Share

3.Pertemuan

“Ayahku selalu mengajarkanku jika menolong seseorang haruslah tulus. Jangan mengharapkan imbalan dibaliknya. Karena itu kau tidak perlu memberikan apapun padaku sebagai imbalannya.”

~ Melanie Schumacher ~

* * * * *

Orang yang melayangkan tendangan mautnya adalah Melanie. Gadis itu terlihat memasang sikap waspada sembari tidak melepaskan pandangannya dari perampok yang saat Ini tengah memegang kepalanya karena merasakan tendangan keras Melanie.

Tidak ingin perampok itu melukai dirinya dan juga pria yang hendak dirampok, Melanie dengan berani menghampiri pria paruh baya itu. Melanie menginjak tangan perampok itu yang memegang pisau membuat pria itu menjerit kesakitan hingga benda tajam itu terlepas dari tangan pria itu. Melanie menendang jauh pisau itu sehingga perampok itu tidak menggunakan benda tajam itu untuk menyerangnya.

“Gadis sialan! Beraninya kau mengganggu rencanaku. Aku pasti akan membunuhmu.” Geram perampok itu.

Pria itu melayangkan kepalan tangannya ke arah kaki Melanie. Namun gadis itu dengan cepat meraih tangan pria itu dan memutar tubuh perampok itu hingga berada dalam posisi tengkurap. Dia meraih tangan pria itu yang tadi diinjaknya. Memegangnya kedua tangan pria itu secara bersamaan. 

“Bukankah merampok tindakan yang buruk, mein Herr?”

“Itu bukan urusanmu, Gadis sialan.” Pria itu meronta berusaha membebaskan dirinya.

Namun Melanie memutar tangan pria itu membuat perampok itu menjerit kesakitan. “Memang bukan urusanku jika aku tidak melihatnya. Sayang sekali kau tidak beruntung, mein Herr. Aku tidak mungkin membiarkan kau membunuh pria tidak berdosa.”

Relf memicingkan matanya menatap Melanie saat mendengar gadis itu menyebutnya sebagai ‘pria tidak berdosa’. Ralf bahkan merasa tidak pantas mendapatkan sebutan itu. Mana mungkin dia tidak berdosa. Bahkan membantah kakeknya beberapa jam yang lalu merupakan sebuah dosa.

Sebelum perampok itu kembali melawan, dua orang polisi datang menghampiri Melanie. Kedua polisi itu juga terkejut dengan tindakan berani Melanie. Baru kali ini mereka menangkap penjahat yang sudah dilumpuhkan. Terutama saat melihat orang yang melumpuhkan perampok itu adalah gadis yang masih muda.

“Pria ini mencoba merampok pria tidak berdosa di sana, Pak Polisi.” Melanie menunjuk ke arah Ralf. “Dia menggunakan senjata pisau yang ada di sana. Aku sama sekali tidak menyentuhnya. Jadi pasti sidik jari perampok ini masih tertinggal sehingga bisa membuktikan jika dia telah melakukan tindak kejahatan.”

Setelah Melanie menunjuk ke arah pisau yang tadi sempat ditendangnya, gadis itu menyingkir dari punggung perampok itu sehingga polisi bisa memborgol tangannya. Salah satu polisi berjalan menghampiri Ralf untuk bertanya.

“Apakah yang dikatakan gadis itu benar, mein Herr?” tanya polisi itu.

Ralf menganggukkan kepalanya. “Ya, benar. Dia menyuruhku untuk memberikan kunci mobil serta uangku. Jika tidak dia akan menusukku dengan pisau itu.” Ralf menunjuk ke arah pisau yang baru saja diambil polisi lain menggunakan plastik agar tidak menghilangkan sidik jarinya.

“Kami akan mengurusnya, mein Herr. Bisakah anda meninggalkan nomor telpon sehingga kami bisa menghubungi anda terkait perampokan ini.”

“Tentu saja.” Ralf mengeluarkan kartu namanya dari dalam dompetnya. Kemudian dia menyerahkan kartu kecil itu kepada sang polisi.

“Maafkan atas hal buruk yang terjadi pada anda, Mr. Krausz. Kami akan mengurus kasus ini.” Ucap polisi itu setelah membaca nama Ralf.

“Terimakasih, Pak polisi.”

Setelah itu kedua polisi itu membawa perampok itu pergi. Kemudian Ralf berjalan menghampiri gadis itu. Dia meneliti tubuh Melanie. Tinggi gadis itu tidak jauh berbeda dengannya. Tapi gadis itu terlihat lebih kurus dan tidak memiliki otot seperti dirinya. Tapi Ralf begitu heran bagaimana bisa gadis semungil itu memiliki tendangan maut yang mematikan.

“Terimakasih sudah menolongku. Namaku Ralf Krausz.” Pria itu mengulurkan tangannya.

Awalnya Melanie terpesona dengan ketampanan Ralf. Pria itu layaknya tokoh tampan dan sempurna yang keluar dari dalam novel. Dengan wajah menawan serta bentuk tubuh yang terbentuk indah membuat wanita manapun pasti meleleh melihatnya. Hal itulah yang terjadi pada diri Melanie. Anehnya tubuhnya terasa panas ketika Ralf sedang memandangi tubuhnya dari atas sampai bawah. Namun Melanie menyadarkan dirinya untuk tidak terpesona pada pria itu. Dia tersenyum dan membalas uluran tangan Ralf.

