*Selamat membaca*
---
"Apa? Dengan CEO?" Widya berseru tertahan. "Bukannya kemarin infonya hanya wawancara akhir dengan HRD kan?" bisiknya pada Louva dan Lissy.
Entah kenapa Louva sudah mengira akan ada element of surprise seperti ini. Meskipun ia sedikit gugup karena pimpinan tertinggi perusahaan yang akan mewawancarainya, namun Louva juga bersyukur dapat bertemu secara langsung dengan atasan yang akan bekerja dengannya, itu pun kalau dia bisa lolos hingga tahap akhir.
Beberapa orang terlihat memasuki ruang meeting VIP dengan langkah yang tegas, dan Robert terlihat membungkukkan badannya dengan hormat kepada seorang lelaki yang berjalan paling depan.
Louva pun mulai menghitung dalam hati.
Satu, dua, tiga... empat?
Wait.
Jangan bilang kalau orang keempat yang mengikuti mereka adalah... hantu.
Louva menahan napas dan menggigit bibirnya.
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Elang Putra Abimanyu," suara tegas dan penuh wibawa keluar dari lelaki bertubuh tinggi atletis dan berwajah sangat tampan. Ia sudah mengambil tempat duduk di seberang meja Widya, Lissy dan Louva, diikuti dengan Robert dan dua orang lain yang merupakan perwakilan dari HRD.
Jadi dia, sang CEO Abimanyu Group?
Louva sedikit terkejut karena Pak Elang terlihat masih muda untuk ukuran pimpinan tertinggi, namun ia baru teringat kalau ini adalah perusahaan keluarga, jadi tidak heran juga kalau CEO-nya yang masih muda tapi sudah memegang tampuk jabatan tertinggi.
"Selamat pagi, pak," sahut para kandidat sekretaris nyaris serempak.
Pak Elang terlihat tersenyum dan mengangguk. "Baik. Sekarang tolong perkenalkan diri kalian masing-masing. Dimulai dari kamu," Elang menunjuk Louva. "Silahkan berdiri dan perkenalkan dirimu, Nona."
Tanpa membuang waktu Louva pun berdiri. Dengan lancar, ia memperkenalkan diri dengan menyebut nama lengkap diikuti dengan beberapa informasi lain terkait dirinya.
Perkenalan diri dalam wawancara kerja adalah cara kita "menjual" kompetensi dan kelebihan yang kita miliki, itu sebabnya Louva berusaha untuk berkonsentrasi menerangkan informasi mengenai dirinya, dan mengabaikan wanita berkulit pucat yang dari tadi menatapnya dengan tajam.
Wanita itu sedang berdiri di belakang Pak Elang, namun tiba-tiba saja ia mengitari meja dan mendekati Louva dari belakang. Hawa dingin menusuk mulai ia rasakan saat hantu wanita itu semakin dekat dengannya.
Tiba-tiba Louva merasakan perih di kakinya. Ia melirik sekilas ke bawah, dan mendapati sepasang tangan dengan jari dan kuku yang amat sangat panjang sedang mencakar kakinya. Shit!!
Hal lain yang paling Louva hindari adalah hantu yang cemburu. Sepertinya dia menyukai Pak Elang, dan entah kenapa dia sangat marah kepada Louva.
"Dasar pelakor. Kamu mau merebut Elang dariku, kan?!" hardik wanita itu dengan suara serak dan pecah dari bawah belakang Louva. Tangannya yang seperti ranting pohon dengan kuku runcing bagai pisau masih saja mencakar-cakar kaki gadis itu.
"Please-laah. Aku di sini cuma mau kerja, bukan merebut laki orang!" batin Louva kesal sambil menggerak-gerakkan kakinya yang perih, berusaha menendang jari mengerikan yang menyakiti kulitnya.
Setelah Louva memperkenalkan diri, ia pun langsung di wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan pekerjaan sekretaris. Louva menjawabnya dengan tegas dan lugas.
Selanjutnya giliran Widya dan Lissy yang diwawancara.
Diam-diam Louva memandang ke sekelilingnya. Kemana perginya si wajah pucat, Tiwi dan Popo?
Hm... mungkin karena mereka semua fokus dalam urusan "manusia", sehingga para makhluk astral itu pun tersingkir. Baguslah.
Baru saja Louva bernapas lega, tiba tiba wanita pucat itu muncul lagi dari belakang tubuh Pak Elang dan kembali menatapnya tajam. Namun kali ini ia tidak mengganggu Louva lagi, syukurlah.
