Entah berapa lama Vino kecil terduduk di depan sebuah rumah, yang sebelumnya adalah tempat tinggalnya itu. Di tepi jalan beraspal, yang semakin lama tak ada seorang pun yang melewatinya.
Karena, selain hari telah larut malam, orang-orang tak mau melewati jalan yang baru saja terjadi keributan dari rumah Dewi tersebut.
Siapa orang yang tak mengenal tentang kejahatan dan kebengisan wanita yang berwajah cantik itu. Beberapa orang memang bersikap baik kepadanya, karena memerlukan bantuan dari Dewi.
Namun, lebih banyak pula orang yang sangat membenci dan takut kepada perempuan rentenir penghisap darah itu. Dengan memiliki anak buah yang berjumlah delapan orang lelaki bertubuh besar dan berwajah sangar, Dewi tak segan-segan untuk merampas semua harta milik orang yang telah berhutang kepadanya.
Suami Dewi bukannya tak tahu pekerjaan si istri. Tetapi, karena rasa sayang yang berlebihlah, yang membuat ayah Vino tak bisa melarang semua kemauan istrinya.
Beberapa saat kemudian, datang dua orang, yaitu lelaki dan perempuan yang dengan tergesa-gesa mengangkat tubuh ayah Vino. Bocah itu yang tadinya masih tertunduk sambil beberapa kali mengusap air bening di pipi, langsung merasa terkejut juga senang.
Akhirnya, ada juga orang yang bersedia menolong ayahnya di tengah rasa keputus asa-annya, karena lelah meminta tolong kepada setiap orang yang melaluinya.
Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, Vino menatap sesaat rumah besar dan mewah yang kini dihuni oleh ibu beserta beberapa anak buahnya.
Gelak tawa terdengar sangat keras dari rumah itu, aroma minuman beralkohol juga tercium. Sepasang mata Vino masih bisa melihat sosok ibunya yang berdiri di ambang jendela.
Ingin sekali Vino memanggilnya, untuk sekedar berpamitan. Tapi, hatinya masih merasa sedih dan sakit atas perlakuan ibunya terhadap ayah dan dirinya tadi.
"Ayo, Nak ... kita harus segera pergi dari sini," ucap si wanita penolong sambil menggandeng tangan kanan Vino.
Sedangkan si lelaki penolong tadi sudah nampak berjalan sambil membopong tubuh ayah Vino. Maka, bocah lelaki itu hanya bisa mengannguk, lalu mengikuti langkah si wanita penolong.
Hanya dengan berjalan kaki, seorang wanita yang menggandeng bocah lelaki, dan seorang lelaki yang memanggul sesosok tubuh, membelah pekatnya malam yang bertambah sunyi.
Tak ada yang bersuara satu orang pun diantara mereka. Malah, sesekali si wanita menggendong Vino yang nampak kelelahan berjalan. Beberapa jarak kemudian, Vino minta diturunkan dari gendongan, karena dia tahu, pasti wanita yang menggendongnya juga kecapekan.
Meskipun tubuh Vino kurus, tetapi dia adalah bocah lelaki. Jadi, dia pun merasa malu bila digendong terus, apalagi Vino belum mengenal lebih jauh si penolongnya itu.
Tibalah mereka di tepi sebuah hutan, setelah hampir dua jam lamanya berjalan. Vino terlihat agak takut, ketika melihat pepohonan yang tinggi dan lebat daunnya di sekitar jalan setapak yang tengah dia lalui itu.
Suara suara menyeramkan pun terdengar oleh Vino. Bunyi burung-burung malam yang terus mengeluarkan suara aneh, serta daun-daun yang bergesek karena tertiup angin, menimbulkan suara yang tak kalah menyeramkan bagi Vino.
"Bi, aku takut," lirih Vino akhirnya, karena tak bisa menahan rasa takut di dalam hatinya.
