"Tiwiii, please!! Aku mau tidur!!" Louva pun meringis kesal karena Tiwi, panggilan sayang pada kuntilanak dengan mata hitamnya yang menyorot sebesar tatakan gelas dan rambut kusutnya yang menjuntai sampai mata kaki itu, selalu saja mengganggunya ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Tangisannya yang melengking seperti jeritan histeris membuat telinga Louva berdenging sejak tadi. Kuntilanak itu minta dipeluk oleh Louva.
Tiwi sedang patah hati karena pacarnya yang masih hidup dan bernama Robert akan segera menikah. Tiwi sendiri meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Motornya dilindas truk yang remnya blong, membuat Tiwi menghembuskan nafas terakhirnya sebelum datangnya pertolongan.
"Besok aku ada interview. Aku harus fit dan segar. Kali ini saja, pergilah ke kuburan di pertigaan dulu ya... minta peluk aja sama si Popo," bujuk Louva. Popo adalah pocong yang naksir berat sama Tiwi, sayangnya hubungan mereka tidak lebih dari friendzone.
Tiwi pun merengut, membuat wajahnya yang hancur setengah dan selalu meneteskan darah itu makin terlihat menyeramkan. Tapi syukurlah kali ini dia mau mendengarkan Louva, dan akhirnya terbang menghilang menembus dinding kamar.
Louva menghembuskan napas lega. Akhirnya sekarang ia bisa tidur!
Besok adalah interview terakhir dengan bagian HRD perusahaan Abimanyu Group, sebuah perusahaan jaringan hotel raksasa terbesar di Indonesia.
Louva melamar untuk jabatan Sekretaris CEO, dan ia berhasil menempuh tes untuk posisi itu hingga final test esok hari. Ia benar-benar berharap akan lolos hingga tahap akhir besok! Semoga saja.
Dengan menghembuskan napas berat, gadis itu pun berusaha memejamkan matanya sambil mensugesti diri sendiri agar pikirannya tenang, mengabaikan makhluk hitam yang menggeram di pojok ruangan dan dari tadi mengamati dirinya, juga sesuatu yang bergerak seperti ular besar dan menggantung di langit-langit kamarnya sambil mendesis-desis, serta anak kecil yang berlarian sambil tertawa-tawa dan menyapanya dengan riang.
"Kak, lihat mataku, nggak?" tanya anak kecil itu sambil tersenyum dan memamerkan matanya yang hilang satu, meninggalkan jejak rongga besar mengerikan yang tembus hingga ke belakang kepalanya.
Louva hanya menggeleng dengan ekspresi datar, lalu kembali memejamkan matanya. Percuma saja sugesti diri, karena ia tidak akan pernah bisa tidur dengan suasana yang seberisik ini.
Inilah yang terjadi setiap jam 3 pagi, saat dimana makhluk halus berpesta pora hingga membuat Louva sulit untuk memejamkan mata.
***
"Selamat pagi. Nama saya Louva Maynara, peserta interview hari ini," Louva menyapa seorang gadis front office cantik dengan make up tebalnya.
"Baik. Tunggu sebentar," ia memeriksa komputer di depannya sekilas. "Louva Maynara, peserta seleksi Sekretaris CEO? Silahkan masuk ke pintu ruang meeting VIP, Nona. Sudah ada dua kandidat yang menunggu di sana," ucapnya sambil tersenyum ramah.
Setelah mengucapkan terima kasih, Louva pun segera melangkahkan kakinya menuju ruang meeting VIP. Sempat ia mendengar bisik-bisik di belakangnya. Mungkin si menor itu sedang bergosip dengan sekuriti yang berdiri di sampingnya.
"Wah, yang ini cantik banget. Lihat nggak tadi matanya? Warna hijau! Wajahnya juga unik dan agak bule-bule gitu lagi. Gue yakin pasti dia yang lolos!"
"Iya sih, cantik. Tapi mukanya flat banget nggak ada ekspresi. Kalau tadi dia nggak bersuara pasti udah dikira patung lilin," sahut sekuriti itu yang disambut dengan cekikikan si menor.
Louva diam saja dan terus melangkah. Mereka benar, wajahnya memang datar tanpa ekspresi karena ia memang melatih diri sendiri untuk seperti itu.
