Share

Sumpah Terkutuk bab 6

Nada dering yang berbunyi dari telpon genggam, mengejutkan Vino yang sedangbteringat masa kecilnya dulu.

"Hallo! Ada apa, Tom?" tanya Vino kepada si penelpon.

Setelah mendengar jawaban dari seberang telpon, Vino bergegas keluar dari kamar. Tanpa disadarinya, sekuntum bunga melati masih dalam genggamannya.

Namun, ketika melewati sebuah taman yang berada di samping kamar, barulah dia tersadar, dan buru-buru dibuangnya sekuntum bunga melati itu dengan melempar sembarangan.

"Berapa banyak anak buah kita yang jadi korban?" tanya Vino setelah berhadapan dengan seorang lelaki berkulit putih dan bermata sipit.

"Ada lima orang saja, Bos. Yang lainnya bisa kabur dari kejaran polisi," jawab lelaki yang bernama Tom.

"Dasar Rudi penghianat. Untungnya, aku segera mengetahuinya. Kurang apa dia itu selama menjadi tangan kananku? Uang, harta dan wanita tak pernah kekurangan. Kok, bisa-bisanya mau menjadi mata-mata polisi," gerutu Vino dengan wajah geram.

Lelaki berperawakan tinggi kurus di depan Vino hanya menunduk. Tak berani melihat wajah bosnya yang sedang marah itu.

"Juga, si Robert yang sudah berhianat membocorkan rahasia kepada musuh. Huh! Dalam seminggu ini, sudah dua orang kepercayaanku yang mampus kuhabisi dengan tanganku sendiri," lanjut Vino lagi.

Si Tom masih terdiam, tak berani membantah atau menyela sedikitpun ucapan bosnya.

"Tom, hentikan dulu segala aktifitas di jaringan sebelah barat. Sebab, polisi pasti masih mengawasi terus di sekitar tempat itu."

"Baik, Bos," jawab Tom dengan singkat.

Selanjutnya, Vino mengajak Tom dan beberapa anak buahnya untuk pergi ke sebuah tempat yang sering dikunjunginya.

Hari masih menunjukkan di pukul sepuluh pagi, tetapi sebuah tempat yang dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmati kesenangan duniawi nampak sudah banyak pengunjung. Apalagi, hari itu adalah akhir pekan.

Ketika Vino beserta anak buahnya memasuki ruangan yang minim cahaya, hanya sinar dari lampu beraneka warna yang tak dapat melihat raut wajah orang dengan jelas, namun pengunjung yang sudah berada di tempat itu langsung bisa mengenali orang-orang yang baru datang itu.

Dengan serentak, para pengunjung berdiri dari tempat duduk mereka, untuk memberikan pilihan tempat bagi Vino dan anak buahnya.

Orang-orang yang masih berdiri pun, segera menepi memberi jalan, karena tak ingin mendapatkan masalah dari para penguasa dunia bawah tanah itu.

Di sudut ruangan yang terletak meja bundar berukuran besar, yang dipilih oleh Vino. Dia tak selalu memilih di satu tempat saja. Hanya tergantung seleranya, yang ingin mengamati para pengunjung dari sudut yang dia kehendaki saja.

Beberapa botol minuman mahal dari luar negri langsung dihidangkan oleh dua orang waiter, tanpa Vino memesannya lebih dahulu. Karena, para pegawai di tempat itu sudah mengetahui segala jenis minuman yang disukai oleh Vino dan kawan-kawan.

Tanpa banyak bicara, Vino menikmati minuman yang memabukkan itu. Tetapi, sepasang matanya berputar ke segala penjuru, seperti burung elang yang sedang mencari mangsa. 

Dalam jarak sekitar lima meter dari tempat duduknya, Vino menemukan mangsa yang diincarnya. Yaitu, seorang perempuan yang sedang duduk sendirian di depan sebuah meja kecil, yang terlihat gelisah.

Perempuan itu mempunyai bentuk dada sangat besar, yang dibalut dengan kaos ketat tanpa lengan berwarna biru muda. Sebentar-sebentar, perempuan yang berusia tak lebih dari dua puluh tahun itu melihat benda pipih yang dipegangnya.

Vino yang sering memperhatikan perempuan itu, diperhatikan juga oleh anak buahnya.

"Kita tangkap ular itu, Bos?" tanya si anak buah yang berbadan kekar dan berambut gondrong.

Sebutan ular, adalah untuk seorang perempuan yang diinginkan oleh Vino. Lelaki berwajah dingin itu mengibaratkan, bahwa seorang perempuan cantik adalah mahluk yang diam-diam bisa menebar racun yang mematikan.

Sambil mengisap sebatang rokok yang terselip di kedua jarinya, Vino mengangguk untuk menyetujui saran dari anak buahnya.

Tak lama kemudian, perempuan itu dibawa ke hadapan Vino, dengan cara diseret oleh lelaki berambut gondrong yang bernama Bram.

Vino juga melihat, sebelum perempuan itu berada di depannya, Bram sempat melayangkan sebuah tamparan keras di pipi kiri si perempuan berambut lurus sebahu itu.

Perempuan berwajah cantik, dan mempunyai bentuk bibir tipis itu, langsung bersungut-sungut di depan Vino, sambil mengelus pipinya yang memerah.

Berpasang-pasang mata melihat dengan cemas dan takut atas kejadian yang telah dilakukan si perempuan cantik itu tadi, yang dengan terang-terangan menolak ajakan dari Bram untuk menghadap si bos.

"Kenapa kau tampar dia, Bram?" tanya Vino dengan kalem.

"Hei! Jelaskan pada bosku!" bentak Bram kepada si perempuan.

Tanpa ada rasa takut, si perempuan menjawab dengan nada sombong, "aku sedang menunggu tamuku. Dia adalah salah satu orang terkaya di kota ini. Jadi, gak salah, kan ... kalau aku menolak untuk menemani anda?"

Masih dengan nada yang kalem, Vino berkata, "Bram, lepaskan dia."

"Pergi, sana!" bentak Bram lagi kepada si perempuan yang mengenakan skirt di atas lutut, hingga kaki jenjang dan pahanya bisa terlihat hampir sepenuhnya.

Setelah itu, Bram keluar ruangan untuk menelpon seseorang.

"Jo, laksanakan tugasmu!" ucap Bram kepada seseorang di seberang telpon, lalu memberikan nama tempat di mana saat ini dia berada.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status