Sebenarnya si pucat itu cukup cantik, cuma ya itu... pucat dan dingin. Ah ya, satu lagi. Matanya menyorot merah seperti vampir tanpa gigi yang runcing. Louva tidak peduli siapa dia dan kenapa dia terus mengikuti Pak Elang, selama si pucat itu tidak mengganggunya seperti tadi.
Kira-kira dua jam kemudian interview itu pun akhirnya selesai. Sambil bernafas lega, Louva melangkahkan kakinya keluar dari ruang meeting VIP diikuti oleh Lissy dan Widya di belakangnya.
"Eh, waktunya makan siang nih!" ujar Widya yang melirik jam tangan di pergelangannya. Kita makan siang bareng, yuk?" ajaknya pada Lissy dan Louva yang mengangguk barengan.
Mereka pun memutuskan untuk makan di kantin karyawan Abimanyu Group di lantai 2. Lissy dan Widya mengobrol seru di dalam lift, sementara Louva hanya terdiam menatap nenek-nenek berpakaian kebaya kuno dan bersanggul yang berdiri di sampingnya menghadap dinding lift, memunggungi mereka.
Louva pun menghela napas pelan. "Hantu," bisiknya dalam hati. Lalu ia melakukan hal yang sering ia lakukan, yaitu mengabaikan keberadaan mereka.
Sesampainya di kantin, mereka pun mulai melihat-lihat makanan yang tersedia di sana. Akhirnya Lissy memesan soto lamongan, Widya memesan bebek bakar, sementara Louva memesan semangkuk bakso hangat yang akan menyegarkan badannya yang terasa lemas dan mengantuk, karena hanya bisa tertidur beberapa jam saja semalam.
Hanya satu orang dari mereka yang nanti akan diterima di Abimanyu Group, jadi Louva sangat menikmati saat-saat mengobrol seperti ini. Louva jarang punya teman mengobrol, karena makhluk halus seringkali mengganggu teman-temannya.
Sejak di Sekolah Dasar ia selalu dikucilkan karena dianggap aneh karena tiba-tiba suka tertawa atau bicara sendiri. Ia masih terlalu kecil untuk bisa mengabaikan makhluk di sekitarnya, sehingga sering terjebak di antara dua dunia.
Orang tuanya sudah memaklumi anaknya yang yang memiliki kelebihan seperti itu, karena Louva benar-benar mirip dengan almarhum neneknya yang juga indigo. Bahkan mata hijaunya yang seperti kucing itu juga diturunkan dari sang nenek, yang blasteran Eropa dan Jawa.
"Louva, kamu tuh laper apa mau ngangkatin jemuran? Buru-buru amat makannya?" tegur Widya heran ketika melihat gadis setengah bule itu yang makan dengan terburu-buru.
"Ehhmmmp," Louva mengunyah bakso dan mie dengan cepat, membuatnya tersedak. Setelah menghabiskan es jeruknya, Louva menatap Widya sambil tersenyum. "Sorry, makanku bar-bar. Laper banget, hehe," alasannya sambil nyengir.
Padahal...
Tuh kan, si tuyul datang.
Louva melengos melihat dua makhluk cebol berwarna abu-abu yang jongkok di atas meja dan memakan baksonya dengan lahap. Louva memang sengaja menyisakan beberapa bakso untuk mereka makan.
Si Upin dan Ipin, itulah julukan Louva untuk dua tuyul itu. Mereka pasti selalu datang entah dari mana pada saat Louva sedang makan, dan mengambil makanan dari piring Louva untuk dilahap.
Makanan yang di makan oleh makhluk halus tentu saja tidak akan hilang, fisiknya tetap ada dan tidak berkurang sedikit pun, hanya rasanya saja yang berubah menjadi hambar atau tidak enak. Dan biasanya manusia yang memakannya akan jadi sakit, meskipun tidak parah. Paling-paling sakit perut atau pusing, kadang-kadang juga ada demam ringan.
"Kok nggak dihabisin sih, Va?" tanya Lissy heran melihat Louva yang menyisakan dua butir bakso besar di mangkuknya, padahal tadi dia bilang sangat lapar. "Buat aku deh, sayang kan kalau dibuang."
Saat Lissy mengulurkan tangannya hendak meraih mangkuk bakso milik Louva, gadis itu menyenggol mangkuknya hingga jatuh dan pecah di lantai.