Sejak kecil, Louva sudah bisa melihat makhluk tak kasat mata. Awalnya dia terus menerus menangis ketakutan dan sangat emosional. Lambat laun ia belajar dan mengetahui kalau "mereka" menyukai manusia indigo yang tak bisa mengendalikan emosi seperti itu.
Dulu, hampir tiga puluh makhluk yang selalu mengikutinya. Sekarang hanya tinggal Tiwi dan Popo, itu pun mereka agak jarang menampakkan diri saat matahari mulai terbit.
Ah ya, satu lagi. Satu lagi makhluk yang suka mengikutinya adalah Deru, si genderuwo cabul yang sering mengintip Louva saat sedang mandi. Dia sampai harus menaburkan garam kasar yang masih murni di setiap celah kamar mandinya, karena mereka rata-rata tidak menyukai garam kasar yang membuat tubuh mereka terasa perih.
Setelah mengetuk tiga kali, Louva pun membuka pintu ruang meeting VIP itu. Ada dua pasang mata yang menatapnya dengan sorot menilai, meskipun wajah mereka tersenyum. Louva membalas dengan senyum tipis, dan mengambil tempat untuk duduk di dekat mereka.
Dua kandidat sekretaris itu pun mengajak Louva untuk berkenalan dan ngobrol sejenak karena belum ada yang datang. Nama mereka adalah Lissy dan Widya. Dua-duanya sudah memiliki pengalaman sebagai sekretaris minmal satu tahun, dan itu sukses membuat Louva tidak percaya diri karena ia sendiri belum berpengalaman.
Yang bisa ia banggakan adalah Louva pernah menjadi volunteer di PBB Australia selepas SMU, dan pendidikan sekretaris yang bisa ia selesaikan dalam waktu dua tahun dari yang seharusnya tiga tahun.
Pengalaman? Nol.
Tiba-tiba Louva merasakan semilir angin dingin yang menusuk tulang dan menerpa kulitnya yang putih, lalu seketika ia pun mendesah dalam hati.
Ada makhluk halus yang baru saja hadir di ruangan ini.
Ah elah. Padahal tadi Louva mengira ia akan santai tanpa gangguan mereka dan bisa fokus menjalani interview penting hari ini, tapi rupanya ia salah.
Louva melirik ke bagian meja di samping Lissy, dan melihat benda hitam yang muncul di situ. Itu adalah kepala Tiwi si kunti manja, yang bergerak dengan perlahan namun pasti dari bawah meja terus ke atas. Tubuhnya berhenti bergerak saat seluruh wajahnya terlihat, dan senyum dari bibir hancur mengerikan itu pun tertuju pada Louva.
Seakan itu belum cukup, tatapan Louva kemudian menangkap bayangan putih yang meloncat-loncat ke sana ke mari seperti cacing kepanasan mengelilingi Lova, Widya dan Lissy.
Lucknut.
Tiwi dan Popo pasti ingin membuat konsentrasi Louva pecah dengan kehadiran mereka.
Makhluk halus itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan manusia, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang iseng, ada juga yang cuek. Dan apesnya, dua mahluk yang suka mengikuti Louva ini benar-benar dan amat sangat jahil.
Lihat saja, si Popo dengan santainya malah meniup kertas HVS di meja depan mereka hingga beterbangan, membuat Lissy dan Widya menjerit kaget.
"K-kenapa kertasnya tiba-tiba terbang?" tanya Widya ketakutan sambil melirik Lissy yang hanya terdiam membisu sambil membelalakkan mata.
"Karena angin dari AC mungkin," sahut Louva datar sambil memunguti kertas-kertas itu dan menaruhnya kembali ke atas meja.
"Ih, serem banget," cetus Widya sambil bergidik. "Louva, kamu tahu nggak kalau gedung ini sebenarnya berhantu? Banyak rumor yang mengatakan makhluk halus suka mengganggu pekerja yang sedang lembur sampai malam. Mulai dari lampu dan lift yang tiba-tiba mati, printer yang tiba-tiba mencetak gambar wajah blur, macem-macem deh!"
Lissy yang mendengar ucapan Widya itu langsung terlihat pucat pasi. "Masa sih? Kok aku nggak pernah denger, ya?" katanya dengan bibir yang mulai gemetar ketakutan. Louva jadi kasihan melihatnya. Apalagi jika dia tahu kalau Tiwi si kunti sekarang malah sedang bergelayut manja di bahunya.
