Share

4.Berpikir

Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.

Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.

Baik ataupun buruk situasinya,

Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.

* * * * * 

Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.

Satu hal yang dikhawatirkan Melanie saat ini adalah ayahnya. Segera gadis itu berlari menuju rumahnya. Sampai di halaman depan rumahnya, Melanie menghentikan larinya. Dia melangkah perlahan melewati kekacauan di depan rumahnya. Gadis itu menatap sedih melihat barang-barang di rumahnya hancur.

Tatapan Melanie tertuju pada sebuah boneka kuda poni berwarna pink yang terlihat kotor terkena debu. Gadis itu mengambilnya dan membersihkan debu yang menempel di boneka itu.

“Apa yang terjadi di sini, Molly?” tanya Melanie pada bonekanya.

Gadis itu pun memeluk erat boneka kuda poni bernama Molly itu. Kemudian Melanie berjalan masuk untuk mencari ayah dan kakaknya untuk mencari penjelasan atas kekacauan yang terjadi di rumah mereka. Melanie menaiki tiga anak tangga sebelum akhirnya mencapai teras rumahnya. Dia bergegas masuk ke dalam. Tangannya meraih gagang pintu yang tertutup itu dan mendorongnya terbuka.

Sama halnya dengan di halaman di luar rumahnya, di bagian dalam rumahnya pun terlihat sama kacaunya. Bahkan ada beberapa pecahan piring dan gelas di atas lantai. Pertanyaan apa yang terjadi dengan rumahnya semakin membuat Melanie penasaran.

Vater.” Panggil Melanie. Namun tidak kunjung mendengar suara ayahnya.

Vater, kau ada di mana?” Seru Melanie kembali.

“Di sini, Melanie. Vater berada di kamar.” Seru Walden Schumacher dari dalam kamarnya. Yang terletak di dekat tangga rumahnya.

Dengan berhati-hati menghindari pecahan piring dan gelas, Melanie melangkah masuk menuju kamar ayahnya. Namun langkahnya terhenti saat dekat dengan kamar Walden. Telinga Melanie bisa mendengar isakan tangis ayahnya. Dia yakin hal buruk yang berkaitan dengan kekacauan rumahnya pasti telah membuat sang ayah menangis.

Akhirnya Melanie sampai di kamar ayahnya. Dia bisa melihat Walden duduk di tepi ranjang dan segera menghapus air matanya. Terakhir kali Melanie melihat pria berusia lima puluh tahun itu adalah ketika ibunya pergi meninggalkan ayah, kakak dan juga dirinya. Saat itu usia Melanie menginjak tujuh tahun. Dia melihat ayahnya menangis di kamarnya ketika seharusnya dirinya sudah tidur.

Segera Melanie menghampiri ayahnya dan berlutut di hadapannya. Kedua tangan Melanie menggenggam tangan ayahnya. 

Vater, apa yang terjadi? Mengapa rumah begitu kacau? Dan kau juga menangis. Apakah terjadi hal buruk?” Melanie mengulurkan satu tangannya untuk menghapus air mata ayahnya.

“Tadi ada tiga orang pria bertubuh besar datang dan mengatakan dia menagih hutang.”

Melanie memicingkan matanya. Meskipun hidup mereka sederhana, gadis itu tahu ayahnya tidak pernah berhutang pada siapapun.

“Apa maksud Vater dengan menagih hutang? Apakah Vater mengajukan pinjaman?”

Walden menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kau jelas tahu Vater tidak pernah berhutang pada siapapun. Karena Vater tidak ingin menyusahkanmu atau kakakmu.”

“Lalu mengapa penagih hutang itu menagih hutangnya pada Vater?” bingung Melanie.

“Dia mengatakan jika kakakmu telah berhutang pada mereka sejumlah seratus ribu Franc Swiss.”

Seketika mata Melanie melotot kaget. “Seratus ribu Franc Swiss? Tapi untuk apa Sonja hutang sebesar itu?”

“Aku sudah menyelidiki di kamarnya tadi, Melanie. Sepertinya kakakmu menggunakan uang itu untuk bersenang-senang.”

Melanie geram kepada kakaknya. Selama ini dia tidak pernah akur dengan Sonja. Melanie berpikir Sonja mirip sekali dengan ibu mereka. Begitu malas dan hanya ingin merasa enak sendiri. Di saat ayahnya bekerja begitu keras, Sonja memilih santai-santai tidak mau membantu bekerja.

“Bersenang-senang? Ya, Tuhan. Apakah Sonja tidak punya otak? Bagaimana bisa dia meminjam uang sebesar itu untuk bersenang-senang. Sekarang di mana dia, Vater?”

“Sejak semalam kakakmu tidak pulang. Sepertinya dia tahu penagih hutang akan datang kemari hari ini. Karena itu dia kabur.”

Melanie memejamkan matanya berusaha mengendalikan emosinya. Dia tahu saat ini ayahnya pasti sedang terpukul. Karena itu jika dia mengeluarkan emosinya di hadapan sang ayah, pasti akan membuat Walden merasa sedih.

“Lalu bagaimana kita akan membayar hutang sebanyak itu, Vater?”

Walden menggelengkan kepalanya. “Aku juga tidak tahu, Melanie. Mereka mengatakan jika mereka akan kembali besok dan menagih hutang itu kembali. Mereka juga mengatakan jika aku tidak memberikan uang seratus ribu Franc Swiss, maka mereka akan menghancurkan rumah ini lebih parah dari hari ini. Oh, Melanie. Bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam sehari? Lalu bagaimana dengan nasib kita jika rumah ini dihancurkan?”

