Share

3. Menjual Anak Sendiri

"Usiamu baru 21 tahun, tapi kau sudah hamil?" Laki-laki yang duduk di meja HRD itu menatap perut Amber dengan raut tak suka.

Ini adalah toko kelima yang Amber datangi untuk melamar pekerjaan. Dia mendapatkan empat penolakan secara berutut-urut hanya dengan satu alasan, bahwa dia sedang hamil besar dan pihak toko tidak ingin mengambil risiko menerima Amber di usia kandungan yang sudah sebesar itu.

Amber datang ke toko yang menjual furniture ini karena dia melihat salah satu karyawan yang sedang hamil. Siapa tau dia akan dapatkan pekerjaan juga. Tapi melihat bagaimana pihak HRD menatapnya, Amber tidak begitu yakin.

Amber mengangguk percaya diri.

"Apa kau sudah menikah?"

"Tidak."

"Apa pacarmu bertanggung jawab dengan anak itu?"

Amber ragu-ragu menjawab. Dia takut jawabannya akan mempengaruhinya mendapatkan pekerjaan. "Tidak sekarang."

Laki-laki botak itu mengelus janggut di dagunya. menatap Amber dengan tatapan menilai. "Bagaimana jika kau melahirkan saat kau sedang melayani pelanggan?"

Amber menggeleng. "Itu tidak akan terjadi. Dokter sudah memberitahuku tanggal prediksi kelahiranku."

"Oke. Jadi, kapan tanggal itu akan datang?"

Amber berusaha mengingat terakhir kali dia menemui dokter bersama ibunya Charles. Dia sadar tanggal itu sudah semakin dekat dan dia belum punya uang untuk persalinan. "Sekitar dua minggu lagi."

"Kenapa kau melamar pekerjaan? Seharusnya kau istirahat di rumahmu dan menunggu saat itu tiba."

Bibir Amber terbungkam. Dia tidak bisa memberi penjelasan lebih banyak tentang kondisi keuangannya yang sangat buruk.

"Maaf, kami tidak menerimamu. Beristirahatlah di rumah, Nona."

"Bisakah aku bekerja seminggu saja? Setelah itu, aku akan mengambil cuti dan bekerja lagi."

"Tidak," sahut laki-laki itu dengan tatapan sedih. "Maaf. Kami tidak bisa."

Amber menghela napas kecewa. Mengambil berkas-berkasnya dan meninggalkan toko itu. 

Amber kecewa pada dirinya sendiri. Dia yakin kemanapun dia pergi, tidak akan ada satu pun perusahaan yang akan menerimanya dalam keadaan seperti ini. Satu-satunya cara adalah menunggu bayinya lahir, tetapi dia sendiri tidak punya banyak uang untuk persalinan. 

Amber merasakan air matanya menetes dan dia benci itu. Dia benci hidupnya sendiri. Dia benci tak ikut mati bersama ayah dan ibunya di kecelakaan tiga tahun yang lalu. Dia benci paman dan bibinya mengambil seluruh warisan yang ayahnya tinggalkan karena dia pikir Charles akan menjadikannya sebagai seorang istri. Tapi pemuda itu dengan tega mengkhianatinya. 

Amber masuk ke dalam apartemen. Laki-laki bernama Donte River yang menawarkan apartemen ini sebagai tempat tinggal sudah menunggunya di depan pintu. 

"Perjalanan yang melelahkan?" tanya Donte menggerakkan luka bakar di pipinya karena tersenyum.

Amber sebisa mungkin memperlihatkan senyuman. "Lumayan."

"Aku tau kau sedang mencari pekerjaan dan tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimamu dalam keadaan hamil seperti itu. Kenapa kau tidak bicara padaku sebelumnya? Aku punya penawaran yang menarik."

Amber mengerling heran. "Penawaran menarik? Apa maksudmu?"

Donte masuk ke dalam ruangan Amber. Duduk di sofa dan menyuruh Amber duduk di kursi lain agar dia bisa menjelaskan tawarannya dengan nyaman. "Aku akan memberimu uang sebanyak apapun yang kau mau."

Amber terperangah. Sepertinya ada yang tidak beres dengan laki-laki ini. Terlihat dari seringaiannya yang tampak berbeda. Namun Amber berusaha untuk terlihat fokus mendengar ucapannya daripada mencurigainya.

"Katakan saja berapapun uang yang kau inginkan, aku akan memberikannya secara langsung. Tapi kau harus serahkan anakmu padaku setelah dia lahir. Tak peduli apakah dia laki-laki ataupun perempuan," jelas Donte membuat Amber membelalak terkejut. Seperti apa yang ia duga, penawaran itu tidaklah gratis dan ternyata anaknya adalah taruhannya.

