Share

2. Kedipan Nakal Sang Paman

"Apa yang kau lakukan? Mencuri?!" Dia melangkah ke arah kompor listrik yang sangat kotor. Mungkin Mrs. Davis terlalu sibuk sampai tak punya waktu untuk berbelanja ataupun membersihkan dapur.

Ini masih terlalu pagi untuk bangun dan melakukan pekerjaan. Namun Amber sudah menyiapkan seluruh keperluannya untuk melamar pekerjaan di beberapa perusahaan berlatarkan pendidikan sekolah menengah atas yang ia miliki. Setelah itu, Amber menuju ke dapur untuk membuat sarapan.

Amber membuka kulkas dengan harapan akan menemukan banyak makanan di sana, tetapi dia hanya menemukan sebungkus roti, beberapa butir telur, dan tiga botol minuman. Amber menatap isi kulkas dengan tatapan nanar. Apa yang bisa dia masak dengan bahan makanan seperti itu?

Amber membersihkan dapur dan menggoreng tiga butir telur. Mrs. Davis muncul dengan ekspresi sinis beberapa saat kemudian. Dia masih mengenakan mantel tidur dan rambutnya agak berantakan.

Amber terkejut. Dia buru-buru mematikan kompor. "Tidak. Hanya membuat sarapan."

"Siapa yang menyuruhmu melakukan itu?"

Amber menghela napas. "Aku hanya membersihkan dapur Anda yang terlihat kotor."

Mrs. Davis berdiri dengan gerakan arogan. "Kalau begitu, bersihkan seluruh ruangan di sini sekalian."

Amber mengerling. "Maaf?"

"Bersihkan juga ruang depan dan ruang keluarga, kamarku, dan kamar kosong lainnya."

Amber menatap tak percaya. "Tapi ..."

"Kau suka bersih-bersih, 'kan? Lagipula, aku harus dapat imbalan untuk memberimu tumpangan di rumah ini," kata Mrs. Davis lalu meninggalkan dapur.

Amber duduk di kursinya dengan gerakan pasrah. Seharusnya dia sudah tau akan diperlakukan seperti ini dan bukannya mengeluh.

Rumah ini memang tidak begitu besar, tapi melihat betapa kotornya dapur tadi, Amber tidak bisa membayangkan sekotor apa ruangan lain. Membersihkan semua itu akan menghabiskan banyak waktu sedangkan dia harus keluar untuk mencari pekerjaan.

"Tidak apa-apa, Amber. Kau pasti bisa melakukannya." Amber bangkit sambil menahan perutnya.

Amber hampir menyelesaikan seluruh pekerjaannya pada pukul 12 siang. Dia menahan rasa sakit di punggungnya karena terlalu sering berdiri. Amber pikir Mrs. Davis sibuk, makanya tega memberinya pekerjaan sebanyak itu. Nyatanya Mrs. Davis hanya duduk-duduk santai sambil menonton televisi sekaligus mencemooh Amber setiap kali gadis itu lewat.

Satu hal yang membuat Amber bersemangat, dia merasakan tendangan bayinya di dalam perutnya. Itu cukup membuat semangat Amber membara di tengah ejekan-ejekan Mrs. Davis. 

Amber beralih ke arah ruang depan. Saat itu, pintu diketuk dari luar. Amber melempar penyedot debunya dan membukakan pintu. Seorang wanita tua bergaun merah berdiri di sana. 

"Sarah, bisakah aku meminjam beberapa telur, aku kehabisan ...." Wanita berbaju merah itu menghentikan ucapannya begitu menyadari siapa yang membukakan pintu. Bibirnya tersenyum ramah saat melihat gadis di hadapannya sedang mengandung. "Hey, aku tidak menyangka Sarah akan segera punya cucu."

Amber tersenyum ramah. Kepalannya menggeleng pelan. 

