"Usiamu baru 21 tahun, tapi kau sudah hamil?" Laki-laki yang duduk di meja HRD itu menatap perut Amber dengan raut tak suka.
Ini adalah toko kelima yang Amber datangi untuk melamar pekerjaan. Dia mendapatkan empat penolakan secara berutut-urut hanya dengan satu alasan, bahwa dia sedang hamil besar dan pihak toko tidak ingin mengambil risiko menerima Amber di usia kandungan yang sudah sebesar itu.
Amber datang ke toko yang menjual furniture ini karena dia melihat salah satu karyawan yang sedang hamil. Siapa tau dia akan dapatkan pekerjaan juga. Tapi melihat bagaimana pihak HRD menatapnya, Amber tidak begitu yakin.
Amber mengangguk percaya diri.
"Apa kau sudah menikah?"
"Tidak."
"Apa pacarmu bertanggung jawab dengan anak itu?"
Amber ragu-ragu menjawab. Dia takut jawabannya akan mempengaruhinya mendapatkan pekerjaan. "Tidak sekarang."
Laki-laki botak itu mengelus janggut di dagunya. menatap Amber dengan tatapan menilai. "Bagaimana jika kau melahirkan saat kau sedang melayani pelanggan?"
Amber menggeleng. "Itu tidak akan terjadi. Dokter sudah memberitahuku tanggal prediksi kelahiranku."
"Oke. Jadi, kapan tanggal itu akan datang?"
Amber berusaha mengingat terakhir kali dia menemui dokter bersama ibunya Charles. Dia sadar tanggal itu sudah semakin dekat dan dia belum punya uang untuk persalinan. "Sekitar dua minggu lagi."
"Kenapa kau melamar pekerjaan? Seharusnya kau istirahat di rumahmu dan menunggu saat itu tiba."
Bibir Amber terbungkam. Dia tidak bisa memberi penjelasan lebih banyak tentang kondisi keuangannya yang sangat buruk.
"Maaf, kami tidak menerimamu. Beristirahatlah di rumah, Nona."
"Bisakah aku bekerja seminggu saja? Setelah itu, aku akan mengambil cuti dan bekerja lagi."
"Tidak," sahut laki-laki itu dengan tatapan sedih. "Maaf. Kami tidak bisa."
Amber menghela napas kecewa. Mengambil berkas-berkasnya dan meninggalkan toko itu.
Amber kecewa pada dirinya sendiri. Dia yakin kemanapun dia pergi, tidak akan ada satu pun perusahaan yang akan menerimanya dalam keadaan seperti ini. Satu-satunya cara adalah menunggu bayinya lahir, tetapi dia sendiri tidak punya banyak uang untuk persalinan.
Amber merasakan air matanya menetes dan dia benci itu. Dia benci hidupnya sendiri. Dia benci tak ikut mati bersama ayah dan ibunya di kecelakaan tiga tahun yang lalu. Dia benci paman dan bibinya mengambil seluruh warisan yang ayahnya tinggalkan karena dia pikir Charles akan menjadikannya sebagai seorang istri. Tapi pemuda itu dengan tega mengkhianatinya.
Amber masuk ke dalam apartemen. Laki-laki bernama Donte River yang menawarkan apartemen ini sebagai tempat tinggal sudah menunggunya di depan pintu.
"Perjalanan yang melelahkan?" tanya Donte menggerakkan luka bakar di pipinya karena tersenyum.
Amber sebisa mungkin memperlihatkan senyuman. "Lumayan."
"Aku tau kau sedang mencari pekerjaan dan tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimamu dalam keadaan hamil seperti itu. Kenapa kau tidak bicara padaku sebelumnya? Aku punya penawaran yang menarik."
Amber mengerling heran. "Penawaran menarik? Apa maksudmu?"
Donte masuk ke dalam ruangan Amber. Duduk di sofa dan menyuruh Amber duduk di kursi lain agar dia bisa menjelaskan tawarannya dengan nyaman. "Aku akan memberimu uang sebanyak apapun yang kau mau."
Amber terperangah. Sepertinya ada yang tidak beres dengan laki-laki ini. Terlihat dari seringaiannya yang tampak berbeda. Namun Amber berusaha untuk terlihat fokus mendengar ucapannya daripada mencurigainya.
"Katakan saja berapapun uang yang kau inginkan, aku akan memberikannya secara langsung. Tapi kau harus serahkan anakmu padaku setelah dia lahir. Tak peduli apakah dia laki-laki ataupun perempuan," jelas Donte membuat Amber membelalak terkejut. Seperti apa yang ia duga, penawaran itu tidaklah gratis dan ternyata anaknya adalah taruhannya.
