Apa maksudnya ini? Apa tamu yang baru saja dibicarakan Gerald adalah Davin? Kenapa dia meminta Davin datang kesini? Apa dia sedang menyiapkan rencana untuk menjebak Tania? Jika ini memang rencananya, dia sungguh keterlaluan. Setidaknya itulah yang dipikirkan Tania.
Davin terdiam di sana, sementara manajer restoran itu telah berlalu menuruni tangga. Tania dan Gerald saling berpandangan.
“Tania? Kau ada di sini?” Davin mengangkat alis.
“A-aku-”
“Davin!” Gerald berseru tertahan lalu tertawa ceria. “Kau datang tanpa memberitahu?”
“Ya, ini sangat mendadak. Aku sudah menghubungi Tania tapi dia tak menjawab telepon atau pesanku.” Jelas Davin masih dengan ekspresi bingung. “Kalian … sedang apa?”
“Ahaha! Kau tahu? Ini kebetulan yang sangat gila. Ayah baru tahu ternyata Tania menjadi model di perusahaan agensi milik Ayah!” Gerald menghampiri putranya. Tania mengerutkan dahi saat mendengar kalimat Gerald.
“Apa?” Davin masih tampak bingung.
“Kami tadi tak sengaja bertemu di kantor itu, Ayah sangat jarang memeriksa keadaan di sana. Ayah baru tahu bahwa Tania menjadi model di sana, selama dua tahun bahkan!” Gerald memandang Tania sekilas. “Jadi kami berbincang singkat dan Ayah mengajaknya ke restoran ini karena ingin membicarakan lebih banyak tentang pekerjaan.”
“Sungguh?” Davin memandang mereka bergantian dengan wajah ceria, mempercayai cerita Gerald begitu saja. “Maaf aku tidak menghubungi Ayah dulu.”
“Tidak masalah, ayo duduklah. Kau pasti lelah kan?” Gerald mempersilakan, ia lalu meraih ponsel yang berdering di saku jasnya. “Sebentar.”
Tania kembali duduk. Davin pun duduk di kursi kosong yang ada di sebelah kekasihnya. Sekarang Tania berpikir sepertinya memang ini bukan rencana Gerald, hanya kebetulan saja Davin datang di saat Gerald memiliki janji dengan rekannya.
“Maaf, ponselku rusak,” Tania membuat alasan.
“Ya ampun, aku sampai khawatir. Aku kira sesuatu yang buruk terjadi.” Davin menyentuh wajah Tania dengan cemas. “Kau baik-baik saja kan?”
“Aku baik.” Tania menyingkirkan tangan Davin dari wajahnya dengan halus sebelum Gerald melihat. Dia kembali dari menelepon lalu melihat mereka berdua.
“Uh, Ayah ada pertemuan penting dalam tiga puluh menit, tidak apa jika Ayah duluan, kan? Lagipula sudah ada Tania. Bukankah tujuanmu datang memang untuk menemuinya, Davin?”
Davin tertawa canggung lalu mengangguk. Gerald pun berlalu pergi meninggalkan keduanya.
“Jadi apa benar yang dikatakan ayahku tadi?” Davin masih tak percaya.
“Memangnya ada kemungkinan lain yang bisa terjadi?” canda Tania. Mereka tertawa lalu melanjutkan obrolan itu dengan ringan.
Davin berencana menginap di flat Tania selama tiga hari ia berada di sini. Tania sangat panik mendengarnya karena ia telah membicarakan masalah ini dengan Gerald dan Gerald mungkin tak akan suka jika Tania tetap tinggal di flat itu meski hanya untuk tiga hari.
“Tiga hari? Bagaimana dengan pekerjaanmu?”
“Semuanya aman, teman-teman dan anggotaku sudah mengurusnya.” Davin tersenyum tenang.
“Kenapa tidak menginap di salah satu rumah atau flat ayahmu?”
“Kau tidak suka jika aku menginap di flatmu?”
“H-hei, jangan salah paham. Maksudku, aku khawatir jika ayahmu berpikir bahwa-”
“Ayolah kenapa memikirkan ayahku? Dia tak terlalu peduli kok.”
Tania menggigit bibir. “Baiklah, ayo kita kembali ke flatku.”
Saat sampai, Tania lebih dulu masuk dan meraih ponselnya di atas meja lalu mengirim pesan pada Gerald.
“Dan bilang dia ingin menginap di flatku selama tiga hari. Aku mohon izinkan aku tetap disini sampai dia kembali ke Paris. Setelah itu aku akan meninggalkan flat ini, kumohon.”
Gerald langsung membalas beberapa detik kemudian.
“Kau boleh.”
Tania menarik napas lega sampai akhirnya Davin menghampirinya.
“Ponselmu sudah menyala?”
