Share

Pembalasan yang Pertama

"Cukup, Darma! Hentikan omong kosong mu dan segera memberi hormat kepadanya! Pria yang kau sebut gembel itu adalah pewaris tunggal Angkasa grup!"

Kedua bola mata Darma seakan mau terlepas dari tempatnya. "Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" Darma berteriak tak percaya. Baru tadi pagi ia membaca berita di koran bahwa Surya Express telah diakuisisi oleh Angkasa grup dan sekarang perusahaan itu juga sudah diubah menjadi Angkasa Express. Apakah itu berarti Bima adalah atasannya sekarang?

Darma tanpa malu tiba-tiba bersujud di kaki Bima. Wajahnya sangat ketakutan. Ia begitu takut jika Bima akan melakukan hal buruk padanya.

"Tuan muda ... tuan muda, maafkan aku?" ucapnya ketakutan.

Ia bukan takut karena Bima jago bela diri. Tapi ia takut, jika jabatannya di perusahaan akan terancam. Dia telah menghabiskan ratusan juta untuk menyuap berbagai pihak untuk mencapai posisinya yang sekarang.

Apapun akan dia lakukan untuk menyelamatkan posisinya, termasuk menjilat ludahnya sendiri.

Bima hanya tersenyum muak. Ia tak menyangka pernah menganggap pria picik itu adalah sahabat sejatinya. "Serendah itukah harga dirimu, dar?" ucap Bima jengah.

"Maafkan aku, Bim. Ups! Maksudku, tuan muda ... Aku tidak tahu jika kau adalah pewaris tunggal Angkasa grup. Aku memang bodoh! Maafkan aku! Maafkan aku!"

Darma terus saja bersimpuh di kaki Bima. Ia terlihat seperti seorang pecundang di hadapan para petinggi Angkasa Ekspress.

"Darma, menyingkir dari sana. Kau tahu sikapmu itu sangat memalukan!" sinis Pak Yadi. Beliau adalah komisaris bidang penjualan di Angkasa Ekspress. Dia memiliki 16% saham di perusahaan tersebut.

Darma langsung terdiam. Tubuhnya gemetar karena ketakutan. Dia membayangkan kemungkinan terburuk. Jika karirnya hancur, maka otomatis ia pun akan jatuh miskin.

Saat ini Darma sedang terlibat masalah dengan debt colector. Jumlah tagihan kartu kreditnya yang sudah mencapai limit. Istrinya yang hobi berbelanja barang mahal membuat Darma terpaksa berhutang kesana dan kesini.

Belum lagi anaknya yang baru lulus TK juga membutuhkan biaya untuk melanjutkan sekolah. Parahnya, meski tahu tidak memiliki begitu banyak uang, ia dan istrinya malah mendaftarkan anaknya ke sekolah internasional yang harga SPPnya mencapai puluhan juta sebulan.

"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bima tak boleh memecatku!" Darma terlihat gusar.

"Darma, cepat kau buatkan kopi untuk tuan muda dan para komisaris, mereka akan mengadakan rapat dadakan. Tolong jangan berbuat kesalahan apapun!" Ilyas kembali memerintah bawahannya.

Darma yang ketakutan langsung menurut. Ia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan posisinya.

Bima masih merasa geli dengan sikap Darma yang pecundang. Sikapnya sangat berubah ketika mengetahui indentitas Bima yang sebenernya. Begitulah ajaibnya uang, dia akan dengan mudah membuat orang lain menjadi hormat padamu dalam waktu sekejap.

"Tuan muda, saya telah menyusun jadwal anda untuk hari ini. Mohon konfirmasinya jika ada yang ingin anda lakukan terlebih dahulu," suara lembut namun tegas memecah konsentrasi Bima. Dia adalah Nadya, Sekertaris yang tadi datang bersama para komisaris.

Gadis itu memiliki postur tubuh yang tinggi dan proporsional. Berbadan ramping dan memiliki lesung pipi. Wajahnya sangat manis, bahkan dengan riasan yang tipis pun kecantikannya masih terpancar.

Ia saat ini mengenakan blazer berwarna merah muda dan rok hitam. Rambutnya yang hitam bergelombang dibiarkan terurai dengan rapi sepanjang punggungnya. Bima pun tertegun sejenak mengamati kecantikan Nadya yang begitu alami.