"Gak ada apa-apa, kok, Nak. Tutuplah matamu, kalau kamu takut. Pegang erat tangan Bibi, ya."
Bocah itu menurut dengan yang diperintahkan si wanita penolong itu. Dipejamkan kedua matanya, lalu mempererat genggaman tangannya, agar tak sampai terlepas dari tangan wanita itu.
"Nah, kita sudah sampai di rumah Bibi. Ayo masuk, Nak," ajak wanita yang berusia sekitar dua puluh tahun itu.
Vino membuka matanya, dihadapannya kini nampak sebuah rumah yang hanya pantas disebut sebuah gubuk. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang telah mulai lapuk. Atap rumah tersebut hanya terbuat dari daun nipah kering.
Sambil mengedarkan pandangan,Vino memasuki gubuk itu. Nampak si lelaki penolong membaringkan ayah Vino di balai-balai yang telah usang.
Tak ada perabotan mewah satupun di dalam rumah itu. Tidak seperti di rumah Vino, yang semua peralatan elektronik, hingga peralatan dapur, semuanya serba keluaran terbaru.
"Bi, itu apa?" tanya Vino, saat melihat sebuah benda berbentuk bulat di atas meja bundar yang besar.
Benda itu hanya sebesar bola tenis, tetapi disekitarnya banyak berbagai macam bunga aneka warna. Apalagi, benda yang berwarna hitam itu dikelilingi oleh sinar terang berwarna warni juga.
"Oh ... nanti Bibi beritahu tentang benda itu. Sekarang, kamu bersihkan badanmu dulu, lalu kita makan bersama ya, Nak," jelas wanita berambut panjang itu, sambil berjalan menuju ke ruangan belakang.
Vino pun bergegas mengikuti wanita itu ke ruangan belakang. Sementara itu, si lelaki penolong sedang merawat tubuh ayah Vino dengan seksama.
Setiap luka yang berada di tubuh ayah Vino, dibersihkan, lalu diberi taburan bubuk berwarna kuning. Kemudian, mengganti pakaian yang sudah robek di beberapa bagian akibat ditarik paksa oleh anak buah Dewi.
"Ayah ...!" teriak Vino yang melihat si ayah telah mulai siuman, setelah dia tadi selesai membersihkan diri di bilik mandi.
Meskipun sang ayah hanya mengeluarkan suara rintihan dari bibirnya, tapi Vino terlihat senang. Karena, hal yang ditakutkannya tidak terjadi.
Vino kecil sangat takut membayangkan, bila ayahnya itu tak bisa diselamatkan lagi.
***
Nada dering yang berbunyi dari telpon genggam, mengejutkan Vino yang sedangbteringat masa kecilnya dulu."Hallo! Ada apa, Tom?" tanya Vino kepada si penelpon.Setelah mendengar jawaban dari seberang telpon, Vino bergegas keluar dari kamar. Tanpa disadarinya, sekuntum bunga melati masih dalam genggamannya.Namun, ketika melewati sebuah taman yang berada di samping kamar, barulah dia tersadar, dan buru-buru dibuangnya sekuntum bunga melati itu dengan melempar sembarangan."Berapa banyak anak buah kita yang jadi korban?" tanya Vino setelah berhadapan dengan seorang lelaki berkulit putih dan bermata sipit."Ada lima orang saja, Bos. Yang lainnya bisa kabur dari kejaran polisi," jawab lelaki yang bernama Tom."Dasar Rudi penghianat. Untungnya, aku segera mengetahuinya. Kurang apa dia itu selama menjadi tangan kananku? Uang, harta dan wanita tak pernah kekurangan. Kok, bisa-bisanya mau menjadi mata-mata polisi," gerutu Vino dengan wa