“Aah iya! Aku baru mencoba menyalakannya kembali. Sepertinya sistemnya sedikit error. Kau tahu, ponsel jenis lama memang selalu seperti ini.” Tania menggeleng lalu kembali meletakkan ponselnya. “Hei, ayo makan sedikit camilan. Kau mau apa?”
“Kau punya doritos?”
“Tentu!”
***
“Sebenarnya aku berpikir untuk pindah ke flat yang lebih kecil.” Tania memberanikan diri untuk bicara setelah berjam-jam menyusun kalimat di kamar mandi.
“Kenapa? Apa yang salah dengan flat ini?” Davin masih mengunyah snack favoritnya.
“Biayanya terlalu mahal, aku ingin lebih menghemat agar bisa menabung lebih banyak. Kau tahu, rencana kita ....”
“Ah, kau tak perlu lakukan itu, Tania. Serahkan semuanya padaku. Aku tak ingin kau stress.” Davin meletakkan camilannya lalu menatap kekasihnya serius. “Maksudku, itu bagus jika kau memang ingin membantu tapi aku tidak ingin kau sampai mengorbankan kenyamananmu.”
“Sama sekali tidak. Lagi pula aku hanya sendirian, tidak butuh flat sebesar ini.” Tania terpaksa sedikit mengarang cerita agar Davin tidak kaget jika ia benar-benar harus pindah dari flat ini. Karena tidak mungkin ia menceritakan yang sebenarnya, bukan?
“Aku punya rencana yang lebih baik.” Davin menatapnya semakin serius. “Ikut denganku ke Paris dan tinggallah bersamaku.”
“Tidak bisa! Uh, maksudku ... aku punya pekerjaan di sini.”
“Tinggalkan pekerjaanmu yang ada di sini, ada lebih banyak brand di Paris yang akan mengangkatmu menjadi bintang iklan mereka. Oh! Kenapa kau tidak menjadi model dari brand-ku saja? Casualads! Bukankah itu keren? Masalah selesai.”
Itu memang terdengar keren, tapi Tania masih tidak yakin jika harus meninggalkan London dan ikut ke Paris bersama Davin untuk selanjutnya tinggal bersamanya meski memang mereka punya tujuan semacam itu.
“Ayolah, Tania ....” Davin menyatukan kedua telapak tangannya sebagai tanda memohon. “Oh, atau kau masih harus menyelesaikan kontrak kerjamu dulu?”
Tania terdiam sejenak. Sebenarnya tidak juga, beberapa pihak tertinggi di agensi itu tahu siapa Tania dan mereka akan selalu menuruti perintah Gerald. Tak seperti model-model lainnya, Tania bisa keluar dari kantor itu kapan saja karena ia sama sekali tidak terikat dengan kontrak apa pun. Dan mengingat Gerald yang telah memberikan isyarat bahwa ia harus segera menjauh dari semua itu, mungkin memang tak ada salahnya mengikuti rencana Davin.
“Baiklah aku rasa itu ide bagus ....”
“Sungguh?” Seketika Davin antusias. “Kalau begitu kapan kita akan pindah?”
“Umm, Dua hari dari sekarang? Setidaknya setelah aku selesai mengemasi barang-barangku.”
“Kau bercanda?” Davin menatapnya tak percaya. “Perfect!”
Sejujurnya, Tania bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan, tapi persetan dengan apa pun. Baginya kini akan lebih baik jika ia segera meninggalkan London dan tak perlu melihat Gerald lagi.
“Menurutmu kita harus memberitahu ayahku soal ini?”
“Tidak, jangan. Maksudku, tidak akan banyak berpengaruh, kan? Lagipula dia sibuk. Aku yakin dia tahu rencana kita.” Tania mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ya, ia yakin Gerald pasti paham bahwa hubungannya dengan Davin akan terus berlanjut, itu rencana besar mereka sejak awal.
“Kira-kira apa tanggapannya jika kita membicarakan pernikahan?”
Pertanyaan Davin membuat Tania tertegun. Pernikahan, tentu saja, itu tujuan mereka selanjutnya. Tania merasa Gerald tidak akan terkejut jika dia tahu bahwa Davin dan Tania akan tinggal bersama, tapi ia tidak yakin dengan reaksi apa yang akan Gerald berikan jika mereka benar-benar menikah nanti.
Menikah dengan Davin dan menjadi menantu Gerald, pria yang selama ini menjadi sugar daddy-nya.
“Tidakkah terlalu cepat memberitahunya hal itu?” Tania memandang Davin sambil menyamarkan rasa gugup. “Kita butuh persiapan yang matang. Kita akan memberitahunya saat semuanya sudah siap, atau mungkin cukup berikan undangan saja.”
“Tania, dengar … aku tahu kau mencoba membuat ini jadi semacam kejutan, tapi dia ayahku. Kita akan memberitahunya tentang rencana pernikahan kita.”