"Apakah laki-laki atau perempuan?" tanya wanita berbaju merah itu seolah sudah melihat wajah bayi di perut Amber.

"Belum tau."

"Ouh, memangnya sudah berapa bulan?"

Mrs. Davis muncul dari balik pintu. Menggeser tubuh Amber, membuatnya berhadapan secara langsung dengan tamu perempuannya. "Hay Miss Spencer! Ada yang bisa saya bantu?"

"Sarah, kau tidak bilang padaku anakmu sedang mengandung."

"Oh tidak," sahut Mrs. Davis pura-pura tersenyum. "Dia bukan anakku."

"Benarkah? Siapa dia?"

"Dia ... adalah pelayanku," jelas Mrs davis tanpa ada keraguan sedikitpun. Dia senang menganggap Amber sebagai seorang pelayan.

Miss Spencer membelalak terkejut. "Pembantumu? Tapi dia sedang mengandung."

"Ya. Dia mengalami masa yang sangat sulit, makanya aku memberinya pekerjaan. Kau mau minta apa tadi? Telur? Maaf, Miss Spencer, aku pun kehabisan telur."

Miss Spencer menghela napas kecewa. "Baiklah, tidak masalah. Hampir saja lupa, kau bisa datang ke rumahku untuk berdiskusi tentang komunitas kita sore ini. Bagaimana?"

Mrs. Davis mengangguk ragu. "Boleh juga. Aku akan datang."

Miss Spencer meninggalkan halaman rumah keluarga Davis menuju ke rumah di ujung jalan. Mrs. Davis langsung menutup pintu hingga dinding bergetar menandakan dia sedang marah besar. "Seharusnya kau tidak menunjukkan wajahmu!"

"Maaf."

"Aku tidak terima kata maaf, jangan membuatku bersimpati!"

Amber baru saja ingin keluar dari ruang depan dan menuju ke kamar karena seluruh pekerjaannya telah selesai, tetapi Mrs. Davis mencegahnya.  "Selesaikan pekerjaanmu!" perintah Mrs. Davis.

"Aku sudah selesaikan," sahut Amber menahan punggungnya yang kram.

"Bersihkan gudang juga."

"Apa?!" pekik Amber tak menyangka. Dia tau bibinya bukan hanya tak punya hati, tapi berniat untuk menyiksanya. "Mrs. Davis, kau memberiku satu minggu berada di rumah ini. Jika kau tidak memberiku kesempatan untuk mencari pekerjaan, aku tidak akan dapat pekerjaan."

"Jangan menceramahiku. Kau pikir aku bodoh? Lakukan saja apa yang kuperintahkan!" teriak Mrs. Davis. Emosinnya meluap setelah menyadari bahwa dirinya salah.

Amber mau tak mau menuju ke gudang untuk malakukan apa yang disuruh Mrs. Davis. Dia akan punya waktu untuk keluar sore nanti jika Mrs. Davis mengunjungi rumah tetangganya.

Amber menghabiskan dua jam berikutnya dengan menumpuk beberapa kardus berisi barang-barang bekas. Keringat mengalir dari dahinya. Punggungnya seperti akan patah karena dia terlalu lama membungkuk.

Amber duduk di salah satu box berisi tumpukan majalah untuk beristirahat. Tiba-tiba dia merasakan sentuhan di lengan kanannya. Dia terlonjak kaget saat menemukan Mr. Davis sudah berada di sana dengan senyuman misterius di wajahnya.

"Hay!" sapa Mr. Davis dengan suara dalam dan menakutkan.

Amber buru-buru menggeser tubuhnya  untuk menjauhi laki-laki itu. Satu ruangan bersama Mr. Davis adalah bencana besar baginya. Dia ingat laki-laki itu bekerja di sebuah pabrik peternakan di sekitar rumah ini, dia pasti baru pulang beberapa saat yang lalu.