Makhluk halus memang menyukai orang yang penakut. Itu sebabnya Louva tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun, seberapa menakutkannya sosok yang ia lihat.
Louva menatap tajam kepada Tiwi agar segera menjauh dari Lissy, sebelum berkata pada Widya. "Ah, itu kan cuma rumor. Setiap tempat pasti ada saja cerita horornya masing-masing," tukasnya datar.
"Eh, ini serius! Tetangga saudaraku kan ada yang bekerja di sini. Dia yang bilang. Huuh, kalau saja bukan karena gaji yang besar dan CEO yang tampannya nggak kira-kira, nggak bakalan deh aku melamar kerja di sini," keluh Widya sambil memeluk dirinya sendiri.
"Ehm... tunggu. Kok tiba-tiba bahuku terasa berat dan dingin, ya?" Lissy mengusap-usap bahu kirinya, dimana Tiwi menyandarkan kepalanya yang rusak di situ.
Louva pun langsung beranjak berdiri dan berjalan ke arah Lissy. "Kamu cuma gugup, Lis. Santai aja," ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan bahu Lissy.
Tiwi yang sedang santai tiduran di bahu Lissy pun jatuh dan terjungkal ke lantai, karena Louva tadi menoyor kepalanya kuat-kuat sambil berpura-pura memberi semangat pada Lissy dengan menepuk bahunya.
Saat Louva membalikkan tubuhnya untuk kembali ke kursi, Tiwi pun menggeram marah. Ia langsung meloncat dan naik ke atas tubuh Louva sambil mengeluarkan lengkingan tawa yang memekakkan telinga.
Hampir saja Louva terjatuh karena bobot Tiwi yang membuat tubuhnya limbung, jika sepasang tangan tidak segera menangkap tubuhnya untuk tetap berdiri.
"Nona baik-baik saja?" sebuah suara dalam dan berat menyadarkan Louva. Seketika ia pun mendongak.
Seorang laki-laki berambut ikal dan berlesung pipi menatapnya sambil tersenyum. Tangan lelaki itu sedang melingkari tubuh Louva, kulitnya yang terasa hangat menyentuh kulit Louva yang dingin, seketika membuat gadis itu merasa risih.
"Uhm, terima kasih. Aku baik-baik saja," sahut Louva datar, dan buru-buru melepaskan dirinya.
"Robert?" Tiwi menatap nanar lelaki itu dengan mata hitamnya yang sebesar tatakan gelas. "Sayang, kenapa kamu ada di sini?" bisiknya lirih dengan suaranya yang tipis, sambil memiringkan kepalanya yang setengah hancur.
Tiwi sudah turun dari tubuh Louva dan sekarang berdiri di samping gadis itu, memandangi lelaki jangkung berkulit putih bersih dan berwajah bule di depannya.
Robert?
Louva pun ikut-ikutan menatap lelaki yang tadi menolongnya. Jadi dia adalah pacar Tiwi yang mau menikah itu?
Terdengar suara beberapa langkah kaki yang menuju ruang meeting VIP tempat mereka berada, membuat Robert membalikkan badannya dan berjalan menuju pintu.
"Duduklah," ucap Robert pada Louva.
"Perkenalkan, nama saya adalah Robert Keenan Danuandra, Personal Asisstant Bapak Elang. Hari ini kalian bertiga akan langsung diwawancara sendiri oleh Bapak Elang Putra Abimanyu, CEO dari Abimanyu Group," jelasnya sambil menatap dalam-dalam mata Louva, sebelum akhirnya mengalihkan wajahnya pada Lissy dan Widya sambil tersenyum.