"Hmmm ... Permisi, pak? Mohon maaf, apa ada yang ingin anda ubah dari jadwal yang telah saya buat?" ucap Nadya lagi.

"Oh, tidak perlu! Maaf tadi aku kehilangan fokus sejenak." suara Bima terdengar sedikit bergetar saat menjawabnya. Entah kenapa jantungnya berdegup sangat kencang.

"Baiklah, kalau begitu ... kita akan memakai jadwal yang telah tersedia. Untuk saat ini, akan ada rapat dewan direksi di lantai 16, mohon untuk mengkonfirmasi kehadiran anda."

"Baiklah, aku akan datang."

"Siap, pak. Kalau begitu, saya akan terlebih dahulu untuk mengantarkan bapak ke ruangan pribadi bapak yang ada di lantai 21."

Nadya pun mengarahkan Bima untuk masuk ke lift. Bima nampak gugup akan hal itu. Ini baru satu hari sejak ia bangun dari koma, tapi kehidupannya sudah berubah total.

Bima pun melirik ke arah Nadya. Gadis itu sangat menawan, bahkan kecantikan Elena pun tak mampu menyainginya.

"Oh, tidak! Aku mulai gila!" Bima salah tingkah sendiri saat tak sengaja beradu pandang dengan Nadya.

"Maaf, pak. Apakah ada yang mengganggumu?" Tanya Nadya yang sekarang berdiri di samping tombol lift.

"Tidak ... Tidak ada apa-apa. Aku hanya berbicara sendiri."

"Oh, baiklah. Maaf jika aku membuatmu tak nyaman?"

"Kau tak perlu risau! Aku memang terbiasa berbicara sendiri." Bima asal bicara.

Nadya hanya tersenyum. Entah apa arti senyumannya itu. Bisa diartikan mengerti, mengejek dalam diam atau hanya sekedar senyum karir untuk menghormati atasannya.

"Jadi, mulai sekarang kau adalah sekertaris ku?" tanya Bima.

"Iya, benar pak. Aku adalah sekretaris utama di perusahaan ini. Itu berarti aku akan menjadi sekertaris dari seseorang menjabat sebagai direktur utama."

"Direktur utama?!" Bima kembali terkejut. Ia tak menyangka jika sang kakek akan menempatkannya di posisi tersebut. Padahal sebelumnya, ia telah meminta kepada kakeknya untuk tak menempatkannya di posisi yang tinggi.

Ting! Lift pun berbunyi.

"Kita sudah sampai di ruanganmu, pak." ucap Nadya dengan nada formal.

"Ruangan ini merupakan ruangan khusus. Hanya ruangan ini yang memiliki akses langsung ke loby utama menggunakan lift pribadi. Bapak bisa dengan mudah menghubungi saya setiap waktu dengan memencet tombol itu."

Telunjuk Nadya mengarah ke arah tombol hitam yang ada di meja kerja Bima. "Dengan tombol ini, bapak tak perlu sungkan untuk memanggil saya jika ada hal yang bapak perlukan."

"Jadi, ini benar-benar ruanganku?" tanya Bima terpukau dengan interior kantornya yang mewah. Jendela ruangan itu mengarah langsung ke pemandangan gedung bertingkat di seberang jalan.

"Iya, pak. Ini memang kantor bapak."

"Aku tak percaya jika aku benar-benar memiliki kantor yang seindah ini ...." Bima berbicara sendiri. Ia terlihat sangat terkesima dengan pemandangan yang ada.

Nadya tak merespon. Ia hanya tersenyum formal bagai sebuah robot yang berbicara hanya jika diperlukan.

"Baik, pak. Kalau begitu saya undur diri. Rapat direksi akan dimulai satu jam lagi. Silakan panggil saya jika ada yang bapak perlukan."

Nadya pun meninggalkan Bima sendirian disana. Bima yang masih terpukau dengan ruangan itu tak terlalu memperhatikan saat Nadya keluar. Matanya hanya fokus pada pemandangan gedung bertingkat di seberang jalan.

Nadya pun memencet tombol lift untuk menuju loby. Tepat sesaat pintu lift tertutup, senyum manis yang tadi senantiasa mengembang langsung menghilang.

Ia lalu mengeluarkan ponselnya yang dari tadi terus berdering, “Sudah kubilang cukup! Aku akan membayar semuanya saat aku punya uang!”

Entah siapa yang di maki, tapi dari raut wajahnya itu ia sudah sangat muak.

Lanjut ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status