"Apa kau kelelahan?" tanya Mr. Davis. "Aku juga cukup lelah." Mr. Davis berdiri untuk memperlihatkan dadanya yang dipenuhi bulu ke arah Amber. "Kita bisa bersenang-senang untuk membuang rasa lelah itu." Salah satu matanya berkedip nakal.

Amber memegang sapu di tangannya untuk berjaga-jaga. Dia akan melempar sapu itu jika pamannya menyergapnya seperti beberapa saat yang lalu. "Mrs. Davis akan datang ke sini kalau kau macam-macam."

"Ayolah, sayang. Dia sedang keluar."

Amber baru ingat Mrs. Davis mengunjungi rumah tetangganya, karena itulah laki-laki ini berani mendekatinya.

"Tidak perlu khawatir, kita akan selesaikan sebelum dia kembali." Mr. Davis menatap ujung rambut hingga ujung kaki Amber dengan tatapan mesum. Bibirnya basah oleh ludah, siap menyergap Amber. Beruntung gadis itu berhasil menghindar dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin.

Amber masih ketakutan saat sampai di kamarnya. Dia langsung mengambil tas dan seluruh barangnya. Tidak ada alasan untuk bertahan di rumah ini. Dia memilih untuk tidur di jalanan daripada mendapatkan perlakuan seperti ini selama seminggu.

"Mau kemana kau?" tanya Mr. Davis keheranan saat Amber keluar dari kamar bersama barang-barangnya.

"Terima kasih sudah memberiku tumpangan," kata Amber lalu meninggalkan rumah sambil menarik kopernya di atas jalanan. Mr Davis hanya bisa menyaksikan dengan tatapan tak percaya.

Kini Amber berbaur dengan sekian banyak orang di jalanan. Dia tidak tau harus kemana di tengah keadaan sesulit ini. Dia membutuhkan tempat tinggal, tapi dia tidak punya uang yang banyak. 

Air mata Amber sudah mengering sampai dia tidak bisa menangis lagi. Rasa penyesalan muncul dalam hatinya. Mungkin dia membuat kesalahan besar karena meninggalkan rumah keluarga Davis. Seharusnya dia bisa menahan diri setidaknya sampai dia mendapatkan pekerjaan, membiarkan Mr Davis menyentuh tubuhnya, dia sendiri sudah tidak punya harga diri, untuk apa berusaha melindungi harga diri itu?

"Hey!" sapa seorang laki-laki saat Amber duduk termenung di sebuah bangku taman. "Perhatikan barang-barangmu! Ada banyak pencopet di sini!" tegas laki-laki bermata biru langit yang lewat di depan Amber. Ada luka bakar di pipi sebelah kananannya, luka itu mencuri perhatian Amber.

Amber meraih tasnya untuk diletakkan di samping tempat duduknya. "Terima kasih."

Laki-laki itu menghentikan langkah. Memperhatikan Amber dengan tatapan menyelidik. "Kurasa kau membutuhkan bantuan."

Amber menggeleng kecil. "Tidak, terima kasih."

"Kau mau ke bandara atau lainnya? Hari ini hari ulang tahunku yang ke 35, aku akan membantumu tanpa meminta bayaran. Katakan apa yang perlu kubantu."

"Sebenarnya, aku ingin mencari penginapan," sahut Amber berusaha terlihat baik-baik saja.

"Penginapan? Aku punya apartemen yang bisa kau tinggali."

Amber mengerling. Muncul harapan dalam hatinya membuat seluruh tubuhnya bersemangat. "Oh ya? Bisakah aku membayar setelah mendapatkan pekerjaan?"

Laki-laki itu menatap penuh selidik. "Sepertinya kau berada di situasi sulit."

"Ya, sangat sulit."

Untuk pertama kalinya Amber merasakan senyuman di bibirnya. Dia tau kemanapun dia pergi, selalu ada orang baik yang akan membantunya,

"Tinggal lah di sana semaumu, kau bisa bayar kapan saja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status