"Kenapa aku harus memberikan anakku?" tanya Amber dengan cemas.
"Serahkan saja, aku akan merawatnya dan menjadikannya sebagai anakku sendiri."
Amber menggeleng tegas. "Tidak, terima kasih."
"Hey," sela Donte. "Aku akan memberimu waktu dua belas tahun untuk merawatnya. Setelah itu, aku akan mengambilnya. Sebagai gantinya kau akan dapatkan uang banyak hari ini juga. Bagaimana?"
Bagaimana mungkin Amber menjual anaknya sendiri hanya demi uang? Meskipun anaknya tidak akan pernah bertemu dengan sang ayah, Amber akan sanggup menjaga anak itu sendiri. Dia akan mencari uang sebanyak mungkin seperti impiannya di masa kecil untuk menjaga anaknya dan membuat anaknya mendapatkan pendidikan yang layak. Masalahnya, dia tidak punya uang untuk memulai semua itu.
Amber bingung apakah dia harus melewatkan kesempatan ini, atau menerimanya tapi harus kehilangan anaknya. Namun, anaknya baru akan Donte ambil setelah berumur dua belas tahun. Itu adalah waktu yang lama untuk bisa merawat anaknya.
"A-aku setuju," sahut Amber dengan nada bergetar.
Donte tersenyum puas. "Aku akan bawakan uangmu nanti malam. Bersiaplah untuk membeli mansionmu sendiri." Donte berdiri dari duduknya. Keluar dari ruangan Amber tanpa menghilangkan senyum puasnya.
Amber tidak tau apakah dia mengambil keputusan yang tepat, tapi saat ini yang sedang ia butuhkan hanyalah uang untuk persalinannya.
**
12 Tahun berlalu, barisan wanita dan pria sedang memperhatikan penjelasan Amber di sebuah ruangan meeting. Amber telah menjadi wanita dewasa. Dia berhasil mendirikan sebuah perusahaan fashion.
Brand fashionnya terkenal di mana-mana berkat kerja keras bersama timnya selama hampir tujuh tahun. Meskipun begitu, Amber tidak pernah lupa siapa yang membuatnya punya modal untuk mendirikan perusahaan ini. Meskipun begitu, dia selalu waspada setiap saat untuk menjaga putranya yang kini hampir berusa 12 tahun.
Orang-orang yang sedang mendengarkan penjelasan Amber adalah karyawan Amber. Mereka semua menghormati Amber sebagaimana mestinya. terutama karena sikap Amber yang berwibawa dan tidak ketergantungan. Semua orang tau Amber membesarkan putranya sendiri, tapi mereka tidak tau bahwa Amber pernah gagal menikah dengan pewaris perusahaan yang kini telah bangkrut.
Tepuk tangan memenuhi ruangan setelah Amber menyelesaikan penjelasannya. Dia duduk di kursinya lagi untuk mendengarkan tanggapan dari para pegawainya.
"Maaf, Miss Jenn!" kata seorang wanita yang sepuluh tahun lebih muda dari Amber. "Bagian komunikasi dalam keadaan kacau. Beberapa karyawan mengaku mereka bekerja terlalu keras."
Amber menatap datar, seperti apa yang sering ia lakukan beberapa tahun terakhir setelah mengalami masa-masa sulit. Dia jadi jarang tersenyum setelah mengalami masa-masa itu. "Bukankah sudah kubilang. Kau sudah dapat solusi itu beberapa saat yang lalu, Mira!"
Mira mengerling ketakutan. "Saya sudah dapatkan solusinya, Miss Jenn. Tapi orang ini agak ... eh, dia tidak begitu bagus menurut saya."
"Kenapa?"
"Sebelumnya dia bekerja di pabrik makanan. Bukankah perusahaan ini hanya menerima karyawan yang profesional?"
Amber mengingat dua belas tahun lalu saat dia berusaha melamar pekerjaan dan mendapatkan alasan yang tidak masuk akal oleh pihak perusahaan. Masa-masa itu adalah masa tersulitnya. Dia membutuhkan uang, tapi mereka sama sekali tidak mengerti keadaan mendesaknya. Amber pikir, laki-laki ini mungkin sedang dalam situasi yang sama. Dia memang sudah jarang tersenyum, tapi dia tetaplah Amber yang punya belas kasihan.
"Biarkan dia menemuiku," kata Amber membuat Mira mengangguk hormat.