Vino beserta anak buahnya kembali melanjutkan minum minuman yang telah tersedia, hingga beberapa botol telah nampak kosong.Sedangkan si perempuan tadi kembali ke mejanya lagi, dan telah mengobrol dengan seorang lelaki setengah baya. Nampaknya, mereka sangat gembira malam ini. Terlihat si perempuan lebih banyak tertawa, sambil sesekali bergelayut manja di lengan lelaki yang lebih cocok sebagai ayahnya.Tak sampai satu jam kemudian, perempuan yang tadi diminati oleh Vino keluar dari ruangan dengan dipeluk pinggangnya oleh si lelaki tua.Namun, Vino dan anak buahnya masih melanjutkan aktifitasnya, sambil sesekali bergoyang mengikuti irama music yang disajikan oleh DJ.Setelah mendapat bisikan dari Bram, Vino bergegas meninggalkan ruangan, tanpa diikuti oleh satu orang pun dari anak buahnya.Dikemudikannya kendaraan roda empat itu secara perlahan, sambil sesekali mengisap sebatang rokok yang terselip di jari-jarinya.Di sebuah tempat yang agak
Di depan sebuah bangunan yang tak cukup besar, Vino menghentikan mobilnya. Hanya dengan remote kontrol, pintu gerbang yang nampak kokoh itu langsung terbuka.Setelah memasukkan mobil di garasi, perempuan yang masih pingsan itu dibopong memasuki sebuah lorong yang menuju ke sebuah ruangan.Tak ada satu orang pun yang nampak di tempat itu selain Vino dan si perempuan yang tergolek tak berdaya di atas sebuah ranjang terbuat dari besi kokoh.Sementara itu, Vino yang bertubuh jangkung dan kekar membuka sebuah lemari yang terbuat dari besi juga. Diambilnya beberapa peralatan, yaitu benda-benda yang biasa digunakan untuk alat-alat pertukangan.Gergaji, martil, dan obeng serta yang lainnya diatur sedemikian rupa di atas sebuah meja yang cukup besar. Bahkan, golok dan gunting besar juga terdapat di paling atas barang-barang yang sudah tersusun rapi.Setelah semua peralatan yang dikehendaki berada di atas meja sebelah ranjang besi, Vino duduk di sebuah kursi
Sumpah Terkutuk bab 9Perempuan bermata bulat itu hanya bisa menganga. Sekujur tubuhnya gemetaran, melihat kapak yang tertancap tepat di samping kepala kanannya."Bos ... tolong, ampuni aku. Aku gak mau mati," rengek si perempuan.Perlahan Vino mendekati, lalu menatap tepat di wajah si petempuan."Buka semua pakaianmu," bisik Vino.Si perempuan yang juga melihat sepasang mata Vino, seperti terhipnotis. Tanpa bicara lagi, dia melucuti semua kain yang menempel di tubuhnya.Tangan kanan Vino mulai menggerayangi tubuh yang telah polos itu. Bibirnya pun menutup mulut si perempuan yang tak berontak sedikitpun.Dibimbingnya tubuh sintal itu menuju ke ranjang besi, yang hanya beralaskan spon tanpa kain penutup. Napas yang menderu terdengar dari sepasang manusia yang tengah bergulat untuk mereguk nikmat sesaat.Rupanya, si perempuan juga mengimbangi dengan apa yang dilakukan oleh Vino. Bahkan, perempuan yang sebelumnya merasakan ketakutan
Sumpah Terkutuk bab 10Bibir Vino tersunging, saat menyaksikan seorang perempuan yang tak henti-hentinya tertawa senang atas apa yang akan diperolehnya setelah ia bisa keluara dari kurungan itu."Dasar, perempuan semua sama saja! Tidak peduli dengan keselamatan nyawa dan harga dirinya, bila sudah melihat harta yang melimpah di depan matanya," gumam Vino kesal.Dia lalu teringat dengan ibu kandungnya sendiri. Ketika mendapatkan uang yang banyak dari hasil merampas hak orang lain, ibunya bisa tertawa lepas dan berwajah gembira.Lain halnya bila sang ayah yang hanya bisa memberikan uang gajinya yang tak seberapa jumlahnya. Si ibu pasti langsung murka, dan tak segan-segan memaki lelaki yang telah hidup bersamanya itu."Kalau aku gak usaha sendiri, bisa-bisa aku mati kelaparan dengan uang yang kamu berikan ini!""Tapi, itu adalah hasilku yang halal, Dik," jawab ayah Vino dengan wajah lesu."Halaah! Mau halal atau haram, yang penting