“Sama-sama, Mr. Krausz. Namaku Melanie Schumacher.”

Setelah melepaskan tangan Melanie, Ralf mengeluarkan dompetnya dari saku jasnya. “Karena kau menolongku, aku akan memberikan sedikit uang sebagai imbalannya. Sebagai ucapan terimakasihku padamu.”

Melanie menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Mr. Krausz. Kau tidak perlu melakukannya. Aku menolongmu bukan untuk mengharapkan imbalan darimu.”

“Tapi kau baru saja menyelamatkan nyawaku, Miss Schumacher.” Ralf terkejut karena Melanie menolak imbalan uang darinya.

Gadis itu menyunggingkan senyuman. “Ayahku selalu mengajarkanku jika menolong seseorang haruslah tulus. Jangan mengharapkan imbalan dibaliknya. Karena itu kau tidak perlu memberikan apapun padaku sebagai imbalannya.”

Tidak hanya senyuman manis Melanie yang membuat Ralf terpesona. Tapi juga kata-kata bijak yang diucapkan gadis itu. Tak pernah Ralf bertemu dengan seorang gadis seperti Melanie. Jelas hal itu membuat Ralf sangat tertarik. 

Ralf memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku jasnya. “Karena kau menolak imbalan dariku, maka aku tidak akan memaksa. Ayahmu benar-benar sangat bijak telah mengajarkan hal seperti itu.”

“Dia memang selalu bijak, Mr. Krausz. Kalau begitu aku harus segera pulang. Sebaiknya kau berhati-hati, Mr. Krausz. Karena aku tidak selalu berada di tempat yang sama denganmu untuk menolongmu jika kau berada dalam masalah.”

Ralf tertawa mendengar ucapan Melanie. “Aku akan mengingat hal itu, Miss Schumacher. Sekali lagi terimakasih sudah menolongku.”

“Selamat tinggal.” Melanie melambaikan tangannya.

“Selamat tinggal, Miss Schumacher.” Ralf juga melambaikan tangannya kea rah Melanie.

Ralf bisa melihat Melanie berbalik dan berjalan menjauhinya. Tatapan Ralf tidak bisa lepas dari gadis itu hingga Melanie menghilang di ujung gang. Setelah itu Ralf mengeluarkan smartphonenya. Dia mencari satu nama di kontaknya lalu menghubunginya.

“Marco, bisakah kau membantuku?” tanya Ralf pada asistennya bernama Marco Hardt.

“Tentu saja, Mr. Krausz. Katakan apa yang bisa saya bantu?”

“Aku ingin kau menyelidiki seorang gadis bernama Melanie Schumacher.” Perintah Ralf.

“Baik, Mr. Krausz. Saya akan menyelidikinya.” Ucap Marco menuruti perintah Ralf.

“Terimakasih, Marco.” 

Setelah menutup sambungan telpon itu, Ralf memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Pria itu memilih kembali ke mobilnya. Niatnya untuk membeli kopi pun lenyap. Dia jauh lebih ingin pulang.

* * * * *

Melanie berjalan melewati jalan menuju rumahnya. Dia masih memikirkan tentang Ralf Krausz. Pria tampan yang terlihat seperti muncul dari novel romantis yang pernah dibacanya. Melanie tidak menyangka pria tampan dan menawan seperti di novel itu benar-benar ada.

Namun yang lebih mengusik pikiran Melanie adalah reaksi tubuhnya ketika Ralf sedang memandang dirinya dari atas sampai bawah. Untuk pertama kalinya Melanie merasakan tubuhnya memanas bahkan hanya melalui tatapan pria itu.

“Apakah ini yang disebut hasrat? Aku hanya pernah membacanya di novel-novel romantis.” gumam Melanie berusaha mencari jawaban atas reaksi yang dialaminya.

Lalu Melanie kembali membayangkan wajah tampan Ralf. Dia pun mengingat bagaimana bibir Ralf yang menawan sedang berbicara padanya. Melanie merasa penasaran bagaimana rasanya jika Ralf menciumnya. Apakah hasrat yang dia rasakan akan meledak dalam dirinya?

Namun Melanie segera menggelengkan kepalanya. “Apa yang sedang kau pikirkan, Melanie? Berhentilah membayangkan hal yang bodoh seperti itu. Lagipula aku tidak akan bertemu dengan pria itu lagi. Peluang kami bertemu sangatlah kecil. Untuk apa membayangkan hal yang tidak-tidak. Aku yakin ini semua pasti karena pengaruh pembicaraannya dengan Alizée mengenai ‘Pangeran berkuda putih’.”

Melanie tidak ingin terlalu bermimpi bisa dekat dengan pria seperti Ralf. Dia ingat pria itu mengenakan setelan jas yang bagus. Pasti harganya sangat mahal. Dia juga mengendarai supercar yang super mahal. Jelas dunia pria itu dengan Melanie sangat jauh berbeda. Melanie tidak ingin bermimpi menjadi Cinderella. Karena kehidupan nyata tidaklah seindah dunia dongeng.

Melanie menghela nafas berat sebelum akhirnya fokus pada perjalanannya pulang ke rumah. Namun saat Melani berada di belokan terakhir, langkahnya terhenti. Dunia Melanie seakan hancur saat melihat pemandangan di hadapannya. 

* * * * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status