"Hallo, Miss!" sapa laki-laki dengan suara bariton dalam.Bibirnya tersenyum hingga memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Dia dudukdi hadapan Amber tanpa dipersilahkan.Pintu ruang kerja Amber diketuk perlahan. Amber yang sedangmemperhatikan layar komputernya, mengalihkan pandangan ke arah seoranglaki-laki dari balik pintu kaca. "Masuk!" kata Amber sambilmenganggukkan kepala.Amber sangat terkejut saat menyadari laki-laki jangkung di hadapannyaini bukanlah seorang remaja seperti yang ia pikirkan, laki-laki itu sudahdewasa dan hampir seumuran dengan Amber.Amber ragu-ragu mengambil keputusannya dengan memberikan pekerjaankepada laki-laki ini."Saya senang bisa bertemu secara langsung dengan anda, Miss AmberJenn."Amber hanya menatap datar."Ini beberapa berkas yang sudah saya siapkan. Saya sangatberpengalaman dalam bidang komunikasi. Saya pernah mengisi acara di radionasional, meskipun cuma seminggu. Saya juga membuat channel youtube sayasendiri tentang jurnal hidup saya
"Silahkan masuk, Nyonya Amber!" Nancy membukakan pintu.Memberi jalan untuk Amber agar bisa masuk ke dalam ruangannya.Amber keluar mobil dan berjalan di koridor sekolah dengan langkah tegap.Pandangannya lurus ke depan meskipun banyak sekali murid yang menatap penasaranke arahnya.Begitu sampai di depan ruangan Miss Nancy, orang yang memanggil Amberkemarin, dia mengetuk pintu dengan anggun.Ruangan yang elegan, pikir Amber setelah mendudukkan diri di sebuahkursi tempat Nancy mempersilahkannya."Tunggu sebentar, Nyonya. Putra Anda sedang dipanggil darikelasnya.""Baik, terima kasih." Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Amber mengira itu adalahputranya, tetapi sosok yang muncul dari balik pintu adalah laki-laki jangkungyang Amber lihat di ruangan kerjanya kemarin.Amber nyaris tak berkedip karena keheranan."Siang, Miss!" Adam mengangguk ke arah Nancy. "Dan ...kita berjumpa lagi, Miss Amber!"Amber buru-buru mengalihkan pandangan dan menatap lurus untuk memperlihatkank
Laki-laki berambut kecoklatan itu duduk berhadapan dengan Amber. Matanya berkedip aneh. Salah satu tangannya berada di atas meja, nyaris menempel dengan tangan Amber padahal semua orang tau perlakuan seperti itu sama sekali tidak sopan. Amber tidak memperhatikan apapun kecuali mendengarkan lawan bicaranya di telepon. Saat itu pintu terbuka dari luar. Wanita berusia 26 tahun masuk dengan ekspresi marah. "Amber, aku muak dengan laki-laki itu." Amber menoleh dengan ekspresi kesal. "Aku sedang menjawab telefon, Kaylin Hayes!" "Ya, tapi kau harus dengarkan aku. Laki-laki bernama Adam itu berani mengancamku untuk bisa masuk ke sini. Dia datang untuk ketiga kalinya sejak pagi. Kedatangannya sungguh meresahkan." Kaylin baru sadar ada laki-laki duduk berhadapan dengan Amber sedang menatap datar ke arahnya. "James, apa yang kau lakukan di sini?" "Cuma melaporkan masalah," sahut lelaki berambut coklat itu dengan ekspresi salah tingkah. "Kau sudah selesai? Kalau begitu, silahkan keluar!" Kay
"Hey, penakut!" ejek Ovi ke arah Daniel yang sedang memakan sandwich di kantin sendirian. "Dasar penakut!" Ovi menjulurkan lidahnya. "Daniel tidak berani bicara di depan ibunya," jelas Ovi kepada teman-temannya."Mungkin karena dia tidak bisa bicara," sahut salah satu dari mereka lalu tertawa terbahak.Ovi mengajak teman-temannya mendekat ke meja Daniel. "Dasar penakut!"Daniel menggebrak meja. Gejolak emosi membakar dadanya. Matanya menatap marah ke wajah Ovi. Alih-alih takut, Ovi dan teman-temannya terbahak hingga menjadi satu-satunya suara terkeras di kantin."Kau pasti mau menangis, 'kan? Menangis saja sekarang. Aku mau menonton!" Ovi tertawa lagi.Daniel menarik kotak bekalnya dari atas meja dan berjalan keluar kantin diiringi suara tawa Ovi dan teman-temannya.Dia terus berjalan ketika seisi kantin menatap penasaran ke arahnya."Aduh!" Daniel sadar dia tidak memperhatikan jalan hingga tak sengaja menabrak seseorang di koridor. Makanannya berhamburan di lantai. Daniel menoleh ke
