari manis gadis itu.
"Enggak ... enggak mungkin!" Juna menggeleng, tidak menyangka perempuan yang dia pikir setia ternyata tega bermain di belakangnya.
BERSAMBUNG ....
Di dalam kamar, duduk di tepian kasur, Juna memperhatikan selembar foto yang tadi ditunjukkan oleh Elvian. "Kenapa kamu sejahat ini, Nay?" Suara Juna sedikit bergetar, menandakan ada cairan yang berusaha ditahan agar tidak lolos dari pelupuk mata. Tidak dia sangka, Nayla—yang telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku SMA kelas dua belas—ternyata lebih memilih pria lain dibandingkan dirinya. Menyedihkan! Juna meraih ponsel di atas nakas. Bahkan saat bukti foto itu berhasil membuat perasaannya hancur, dia masih berharap menerima panggilan masuk dari sang kekasih hati—sampai detik ini, mereka memang belum putus hubungan, ‘kan? "Ayo, Nay .... Hubungi aku!" Juna bergumam pelan, menghela napas. "Setidaknya minta maaf dan tunjukin kalau kamu merasa bersalah dengan adanya pengkhianatan ini." Namun, miris! Nayla sama sekali tidak mencari, menghubungi, apalagi merasa bersalah seperti yang Juna inginkan. Dan akhirnya, Juna mengalah. Dia menelepon Nayla karena merasa bahw
Alih-alih menjawab, Airish malah menggeram dalam diam. Tangannya mengepal, menahan kesal yang mulai merajai diri. Dia segera meraih ponsel dan kembali menghubungi Elvian. "Apa dia sudah bosan hidup?" Airish bergumam seraya menunggu jawaban dari asisten pribadinya tersebut. Akan tetapi, sepertinya Elvian benar-benar tidak punya nyali yang cukup untuk menghadapi seorang Airish Sevanya walaupun hanya melalui telepon. Karena tidak juga membuahkan hasil, Airish pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Elvian. [Masih nggak mau angkat telepon? Hm, kayaknya cuaca hari ini lagi bagus buat nulis nama seseorang di batu nisan!] Setelah pesannya dibaca oleh Elvian, Airish tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena laki-laki itu sendiri yang meneleponnya tanpa diperintah. Airish buru-buru mengangkat panggilan. "Apa sebelumnya aku pernah bilang padamu butuh pembantu baru?!" Tanpa kalimat sapaan, wanita itu langsung menyerang Elvian dengan pertanyaan yang mengerikan. 'Rish, tenang—'"Siapa
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, ‘kan?" Elvian bicara sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen kepada Juna. Senyuman miring tersungging di bibirnya—seolah sedang merayakan kemenangan atas kekalahan Juna yang pada akhirnya tunduk juga.Menerima sodoran tersebut, Juna memasang ekspresi datar. Sama sekali tidak memperlihatkan senyuman walau hanya sekadar basa-basi.Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe. Sengaja memilih tempat untuk bisa bicara empat mata. Juna tidak mau ibunya tahu soal ini dan merasa iba karena anak laki-lakinya terpaksa harus mengabdikan diri kepada seorang tante kesepian yang haus berondong. Iyuh!"Ada kolom kosong di bagian bawah yang harus kamu tanda tangani," ucap Elvian mengingatkan pemuda bermata cokelat di hadapannya. "Sebelumnya, pastikan kamu sudah membacanya baik-baik."Juna mendongak, menatap serius ke arah Elvian. Ada tanya di benaknya yang ingin dia ajukan. "Di sini tertulis, bahwa kontrak kerja sama hanya akan berakhir jika pihak
"Jack, Keano, silakan pergi dari sini! Tinggalkan aku berdua dengan pacar baruku." "Baik, Nona!" Kedua manusia itu mengangguk patuh. Mereka melepaskan Juna dan segera berlalu meninggalkan ruangan sesuai perintah Airish. Kini hanya tersisa Airish dan Juna di dalam ruangan. Suasana mendadak canggung dan menyeramkan bagi Juna, tetapi tidak bagi Airish yang justru merasa sangat antusias dan tidak sabar ingin bermain dengan ‘mainan’ barunya. "Come here, Baby!" Airish tersenyum miring seraya menggerakkan telunjuk dengan genit—memberi kode agar pria itu mendekat—membuat Juna bergidik ngeri saat itu juga. Perlahan Juna melangkah maju, lalu berdiri di dekat meja di hadapan Airish. Dia memperhatikan setiap senti sosok wanita yang sudah mengontrak dirinya menjadi pacar bayaran. Mata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan lipstik merah muda, rambut keriting gantung yang dibiarkan terurai ke depan melewati bahu, kaki jenjang yang menyilang di balik rok span hitam, tubuh proporsional dan ..
"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Tanpa bicara panjang-lebar, Juna segera turun dari mobil dan menghampiri dua insan berlawanan jenis yang baru saja keluar dari kafe.Airish tak tinggal diam, melainkan ikut turun dari mobil menyusul kepergian Juna yang entah mau menemui siapa."Wah ... nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini," ucap Juna saat berdiri tepat di hadapan dua orang tersebut."Ju-na?" Gadis itu, Nayla membulatkan mata melihat sosok Juna, sedangkan laki-laki yang sedang bersama Nayla tampak memasang ekspresi bingung."Dia siapa?" tanya Reno, pacar baru Nayla—atau mungkin tunangan?Nayla tergugu. "Di-dia ... bukan siapa-siapa, ‘kok," jawabnya seraya menelan ludah dengan susah payah.Alih-alih marah atau membabi-buta, Juna justru menunjukkan senyuman enteng seakan ini bukanlah apa-apa. "Yakin aku bukan siapa-siapa?" tanyanya.Di sisi lain, Airish yang berdiri di samping Juna hanya fokus menjadi pendengar. Diam-diam mencoba membaca situasi dan mencari tahu siapa gadis yang saat ini sedang bicara dengan Juna.N