"Kenapa aku harus memberikan anakku?" tanya Amber dengan cemas.

"Serahkan saja, aku akan merawatnya dan menjadikannya sebagai anakku sendiri."

Amber menggeleng tegas. "Tidak, terima kasih."

"Hey," sela Donte. "Aku akan memberimu waktu dua belas tahun untuk merawatnya. Setelah itu, aku akan mengambilnya. Sebagai gantinya kau akan dapatkan uang banyak hari ini juga. Bagaimana?"

Bagaimana mungkin Amber menjual anaknya sendiri hanya demi uang? Meskipun anaknya tidak akan pernah bertemu dengan sang ayah, Amber akan sanggup menjaga anak itu sendiri. Dia akan mencari uang sebanyak mungkin seperti impiannya di masa kecil untuk menjaga anaknya dan membuat anaknya mendapatkan pendidikan yang layak. Masalahnya, dia tidak punya uang untuk memulai semua itu. 

Amber bingung apakah dia harus melewatkan kesempatan ini, atau menerimanya tapi harus kehilangan anaknya. Namun, anaknya baru akan Donte ambil setelah berumur dua belas tahun. Itu adalah waktu yang lama untuk bisa merawat anaknya.

"A-aku setuju," sahut Amber dengan nada bergetar.

Donte tersenyum puas. "Aku akan bawakan uangmu nanti malam. Bersiaplah untuk membeli mansionmu sendiri." Donte berdiri dari duduknya. Keluar dari ruangan Amber tanpa menghilangkan senyum puasnya.

Amber tidak tau apakah dia mengambil keputusan yang tepat, tapi saat ini yang sedang ia butuhkan hanyalah uang untuk persalinannya.

**

12 Tahun berlalu, barisan wanita dan pria sedang memperhatikan penjelasan Amber di sebuah ruangan meeting. Amber telah menjadi wanita dewasa. Dia berhasil mendirikan sebuah perusahaan fashion.

Brand fashionnya terkenal di mana-mana berkat kerja keras bersama timnya selama hampir tujuh tahun. Meskipun begitu, Amber tidak pernah lupa siapa yang membuatnya punya modal untuk mendirikan perusahaan ini. Meskipun begitu, dia selalu waspada setiap saat untuk menjaga putranya yang kini hampir berusa 12 tahun.

Orang-orang yang sedang mendengarkan penjelasan Amber adalah karyawan Amber. Mereka semua menghormati Amber sebagaimana mestinya. terutama karena sikap Amber yang berwibawa dan tidak ketergantungan. Semua orang tau Amber membesarkan putranya sendiri, tapi mereka tidak tau bahwa Amber pernah gagal menikah dengan pewaris perusahaan yang kini telah bangkrut. 

Tepuk tangan memenuhi ruangan setelah Amber menyelesaikan penjelasannya. Dia duduk di kursinya lagi untuk mendengarkan tanggapan dari para pegawainya.

"Maaf, Miss Jenn!" kata seorang wanita yang sepuluh tahun lebih muda dari Amber. "Bagian komunikasi dalam keadaan kacau. Beberapa karyawan mengaku mereka bekerja terlalu keras."

Amber menatap datar, seperti apa yang sering ia lakukan beberapa tahun terakhir setelah mengalami masa-masa sulit. Dia jadi jarang tersenyum setelah mengalami masa-masa itu. "Bukankah sudah kubilang. Kau sudah dapat solusi itu beberapa saat yang lalu, Mira!"

Mira mengerling ketakutan. "Saya sudah dapatkan solusinya, Miss Jenn. Tapi orang ini agak ... eh, dia tidak begitu bagus menurut saya."

"Kenapa?"

"Sebelumnya dia bekerja di pabrik makanan. Bukankah perusahaan ini hanya menerima karyawan yang profesional?"

Amber mengingat dua belas tahun lalu saat dia berusaha melamar pekerjaan dan mendapatkan alasan yang tidak masuk akal oleh pihak perusahaan. Masa-masa itu adalah masa tersulitnya. Dia membutuhkan uang, tapi mereka sama sekali tidak mengerti keadaan mendesaknya. Amber pikir, laki-laki ini mungkin sedang dalam situasi yang sama. Dia memang sudah jarang tersenyum, tapi dia tetaplah Amber yang punya belas kasihan.

"Biarkan dia menemuiku," kata Amber membuat Mira mengangguk hormat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status