Raut wajah Vino nampak geram, lalu dia menghampiri ranjang tempat tidurnya. Dipungutnya dua kuntum bunga kecil berwarna putih. Barulah dia menyadari, kalau di ruangan itu tercium bau bunga melati.Wanita setengah baya yang diteriaki oleh Vino, datang tergopoh-gopoh."Ada apa sih, Tuan? Bibi bawa piring sampai kaget. Tuh, jadinya semua piring yang Bibi bawa pecah semua.""Jangan pikirin piring pecah, Bi! Nih, ada bunga lagi. Siapa yang naruh di atas tempat tidurku? Pasti Bibi, ya?""Eeeh ... Tuan jangan sembarangan nuduh, ya? Jelek-jelek begini, Bibi gak suka main bunga. Sukanya main pisau!" Pembantu yang sudah belasan tahun bekerja di rumah Vino itu, wataknya pun sudah ikut-ikutan tuannya. Tak takut apapun juga.Vino mengembangkan senyumnya. Dia sangat sayang kepada pembantunya yang satu itu. Bahkan, sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya juga.Sudah sering kali Vino melarang si bibi untuk bekerja terlalu berat. Menyediakan makanan u
Paman dan bibi Vino berusaha membujuk anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, agar tak menangis lagi.Namun, Vino tetap menangis, karena tak ingin kehilangan lelaki yang selama ini sangat menyayanginya dengan sepenuh hati.Ibu kandungnya telah tega mengusirnya dari rumah, jadi Vino tak ingin ayahnya pergi meninggalkan dirinya."Vino, kamu sudah besar, jadi sudah bisa menjaga diri sendiri. Pesan Ayah, kelak, jadilah seorang lelaki yang tangguh. Tak mudah menyerah, dan bekerja dengan rajin, agar dirimu tak direndahkan oleh wanita manapun," ucap si ayah, yang tak terlalu dipahami oleh Vino.Dirinya masih sangat kecil untuk mencerna kata-kata ayahnya itu. Tapi, dia tetap mendengarkan dengan seksama. Tak ingin membuat ayahnya merasa kecewa kepadanya.Lalu, si ayah pun melanjutkan kata-katanya, "mungkin, saat ini Vino belum mengerti dengan yang ayah katakan tadi. Nanti, bila umurmu sudah tujuh belas tahun, tanyalah kepada bibimu, tenta
Tok ... tok ... tok!"Maaf, tuan ... makan malam sudah siap," kata si pembantu, yang langsung membuyarkan lamunan Vino yang sedang mengingat masa lalu."Hhh ... iya, Bi. Bikin kaget aja, Bi!""Kik ... kik ...kik ...," si pembantu tertawa sambil berlalu dari pintu kamar Vino.Lelaki yang mempunyai hidung mancung dan bibir yang berwarna merah alami itu, menikmati makan malam dengan pikiran yang tak tenang.Dia masih teringat tentang bunga melati yang bisa tiba-tiba berada di dalam kamarnya. Di layar monitor dari rekaman CCTV pun, menunjukkan tak ada orang lain yang memasuki kamarnya, selain dia dan si pembantu tua."Hhh ... apa mungkin, bunga itu dari–""Maaf, Tuan ... hapenya dari tadi berdering terus," kata si bibi–pembantu Vino, sambil menyerahkan telpon genggam yang tadi tertinggal di kamar."Halo! Ada apa, Bram?"[Bos, Nikita maksa pengen ketemu sekarang.]"Suruh dia masuk!"