“Oh, baiklah. Tentu saja kita akan memberitahunya, tapi tidak dalam waktu dekat, seperti yang sudah kukatakan.” Tania kembali mengalihkan pandangan. Semakin Davin menegaskan bahwa Gerald adalah ayahnya, ia malah semakin gugup.
Tidak apa, kau bisa melalui ini, pikir Tania.
***
Esoknya Tania segera mengemasi barang-barangnya dengan bantuan Davin. Ia tak punya terlalu banyak barang-barang kecuali pakaian yang membutuhkan banyak koper agar bisa dibawa, tapi mereka tak mungkin membawa semuanya jadi Tania memutuskan untuk memilih beberapa yang menjadi favoritnya sedangkan sisanya ia kemas agar bisa diberikan pada komunitas amal setempat. Lagipula Tania bisa membeli lebih banyak pakaian saat di Paris nanti.
Semuanya selesai lebih cepat dari yang diperkirakan. Sore ini Tania akan menjalani satu pemotretan lagi dan besok mereka akan berangkat ke Paris. Davin bilang dia akan menemui ayahnya di restoran selama Tania berada di studio. Itu membuat Tania yakin bahwa Davin pasti akan menceritakan soal keputusan untuk pindah ke Paris bersamanya. Itu bagus, jadi Gerald akan tahu bahwa Tania tak akan lagi tinggal di flat itu.
Beberapa rekan kerjanya terkejut dengan keputusannya yang sangat mendadak ini. Mereka tak mengira bahwa Tania akan pindah, tapi ia tak mau banyak bicara atau menjelaskan lebih lanjut.
“Kau sudah bicara pada pihak agensi? Bukankah kau harusnya membicarakan ini tiga bulan sebelumnya?” salah satu rekan model bertanya curiga.
Tidak jika kau berkencan dengan pemilik perusahaan agensinya, batin Tania. Namun ia hanya menanggapi pertanyaan itu dengan senyum.
Setelah pemotretan selesai, Tania bersiap pergi. Namun Davin datang dan langsung menghampirinya. Beberapa orang memperhatikan mereka.
“Aku membawa sesuatu untukmu.” Davin menyerahkan satu cup ukuran sedang, kopi yang masih panas. “Sempurna untuk menutup hari.”
“Thanks, Davin.” Tania mengecupnya singkat. “Sudah selesai berbincang dengan ayahmu?”
“Yep, aku kesini bersamanya, kok. Itu dia.” Davin melirik ke salah satu sisi ruangan dimana Gerald sedang duduk dan mengobrol dengan salah satu pegawai kantor. “Kau tak ingin berpamitan dengannya? Besok kita sudah berangkat ke Paris, loh.”
“Berpamitan?” Tania memandangnya bingung.
“Hei, bukankah kau mulai hari ini tak akan bekerja di sini lagi. Kenapa tak katakan sesuatu? Mungkin sedikit lelucon seperti, 'Tuan Bentley, mulai hari ini aku sudah tak bekerja lagi di sini, tapi posisiku naik menjadi calon menantumu' hahaha!”
“Err … aku rasa itu bukan ide yang bagus, Davin.” Tania tertawa canggung.
“Aw, aku tahu kau hanya gugup. Aku bercanda. Ayo kita kembali ke flatmu. Tadi sudah keceritakan padanya tentang kepindahan kita besok, termasuk kau yang berhenti sebagai model di sini. Aku juga memohon padanya agar bersedia memberitahu pihak petinggi agensi ini tentang hal-hal yang berhubungan dengan keluarnya kau dari sini, jadi kau tidak akan kena masalah.”
Tania tersenyum tipis. Tentu saja Gerald akan melakukannya “Lalu apa yang dia katakan?”
“Dia bersedia, selebihnya, tidak banyak bicara,” Davin menggeleng. “But he wished us luck and happy, of course.”
Davin dan Tania melangkah keluar dari kantor. Sebelum melewati pintu, Tania melirik sekilas ke arah Gerald yang masih duduk di sana. Mereka beradu pandang. Sepertinya Gerald sudah memperhatikan sejak tadi. Sepersekian detik setelah saling beradu pandang, Gerald mengalihkan pandangannya. Tania melangkah melewati pintu dengan kopi di tangan kanan dan tangan kirinya berada dalam genggaman Davin.
Sesampainya di flat, Tania memeriksa ponsel dan mendapati pesan dari Gerald.
Davin menceritakan padaku beberapa rencana besarnya. Dia begitu bahagia. Selamat atas keputusan kalian, semoga beruntung. G x
Tania menghela napas panjang. Seandainya ia tahu apa yang ada di pikiran Gerald saat ini. Apakah ucapan selamat darinya memang tulus atau itu hanyalah sebuah sindiran atau bahkan peringatan?
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k