"Ups, maaf ya, Lis. Nggak sengaja kesenggol," ucap Louva datar. Ia sebenarnya sengaja membuat mangkuk itu jatuh agar Lissy tidak memakan bekas si Upin Ipin. Louva tidak ingin membuat gadis itu jadi sakit.
"Kalau nggak mau kasih ya bilang, dong! Nggak usah pake dijatuhin juga," tukas Lissy kesal sambil memicingkan mata pada Louva.
"Udaah, kan Louva nggak sengaja." Widya berusaha menengahi saat melihat Lissy yang nampaknya tersinggung karena ulah Louva.
Lissy hanya melengos dan membuang muka. Ia masih tidak terima karena Louva seperti sengaja menjatuhkan mangkuk bakso itu hingga pecah. Apa sih maksudnya? Nggak sopan banget!!
Sementara itu, Louva membantu Office Boy memunguti pecahan mangkuk dan membersihkan tumpahan bakso. Si OB yang diam-diam memperhatikan Louva, merasa kagum dengan kecantikan dan kebaikannya membantu untuk bersih-bersih.
"Sudah mbak, nggak apa-apa. Biar saya saja yang membersihkan," ucap OB itu sambil mengambil pengepel dari tangan Louva.
"Maaf ya, mas. Saya nggak sengaja tadi."
"Nggak apa-apa mbak," sahutnya sambil tersenyum.
Kemudian Louva pun berjalan menuju toilet, bermaksud untuk mencuci tangannya di wastafel. Hampir saja ia bertabrakan dengan Robert yang baru saja keluar dari toilet laki-laki.
"Hei, Louva," sapanya sambil mamerkan senyum lebar. "Sudah makan siang?"
"Halo, Pak Robert. Saya baru saja makan," balas sopan Louva.
Robert tertawa pelan. "Jangan panggil pak dong, kayak tua banget saya. Kita cuma beda tiga tahun aja kok," jelasnya riang. Tapi tiba-tiba ekspresinya berubah serius.
"Eh, Louva. Mau tahu rahasia, nggak?" bisiknya pelan sambil mendekatkan wajahnya. "Yang lolos jadi sekretaris CEO itu kamu, lho. Selamat, ya!"
*BERSAMBUNG
"Sebenarnya apa yang mereka inginkan?" Tanya Elang dengan nada frustasi. Louva tidak langsung menjawab. Gadis itu seperti sedang melamun, namun beberapa detik kemudian ia pun berkata, "mereka ingin menjaga Bapak dari wanita indigo seperti saya.""Menjaga saya dari wanita indigo seperti kamu?" Ulang Elang tak mengerti."Seorang indigo memiliki gelombang aura bersinar yang hanya dapat dilihat oleh makhluk astral atau ghaib. Dan aura itu membuat mereka tertarik untuk melihat serta mendekat. Itu sebabnya saya nggak mau punya teman dekat, Pak. Karena semua yang dekat dengan saya akan ikut diganggu oleh mereka," terang Louva panjang lebar."Yang sekarang berada di samping Pak Elang itu bermaksud baik sih, sebenarnya. Mereka hanya mau melindungi Bapak dan nggak mau Pak Elang jadi sasaran makhluk yang kadang-kadang ada yang sifatnya agresif."Elang mengerutkan keningnya selama beberapa saat, mencerna semua informasi yang sangat asing bahi dunianya yang dipenuhi logika.Ya, dan semua logika i
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini Louva bisa kembali bekerja.Tangan kirinya masih diperban karena lukanya masih belum sembuh total, namun sudah tidak terlalu sakit lagi bila digerakkan untuk beraktivitas.Ia disambut oleh Widya, Lissy dan Robert yang sengaja menunggunya untuk memberikan surprise selamat datang di depan ruangannya. Louva benar-benar terharu ketika menerima sebuah buket bunga mawar merah muda dari Robert dan sekeranjang camilan manis yang diberikan Widya kepadanya. "Ini dari kami bertiga," ungkap riang gadis manis bertubuh mungil itu sambil menyodorkan keranjangnya. "Terima kasih," balas Louva sambil tersenyum manis. Meskipun masih sangat baru di perusahaan, tapi ia merasa beryukur karena sudah memiliki beberapa teman yang sangat baik kepadanya."Eh iya, ada satu lagi nih," tiba-tiba Lissy berucap dengan merogoh kantung kemeja lengan pendeknya yang ujungnya dimasukkan ke dalam rok sepan ketat sepuluh senti di atas
