Share

Sang sekretaris

“Aku membutuhkan uang sebesar 50 juta sore ini. Kau harus segera mengirimnya jika ingin ibumu bahagia,” ucap seseorang dari seberang telepon. Nadya hanya terdiam. Dibalik suaranya yang sok keras, sebenarnya ia sedang menyembunyikan ketakutannya.

Pria yang menelponnya tersebut tak lain dan tak bukan adalah pacar ibunya sendiri. Selama lima tahun ini pria itu selalu saja meneror Nadya dan memintanya untuk mengirimkan sejumlah uang.

Ibunya pun tak kalah tidak tahu dirinya. Sudah tahu bahwa anak perempuannya itu hanya sendiri merantau di kota besar, tapi dia terus saja membiarkan kekasihnya untuk meminta uang kepada Nadya.

Karir Nadya sebagai seorang sekertaris memang bagus, namun ia tidak selalu memiliki uang yang banyak di rekeningnya. Jika Nadya telat mengirimkan uang, sepasang kekasih tidak tahu diri itu akan terus-menerus meneror Nadya bahkan sampai mempermalukan Nadya di depan orang-orang kantor.

“Cantik, kumohon? Aku dan ibumu sudah kehabisan uang. Jika kami tak mendapatnya sore ini maka kami akan diusir dan tidur di jalanan.”

“Itu bukan urusanku!” Jawab Nadya.

“Hey, apakah kamu tidak kasihan melihat orang yang telah melahirkanmu ini menderita? Tega sekali kamu membiarkan kami seperti ini? Dasar anak durhaka!” Kini ibunya yang mengambil alih ponsel.

“Aku tidak durhaka! Kalianlah yang tidak tahu diri. Kalian menghabiskan uangku hanya untuk bermain judi. Jika kalian ingin uang, maka bekerjalah!”

“Kurang ajar kamu ya, Nadya. Kalau tahu kamu bakal kayak gini, udah aku gu-“

Tut!

Nadya mematikan sambungan telepon itu. Berbicara kepada ibunya memang tak ada gunanya.

Dibalik keanggunan dan kecerdasannya, Nadya memiliki masa lalu yang kelam. Ayahnya meninggal akibat overdosis, ibunya yang stress lalu menghabiskan waktunya dengan minum-minum dan berpacaran dengan sembarangan pria. Sejak kecil Nadya tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya, ia hanya hidup sendiri sejak kecil.

Satu-satunya cara agar ia bisa lepas dari gangguan ibunya adalah dengan menikah dengan pria kaya dan mengganti identitasnya. Karena Frans bukanlah orang yang bisa diandalkan, maka Nadya harus mencari sasaran lain.

Sekarang yang ada hanyalah Bima, tuan muda dari antah-berantah yang tidak diketahui latar belakangnya. Nadya tidak yakin bahwa pria ini dapat menjadi jalan keluarnya. Dilihat dari penampilannya pun sangat tidak meyakinkan. Ia juga sangatlah amatir, terlihat sekali bahwa pria itu tak pernah memimpin sebuah perusahaan.

Saat Nadya melangkahkan kakinya keluar dari lift, seorang staff fornt liner tergopoh-gopoh menghampirinya, “Nona, apakah nona sudah melihat sekumpulan para pekerja yang sedang berdemo di depan sana? Aku takut nona, aku takut jika mereka terus memaksa masuk kesini,” ujar gadis itu ketakutan.

“Apa maksudmu dengan demo pekerja? Bukannya hal ini sudah kita atasi bulan lalu?”

“Aku tidak tahu, nona. Para pekerja itu masih marah. Mereka tetap menuntut agar tunjangan mereka dinaikan.”

“Baiklah, kau tenang saja. Aku akan menemui tuan Angkasa untuk membahas hal ini dengannya,” ucap Nadya. Belum sempat Nadya menelpon atasannya tersebut, Bima sudah terlebih dahulu turun dari lantai atas. Pria muda itu terlihat buru-buru. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

“Pak, ada demo besar di depan kantor kita. Bapak tidak boleh-“

“Maaf, Nadya. Aku sedang terburu-buru. Bisakah kamu menyelesaikan masalah ini sebentar?” Ucap Bima.