Hati Melanie terasa sangat sakit melihat ketakutan di mata ayahnya. Dia yakin ketakutan itulah yang membuat ayahnya menangis. Ayahnya sudah bekerja sangat keras agar bisa membeli rumah ini. Tapi sekarang gara-gara kakaknya, mereka akan kehilangan rumah ini. Dia tidak menyangka sang kakak akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ibunya. Meninggalkan ayahnya dengan beban berat yang harus ditanggung oleh Walden.

Vater, kita akan memikirkannya nanti lagi. Aku tidak ingin Vater sakit karena terlalu memikirkan hal ini. Pasti akan ada jalan yang bisa membantu kita. Aku akan membersihkan tempat ini dan menyiapkan makan malam. Vater istirahatlah dulu sejenak.” Melanie mengusap punggung tangan sang ayah dengan penuh kasih sayang.

Walden tersenyum menatap putrinya. Dia menunduk untuk mencium kening Melanie. “Aku sangat menyayangimu, Melanie. Maafkan aku membawamu dalam masalah ini.”

Melanie menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu minta maaf, Vater. Aku sendiri yang ingin terlibat. Dan aku juga sangat menyayangimu, Vater.”

Melanie membantu sang ayah untuk berbaring di tempat tidur. Setelah memastikan ayahnya tertidur karena kelelahan, akhirnya Melanie berjalan keluar kamar untuk membersihkan kekacauan di rumah ini. Menyelamatkan benda-benda yang masih bisa diselamatkan.

* * * * *

Ralf berbaring di atas ranjangnya dengan mata yang masih terbuka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum bisa tidur karena masih memikirkan Melanie. Dia ingat bagaimana gerakan agresif Melanie saat melumpuhkan perampok itu. Bahkan pria itu tersenyum mengingat kejadian itu.

“Melanie? Selama ini aku selalu melindungi diriku sendiri. Tapi untuk pertama kalinya aku dilindungi seorang gadis.” Gumam Ralf.

Dia tidak menyangka gadis mungil seperti Melanie begitu berani melawan perampok. Tidak hanya itu dia juga tidak mengharapkan imbalan dari Ralf. Hal itu jelas aneh bagi pria itu. Selama ini dia dikelilingi oleh orang-orang yang berusaha menjilatnya untuk mendapatkan uang darinya. Tapi Melanie yang mendapatkan kesempatan itu justru menolaknya.

Ayahku selalu mengajarkanku jika menolong seseorang haruslah tulus. Jangan mengharapkan imbalan dibaliknya. Karena itu kau tidak perlu memberikan apapun padaku sebagai imbalannya.

Ralf ingat ucapan Melanie mengenai nasehat ayah gadis itu. Nasihat yang sangat bijak. Ralf yakin ayah gadis itu mendidik Melanie dengan sangat baik.

Menyadari ketertarikannya pada Melanie membuat Ralf memikirkan sebuah ide. Ide cemerlang itu membuat Ralf bangkit dari tidurnya dan berada dalam posisi duduk di tengah ranjangnya. Dia akhirnya menemukan cara untuk memenuhi keinginan kakeknya. Meskipun ide ini sangat gila, tapi Ralf ingin mencobanya.  Bibirnya menyunggingkan senyuman membayangkan ide itu

* * * * *

Melanie menghela nafas lega setelah melihat kondisi rumahnya jauh lebih baik. Tidak ada lagi barang-barang rusak yang berceceran. Tidak ada lagi pecahan kaca yang berbahaya jika ada yang menginjaknya. Melanie juga sudah membuang barang-barang yang sudah tidak bisa diselamatkan.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Melanie menghampiri kamar ayahnya. Dia bisa melihat ayahnya masih tertidur. Bahkan Walden melewatkan makan malam. Melanie yakin ayahnya lelah tubuh dan juga lelah pikiran. Karena itu Melanie tidak berusaha membangunkannya. Dia sangat yakin Walden membutuhkan istirahat setelah cobaan berat yang baru saja diterimanya.

Melanie meraih selimut dan menyelimuti tubuh ayahnya. Dia menunduk untuk mengecup kening sang ayah. Setelah memastikan sang ayah tidur dengan nyaman, Melanie pun melangkah keluar. Dia berjalan menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sampai di lantai dua, dia berjalan menghampiri pintu dengan hiasan yang ada nama ‘Melanie’ di depannya. Dia membuka pintu kamar dan menyalakan lampunya. Segera gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang untuk melepaskan lelah yang dirasakannya.

Gadis itu pun memikirkan cara bagaimana caranya mencari uang Seratus ribu Franc Swiss dalam waktu sehari? Bahkan waktu yang diberikan tidak sampai dua puluh empat jam. Melanie memejamkan matanya.

“Ya, Tuhan. Mengapa kau memberikan cobaan yang lebih berat lagi? Apa yang harus kulakukan?” gumam Melanie dengan nada sedih.

Seharusnya dia cukup menjual tubuhnya kepada pria-pria kaya atau memilih mengikuti jejak ibunya menjadi bintang film porno.

Melanie teringat ucapan Pauline hari ini. Seketika mata Melanie pun terbuka. Dia berpikir jika menjual tubuhnya pasti akan mendapatkan uang yang banyak dengan sangat cepat. Mungkin hanya itu cara yang bisa diambil Melanie untuk membantu ayahnya.

* * * * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status