Netra hijau Louva tak berkedip mendengar cerita tentang masa lalu Dahlia, si sundel bolong yang merasuki dirinya dan juga yang mengganggu Pak Elang. Naas sekali nasib perempuan itu. Selama beberapa saat, Louva merasakan duka yang cukup dalam memberatkan dadanya. Duka yang seringkali ia rasakan sebagai manusia indigo yang bukan hanya bisa berkomunikasi dengan makhluk astral, namun juga bisa merasakan rasa sakit dan ketakutan yang amat sangat di saat-saat terakhir kehidupan mereka. Jiwa seorang indigo terhubung dan dapat menyentuh ruang hampa di dalam eksistensi tak kasat mata, sehingga tanpa Louva sadari, sebutir cairan bening telah luruh dari manik hijaunya. Gadis itu tersentak ketika merasakan sebuah jemari kuat telah mendahului untuk menghapus air matanya. Kesiap pun pelan lolos dari bibirnya saat pandangannya bersirobok dengan netra pekat Elang yang menyorotnya teduh."Kamu bisa merasakannya, ya?" Louva mengerjap pelan. Mind-reader ini pasti sedang me
Perlahan, Louva membuka kedua kelopak matanya yang terasa berat. Ia meringis ketika merasakan sekujur tubuhnya yang terasa seperti habis digilas tronton, dan lehernya yang teramat nyeri ketika ia mencoba menelan saliva agar sedikit mengurangi rasa kering di tenggorokannya.Tunggu dulu. Kenapa rasanya ada yang aneh di sini ya?Louva pun mengedip pelan ketika pada akhirnya ia menyadari sesuatu. Sesuatu tentang ingatannya yang terakhir... saat si sundel bolong yang mengaku bernama Dahlia itu... mencekiknya.Louva mengira momen itu adalah akhir hayatnya di dunia, tapi ternyata dia masih hidup!Louva melarikan netranya kesana kemari untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa ia memang masih berada di dunia nyata, bukanlah fana. Dan beberapa saat kemudian gadis itu pun menghembuskan napas lega.Ia sedang terbaring di atas brankar, dengan infus yang menancap di tangan kirinya. Saat ini ia sedang berada di kamar rawat VIP yang sepertinya sudah dirapikan, karena beberapa s
Elang hanya bisa menahan napasnya ketika merasakan bagian lembut dari tubuh Louva menekan kulitnya Gadis indigo itu duduk di pangkuan Elang dan memeluk tubuhnya, dengan dalih untuk memancing si makhluk astral itu keluar. Tapi apa Louva tahu kalau posisi mereka ini sangatlah berbahaya? Meskipun sikapnya sedikit aneh, namun Louva adalah gadis yang cantik dengan tubuh seksi, dan Elang sendiri adalah lelaki yang normal!"Saya melakukan ini agar si makhluk itu keluar, Pak. Nanti kalau dia merayu Bapak lagi, tolong jangan tergoda. Tapi berusahalah untuk mengorek informasi!"Bisikan Louva itu pun malah membuat darah yang mengalir di tubuh Elang semakin memanas. Sial! Apa gadis ini sengaja menggodanya??Louva terkesiap ketika Elang malah mencengkram tengkuknya dan menarik wajahnya hingga berhadapan sangat dekat. "Kalau mau bikin cemburu, jangan nanggung!" Guman Elang dengan matanya yang telah pekat oleh hasrat. Ia menatap bibir Louva yang merah merekah alami.
"Mendingan kita keluar dulu deh," usul Elang sambil menarik tangan Louva keluar dari kamar mandi. Ia tidak bisa menjamin akan tahan untuk tidak menyerang Louva jika mereka masih saja berada di kamar mandi ini. Bayangan sekretarisnya yang menatapnya sayu sambil mendesah dengan suara seksi masih terngiang di pikiran lelaki itu. Oke, sepertinya dia harus meluruskan otaknya dulu sebelum bicara dengan tenang kepada Louva."Baju kamu basah, ganti dulu sana," titahnya kemudian. Louva melirik home dressnya yang mulai setengah kering, lalu memutuskan untuk menggantinya dengan yang baru. Louva membawa sepotong kemeja santai dan celana panjang yang longgar kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Lagi-lagi ia hanya bisa meringis kala melihat pantulan wajahnya di cermin. 'Aku terlihat seperti cewek binal,' pikirnya sambil menoyor kepala sendiri. Bagaimana tidak? Bibirnya bengkak kemerahan seperti habis melakukan ciuman hot dengan durasi yang panjang, dan bagian dadanya dipe