“Tapi pak, masalah ini bukanlah masalah yang dapat dilakukan oleh seorang sekertaris. Bagaimana mungkin aku bisa meredam aksi protes tersebut disaat bapak tidak ada?”

“Aku minta maaf, untuk kali ini kau saja yang urus.” Bima langsung berlari keluar. Nadya terus memanggilnya tapi pria itu sudah menjauh. Demo yang dilakukan oleh para pekerja tadi kian memanas. Tidak ada pilihan lain, Nadya pun harus menghadapinya sendirian.

Di area parkir, Bima sedang menghidupkan skuter bututnya. Motor tua itu mandek lagi. Suara knalpotnya yang berisik sangat memekakan telinga.

“Kumohon, hiduplah! Aku harus segera pergi dari sini,” gerutu Bima. Ponsel di kantongnya pun ikut berdering. Itu nomor milik Elena. Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, gadis itu kembali menelpon Bima.

“Bima sayang? Kau dimana? Aku sangat ketakutan. Apakah kau bisa datang kesini?” Suara Elena terdengar bergetar. Hal itu membuat Bima semakin khawatir. Ia seakan lupa bahwa tiga bulan lalu gadis itu telah mencampakkannya bagai sampah.

“I-iya, aku akan segera datang. Kau tunggu saja. Aku akan segera pergi kesana,” jawab Bima.

“Baiklah, aku menunggumu. Datanglah dengan membawa sejumlah uang. Kutunggu kau di restoran hotpot di depan kampus kita.”

“Baik.” Bima langsung menutup teleponnya dan menghidupkan mesin motor. Skuter dengan knalpot berisik itu pun segera melaju ke jalan raya.

Saat sampai disana, Bima memarkirkan skuter bututnya di area baseman. Ia naik ke atas ke tempat Elena berada. Bima melihat wajah-wajah yang tidak asing saat memasuki restoran tersebut. Disana ternyata sudah ada Elena dan tiga temannya yang lain, Diana, Raya dan Eva.

Mereka berempat sudah berteman sejak masih kuliah. Seluruh mahasiswa dari fakultas ekonomi pasti setuju jika empat sekawan itu dijuluki sebagai para bidadari. Mereka memiliki wajah yang sangat cantik. Namun sayang, tidak dengan hatinya.

Diana dan Raya saat ini sudah menikah dengan seorang pengusaha, sedangkan Eva dikenal memiliki hubungan spesial dengan salah-satu anggota kerajaan Inggris. Jika dilihat dari kehidupan asmara mereka, memang Elena sendiri yang kisah cintanya tak mujur karena sempat menikah dengan Bima.

Saat melihat ekspresi ketiga gadis itu, Bima pun tahu semua ini hanyalah jebakan.

“Aku tidak menyangka ternyata dia benar-benar datang,” ucap Diana dengan suara merendahkan.

“Dia memang seperti anjing peliharaan yang penurut. Tak perduli seberapa sering kau mencampakkannya, dia akan terus kembali padamu,” sahut Eva, diikuti dengan tawa merendahkan dari Raya.

“Memang laki-laki pecundang. Untung kau sudah mencampakkannya, Elena. Jika tidak, hidupmu akan selalu sial hahaha ….,” para gadis itu terus tertawa dengan puas.

Elena yang melihat itu nampak tersenyum penuh kemenangan. Sekali lagi ini membuktikan semua teorinya tentang Bima. Pria itu belum juga melupakannya meski sudah dibuat babak belur.

“Aku tidak menyangka bahwa kau benar-benar datang kemari, Bima,” kata Elena. Ia memandang penampilan Bima yang tidak berubah seperti saat mereka masih bersama. Masih sama saja seperti seorang gembel.

“Apa maksud semua ini?” Bima merasa seperti dibodohi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status