Share

Chapter 6 : 1389? atau 2025?

   "Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah Sultan Dastan Kazeem?"

   Cansu tersentak kaget. Wanita itu sontak membeku di tempatnya berdiri. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Dastan. Hal ini, semakin membuat pria itu penasaran. Ia kemudian berjalan mendekati Cansu.

   "Katakan, nona. Mengapa hal itu terdengar mustahil bagimu? Jelaskan padaku."ucap Dastan seraya menatap Cansu tajam.

   Cansu menatap Dastan dengan matanya yang membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut sehingga lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ekspresi wanita itu saat ini, terlihat seperti seseorang yang tengah melihat hantu.

   "Kau bungkam? Apa artinya itu? Kenapa kau diam setelah aku menanyakan hal ini padamu?"tanya Dastan sekali lagi.

   "Seharusnya kau sudah mati. Seharusnya kau sudah mati, atau aku yang seharusnya tidak berada di sini?"ucap Cansu yang membuat Dastan kebingungan. Pria itu tidak mengerti apa yang dimaksut wanita itu lewat ucapannya.

   "Apa maksudmu? Seharusnya aku sudah mati? Ah, aku mengerti. Apa yang kau maksut adalah, seharusnya kau sudah membunuhku? Kau membunuh orang lain yang kau pikir diriku? Lalu kau berpikir bahwa aku sudah mati dan terkejut ketika menyadari bahwa aku masih bernapas dam berdiri di hadapanmu, begitu?" Dastan menyudutkan Cansu dengan pertanyaan-pertanyaannya. 

   Cansu melangkah mundur di saat Dastan mendekatinya hingga wanita itu tersudut di dinding. Cansu meringis karena punggungnya sedikit terbentur oleh permukaan dinding yang dingin. Namun, Dastan tidak memperdulikan hal itu. Ia masih tetap saja menghujami Cansu dengan pertanyaan-pertanyaannya.

   Cansu menggelengkan kepalanya. Wanita itu mencoba menghindari tatapan dari Dastan. Ia tidak bisa menjawab apapun yang dijukan oleh pria di hadapannya itu. Karena sama seperti Dastan, ia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

   "Kenapa kau tidak menjawabku? Ada apa denganmu, Nona? Mengapa kau bungkam? Jawab aku!"desak Dastan.

   "Aku tidak tahu!! Kau seharusnya sudah meninggal pada tahun 1421. Tepatnya di usiamu yang ke 59. Kau wafat karena penyakit yang kau derita. Setelah itu dinastimu berakhir. Kau tidak mempunyai keturunan yang meneruskan dinastimu. Semuanya usai begitu saja dan menjadi legenda."jelas Cansu diiringi isak tangis. 

   Dastan mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?"

   "Sekarang adalah tahun 2025. Itulah kebenarannya."ucap Cansu lirih.

   Dastan menjauhkan tubuhnya dari Cansu. Pria itu kemudian tertawa hambar dengan keras. Apa yang dilakukannya itu membuat Dastan terlihat aneh di mata Cansu.

   "Kau pikir aku ini bodoh, Nona? Sehingga kau bisa membodohiku dengan bualan-bualanmu itu?"tanya Dastan.

   Cansu menggelengkan kepalanya. Perempuan itu masih terisak. "Aku sudah memberitahumu apa yang aku tahu. Kau memintaku untuk menjelaskan semuanya, dan aku sudah menjelaskan semuanya. Lalu, kenapa sekarang kau menekanku seperti ini?"

   "Itu karena semua yang kau katakan itu tidak masuk akal. Satu-satunya omonganmu yang dapat aku percaya adalah tentang Gandhi. Ah tidak, kalung itulah yang membuatku sedikit mempercayaimu. Sejak awal bicaramu sudah tidak jelas sama dengan asal-usulmu. Kau selalu saja membicarakan hal mustahil. Bagaimana bisa aku mempercayaimu hanya karena semua yang telah kau jelaskan padaku!"ucap Dastan dengan nada tinggi. Pria itu sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya.

   Kerasnya suara Dastan bahkan membuat kedua pelayan yang tengah mempersiapkan air mandi Cansu keluar dari kamar mandi untuk melihat apa yang tengah terjadi. Mereka sedikit menatap iba pada Cansu yang tengah menangis akibat ulah Dastan.

   "Lihat ini! Lihat pakaian yang kau kenakan ini! Aku bahkan tidak pernah melihat bentuk pakaian seperti ini di dalam mimpiku sekalipun. Segala hal tentangmu benar-benar aneh, Cansu. Segala hal tentangmu benar-benar di luar logika. Siapa kau sebenarnya?"tanya Dastan frustasi.