Adam sangat antuasias di hari pertamanya bekerja di perusahaan Amber J. Dia menyiapkan sarapan sambil berdendang riang bersama Ovi yang kini sedang menikmati roti bakar dan selai dari atas meja."When ... you want me!" dendang mereka sama-sama. Ovi tertawa-tawa karena sang ayah membuat nada seperti kakek-kakek tersedak."Papa, stop!" kata Ovi saat Adam ingin melanjutkan lirik lagunya. "Kau membuatku tertawa sampai sakit perut.""Oh ya?" Adam duduk di kursinya dan menggelitik perut Ovi sampai tawa gadis itu tak bersuara.Kring ...Keduanya menatap ke arah pintu utama saat seseorang membunyikan bel di depan rumah."Oh tidak, kau hampir telat!" pekik Adam, langsung menyiapkan tas Ovi yang sudah tergeletak di ujung ruangan. "Jangan sampai papa dipanggil ke sekolah lagi, oke? Jangan buat ulah!""Ya," sahut Ovi sambil mengedikkan bahunya. Dia merebut tasnya di tangan Adam. "Semoga hari pertamamu di sana menyenangkan.""Semoga."Itulah yang Adam bayangkan. Berangkat ke kantor dan memperken
Adam mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Tanpa mengunci mobilnya, dia langsung berlarian menuju ke ruangan Ovi. Kebetulan saat itu dokter sedang keluar dari sana."Dokter!" seru Adam dengan dasi longgar dan rambut berantakan. "Saya ... saya ayahnya. Apakah Ovi baik-baik saja?""Dia mengalami cidera cukup dalam di kepala yang hampir melukai otaknya.""Oh tidak." Adam menelan saliva sebisanya."Jangan khawatir!" Dokter menepuk bahu Adam yang masih berguncang. "Putri Anda sangat kuat. Dia sedang dalam masa kritis saat ini, tapi sebentar lagi dia akan membaik."Adam langsung menghambur ke dalam ruangan. Lampu temaram di tengah ruangan memperlihatkan putrinya terbujur lemas di atas brangkar berwarna hijau. Hidungnya terpasang nasal kanul, sedangkan kepalanya terbalut perban."Ovi ...." Adam merasakan tubuhnya tertusuk ribuan pisau tepat di dadanya, dan itu tidak seberapa daripada rasa sakit yang sedang dia alami ketika melihat putrinya yang ceria dalam keadaan seperti ini."Dia cum
Hari berikutnya, Amber mendengar kabar bahwa Adam tidak berangkat ke kantor padahal hari ini adalah hari keduanya bekerja. Amber semakin dibuat marah. Memang bukan tugasnya mengurus karyawan, tetapi dia yang membuat kesepakatan untuk memberi waktu percobaan selama seminggu dan lelaki itu sama sekali tidak menganggap perintahnya serius.Keesokan harinya masih sama, Adam masih tak berangkat. Itu membuat keputusan Amber semakin bulat, dia akan memecat Adam sebelum menerimanya. Entah kenapa mengambil keputusan itu membuat Amber marah pada dirinya sendiri. Dia pernah terlena dengan cara Adam bicara, jujur saja, tetapi dia tidak ingin mengakuinya.Lagipula, Adam adalah tipe laki-laki yang suka main-main, buktinya dia tidak mengindahkan perintah Amber. Bahkan satu-satunya pekerjaan yang Amber berikan pun sama sekali tidak dikerjakan.Telepon berdering membuat lamunan Amber buyar. Dia menarik gagang telefon dan menjawab panggilan yang ternyata berasal dari resepsionisnya di luar."Ya, Kayli
Adam mengemas seluruh barang miliknya di sudut-sudut meja ruangan Ovi. Ovi sudah diperbolehkan pulang. Infus dan alat-alat medis di tubuhnya sudah dilepaskan. Dia sudah bisa bergerak bebas, bahkan meloncat-loncat gaya balet seperti kebiasaan anehnya di rumah."Papa, apa setelah ini kau akan mengajakku ke AJ lagi?" tanya Ovi setelah dia kelelahan menjijitkan kedua kakinya dan melayang sampai nyaris menjatuhkan gelas dari meja."Ke AJ, untuk apa?""Untuk ikut kau bekerja."Adam menghentikan tangannya yang sedang memasukkan makanan sisa ke tempat sampah. "Sebenarnya sayang ... papa sangat sibuk hari ini. Papa akan menitipkanmu ke Bibi Anderson, lalu papa akan pergi. Setuju?""Tidak. Rumah Bibi Anderson bau makanan busuk. Aku tidak mau ke sana. Lebih baik aku menunggu di rumah daripada berada di rumah itu."Adam menghela napas. "Baiklah. Papa tidak akan protes.""Hay!" sapa suara bernada tinggi tetapi pelan. Daniel muncul dari balik pintu. Masih mengenakan seragam sekolah.Ovi langsung me