Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.
Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.
Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”
“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”
“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”
“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”
“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.
“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.
Davin menggandeng Tania menuju
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
“Ah, aku jadi semakin tak sabar untuk mengenalkanmu pada orang tuaku!” suara Davin terdengar begitu antusias di seberang."Aku juga! Tapi kita harus menunggu dua hari lagi sampai pemotretanku yang ini selesai, tidak apa, kan?” balas Tania.“Yep, aku akan sabar menunggu. Kau jangan sampai terlalu lelah, ya! Istirahatlah yang cukup agar kau tak sakit saat berkunjung ke rumah orang tuaku nanti.”“Tentu, sayang. Aku akan tutup teleponnya, jaga dirimu.”“Sure, I love you, Tania.”“I love you too, Dan.”Tania menutup telepon dan kembali membereskan barang-barangnya.“Tania, kau akan pulang dengan siapa?” rekan modelnya, Clara bertanya sambil membereskan barang-barangnya. Ia memandang ke luar jendela studio. “Uh, langitnya sangat mendung.”“Seperti biasa,” jawab Tania santai. Tak l
Tania tiba di Paris dan mendapati Davin telah menunggunya di bandara. Lelaki itu menyambut kekasihnya dengan seikat lili favoritnya. Sungguh Davin tampak begitu keren meski hanya mengenakan hoodie hitam dari brand miliknya, Casualads. Rambut aslinya coklat gelap dan terkadang ia mewarnainya, kini ia memiliki highlights pirang di rambutnya. Sepasang matanya hijau dan tinggi sekitar 180 cm, membuat orang-orang berpikir bahwa ia adalah model dan bukan desainer. Memang, seringkali Davin menjadi model untuk produknya sendiri.“Bienvenue à Paris, mon amour.” Davin meraih tangan Tania dan mengecupnya seraya mengucapkan selamat datang untuk kekasihnya itu.“Jadi kau sudah pastikan bahwa kau tak akan berurusan dengan pekerjaanmu dulu selama dua minggu ke depan, kan?”“Tentu. Aku sudah berjanji. Minggu ini kita akan habiskan waktu di Paris untuk menemui Ayahku. Lalu minggu berikutnya k
Davin adalah putra Gerald. Dia putra sugar daddy Tania.“Jadi, Ayah … ini adalah kejutan yang kubicarakan di telepon saat aku memintamu untuk hadir di sini,” Davin bercerita tanpa senyum terlepas dari wajahnya. “Gadis ini, Tania Wood, adalah kekasihku. Aku bermaksud mengenalkannya padamu.”Hanya dalam waktu beberapa detik Tania merasakan lututnya melemah. Secara spontan ia meraih lengan Davin agar tak terjatuh.“Kau baik-baik saja?” Davin berbisik cemas. “Kau tidak mau bersalaman dengan ayahku?”Tania masih memandang Gerald, antara memastikan bahwa itu memang dia atau berharap penglihatannya salah. Tapi tidak, itu memang dia. Gerald Bentley. Davin sudah menyebutkan namanya. Gerald balas memandang Tania dengan ekspresi yang tak pernah ia kenali sebelumnya. Apa itu? Apakah itu ekspresi terkejut? Marah? Tidak percaya?Entahlah. Ekspresinya sulit ditebak.Namun, tak lama kemudian ia
Tania pernah ke Jerman beberapa kali, tapi ia tak pernah ke Munich. Hanya Berlin. Kini saat ia akhirnya menginjakkan kaki di kota itu, mendadak ia jadi begitu gugup. Bukan hanya karena akan menemui ibu Davin, tapi juga karena menyadari kenyataan bahwa ia akan bertemu Catherine, mantan istri dari sugar daddy-nya.“Ibuku orang yang menyenangkan, dia pasti akan sangat menyukaimu!” Davin menggandeng tangan Tania saat mereka keluar dari taksi menuju sebuah rumah sederhana dengan kotak pos berwarna coklat tua di halamannya.“Jangan cemas, ibuku tidak sesibuk ayahku. Dia tidak akan pergi begitu saja setelah kukenalkan kalian berdua,” lanjut Davin, “lagipula ini rumahnya, dia selalu tahu bagaimana menyambut tamu dengan baik.”Davin memencet bel beberapa kali dan pintu terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya yang cukup tinggi—kurang lebih sama dengan Tania, mengenakan kaus longgar dan celana panjang. Sekilas ia terl
Sudah lebih dari seminggu lamanya Tania tak menerima panggilan atau pesan apa pun dari Gerald. Mungkinkah Gerald begitu sibuk? Atau ia sangat marah?Catherine tidak ada di rumah hari ini. Ia bekerja sebagai salah satu tutor di sebuah kelas memasak yang tak jauh dari rumah dan mengajar setiap akhir pekan. Ia sudah berpesan pada Davin dan Tania bahwa mereka boleh pergi berjalan-jalan dengan mobilnya dengan catatan tetap membiarkan rumah terkunci, tapi sepasang kekasih itu sepakat bahwa mereka hanya akan bermalas-malasan di rumah seharian dan menghabiskan camilan yang memenuhi lemari.“Kau kelihatan gelisah, apa yang kau cemaskan?” Siang itu Davin menghampiri Tania yang sedang duduk termenung memandangi halaman belakang. “Apa kau bosan berada di sini?”“Tidak.” Tania menggeleng cepat.“Jangan khawatir, tiga hari lagi kita akan kembali ke Paris. Setelah itu kau bisa kembali ke London.”“Tidak, Dan.