   Cansu lagi-lagi terdiam. Wanita itu membisu. Hanya isak tangis yang terdengar keluar dari mulutnya. Ia terlihat sangat lelah. Tampilannya benar-benar kacau. Raut wajahnya tampak seperti orang linglung. 

    Melihat penampilan Cansu yang seperti itu, membuat hati Dastan melunak. Perlahan, amarah pria itu mulai mereda. Walaupun ia masih sedikit kesal dengan ketidak jelasan Cansu. 

   Dastan mengusap wajahnya kasar. Pria itu kemudian menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan amarahnya. Ia lalu memanggil kepala pelayan yang berdiri kaku di pojok ruangan.

   "Bantu dia untuk membersihkan dirinya. Bawakan ia makanan. Aku ingin tampilannya terlihat lebih baik dari sekarang."ucap Dastan lalu berniat pergi. Namun, langkah pria itu terhenti di ambang pintu. Ia kemudian berbalik mendekati Cansu yang tengah meringkuk di atas lantai.

   "Di mana kalung yang diberikan Gandhi kepadamu? Aku ingin membawanya untuk dijadikan barang bukti."ujar Dastan.

   Cansu menggelengkan kepalanya. Ia memegang erat kalung pemberian Gandhi yang ada di dalam saku bajunya. "Ini adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki tentang Gandhi. Aku tidak ingin kehilangan sesuatu pun yang terkait dengan keberadaanku di sini. Segera, setelah Gandhi ditemukan aku ingin dia membawaku pulang."

   Dastan menatap wanita itu lama. Pria itu kemudian menghela napasnya seraya berjongkok di hadapan Cansu. "Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku tidak ingin memaksamu. Namun, kau harus ingat, Nona. Kalung itu adalah satu-satunya alasan mengapa kau masih berada di sini sekarang. Jika kalung itu hilang, tentu kau tidak akan suka akibatnya."

   Cansu hanya diam sembari menatap permukaan lantai yang dingin. Wanita itu bahkan tidak bergeming meskipun Dastan sudah pergi meninggalkan kamarnya. Ia baru bergerak saat ketiga pelayan tadi membantunya berdiri dan membawa Cansu untuk membersihkan dirinya.

***

   "Aku tidak tahu!! Kau seharusnya sudah meninggal pada tahun 1421. Tepatnya di usiamu yang ke 59. Kau wafat karena penyakit yang kau derita. Setelah itu dinastimu berakhir. Kau tidak mempunyai keturunan yang meneruskan dinastimu. Semuanya usai begitu saja dan menjadi legenda."

   Ucapan Cansu terus saja terngiang di telinga Dastan. Membuat pria itu tak bisa berhenti memikirkan perempuan asing yang baru ia kenal itu. 

   Setelah dari kamar Cansu, Dastan memilih untuk mengunjungi sebuah danau yang terletak di belakang kastil. Ia berdiri diam menatap luasnya hamparan danau di hadapannya serta beberapa ekor angsa putih yang tengah asyik berenang di tengah danau tersebut.

   "Sekarang adalah tahun 2025. Itulah kebenarannya."

   Kata-kata Cansu terdengar kembali di telinganya. Mengingat wanita itu berkata hal tersebut, membuat Dastan tertawa hambar. 

   "Bagaimana bisa dia mengatakan hal bodoh seperti itu? Dia wanita teraneh yang pernah kutemui dalam hidupku. Tingkahnya membuatku ingin mempercayainya namun juga tak ingin mempercayainya. Siapa sebenarnya dirimu, Nona  Cansu?"tanya Dastan sembari menatap nanar pada hamparan danau di depannya.

   "Panjang umur, Sultan."

   Suara seorang pria mengalihkan perhatian Dastan. Ia kemudian menoleh dan mendapati seorang prajurit yang tengah membungkuk di hadapannya.

   "Ya?"

   Pria itu mengeluarkan sebuah gulungan bewarna merah dari dalam sakunya. "Permaisuri mengirimkan surat ini untuk disampaikan kepada Yang Mulia."

    Dastan melirik gulungan yang ditunjukkan oleh prajurit itu. Pria itu kemudian kembali membalikkan badannya menatap hamparan danau yang sejak tadi menarik perhatiannya.

   "Letakkan saja di meja kerjaku. Aku akan membacanya nanti."

   

   

   

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status