*BERSAMBUNG"Sebenarnya apa yang mereka inginkan?" Tanya Elang dengan nada frustasi. Louva tidak langsung menjawab. Gadis itu seperti sedang melamun, namun beberapa detik kemudian ia pun berkata, "mereka ingin menjaga Bapak dari wanita indigo seperti saya.""Menjaga saya dari wanita indigo seperti kamu?" Ulang Elang tak mengerti."Seorang indigo memiliki gelombang aura bersinar yang hanya dapat dilihat oleh makhluk astral atau ghaib. Dan aura itu membuat mereka tertarik untuk melihat serta mendekat. Itu sebabnya saya nggak mau punya teman dekat, Pak. Karena semua yang dekat dengan saya akan ikut diganggu oleh mereka," terang Louva panjang lebar."Yang sekarang berada di samping Pak Elang itu bermaksud baik sih, sebenarnya. Mereka hanya mau melindungi Bapak dan nggak mau Pak Elang jadi sasaran makhluk yang kadang-kadang ada yang sifatnya agresif."Elang mengerutkan keningnya selama beberapa saat, mencerna semua informasi yang sangat asing bahi dunianya yang dipenuhi logika.Ya, dan semua logika i
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini Louva bisa kembali bekerja.Tangan kirinya masih diperban karena lukanya masih belum sembuh total, namun sudah tidak terlalu sakit lagi bila digerakkan untuk beraktivitas.Ia disambut oleh Widya, Lissy dan Robert yang sengaja menunggunya untuk memberikan surprise selamat datang di depan ruangannya. Louva benar-benar terharu ketika menerima sebuah buket bunga mawar merah muda dari Robert dan sekeranjang camilan manis yang diberikan Widya kepadanya. "Ini dari kami bertiga," ungkap riang gadis manis bertubuh mungil itu sambil menyodorkan keranjangnya. "Terima kasih," balas Louva sambil tersenyum manis. Meskipun masih sangat baru di perusahaan, tapi ia merasa beryukur karena sudah memiliki beberapa teman yang sangat baik kepadanya."Eh iya, ada satu lagi nih," tiba-tiba Lissy berucap dengan merogoh kantung kemeja lengan pendeknya yang ujungnya dimasukkan ke dalam rok sepan ketat sepuluh senti di atas
Netra hijau Louva tak berkedip mendengar cerita tentang masa lalu Dahlia, si sundel bolong yang merasuki dirinya dan juga yang mengganggu Pak Elang. Naas sekali nasib perempuan itu. Selama beberapa saat, Louva merasakan duka yang cukup dalam memberatkan dadanya. Duka yang seringkali ia rasakan sebagai manusia indigo yang bukan hanya bisa berkomunikasi dengan makhluk astral, namun juga bisa merasakan rasa sakit dan ketakutan yang amat sangat di saat-saat terakhir kehidupan mereka. Jiwa seorang indigo terhubung dan dapat menyentuh ruang hampa di dalam eksistensi tak kasat mata, sehingga tanpa Louva sadari, sebutir cairan bening telah luruh dari manik hijaunya. Gadis itu tersentak ketika merasakan sebuah jemari kuat telah mendahului untuk menghapus air matanya. Kesiap pun pelan lolos dari bibirnya saat pandangannya bersirobok dengan netra pekat Elang yang menyorotnya teduh."Kamu bisa merasakannya, ya?" Louva mengerjap pelan. Mind-reader ini pasti sedang me
Perlahan, Louva membuka kedua kelopak matanya yang terasa berat. Ia meringis ketika merasakan sekujur tubuhnya yang terasa seperti habis digilas tronton, dan lehernya yang teramat nyeri ketika ia mencoba menelan saliva agar sedikit mengurangi rasa kering di tenggorokannya.Tunggu dulu. Kenapa rasanya ada yang aneh di sini ya?Louva pun mengedip pelan ketika pada akhirnya ia menyadari sesuatu. Sesuatu tentang ingatannya yang terakhir... saat si sundel bolong yang mengaku bernama Dahlia itu... mencekiknya.Louva mengira momen itu adalah akhir hayatnya di dunia, tapi ternyata dia masih hidup!Louva melarikan netranya kesana kemari untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa ia memang masih berada di dunia nyata, bukanlah fana. Dan beberapa saat kemudian gadis itu pun menghembuskan napas lega.Ia sedang terbaring di atas brankar, dengan infus yang menancap di tangan kirinya. Saat ini ia sedang berada di kamar rawat VIP yang sepertinya sudah dirapikan, karena beberapa s
Elang hanya bisa menahan napasnya ketika merasakan bagian lembut dari tubuh Louva menekan kulitnya Gadis indigo itu duduk di pangkuan Elang dan memeluk tubuhnya, dengan dalih untuk memancing si makhluk astral itu keluar. Tapi apa Louva tahu kalau posisi mereka ini sangatlah berbahaya? Meskipun sikapnya sedikit aneh, namun Louva adalah gadis yang cantik dengan tubuh seksi, dan Elang sendiri adalah lelaki yang normal!"Saya melakukan ini agar si makhluk itu keluar, Pak. Nanti kalau dia merayu Bapak lagi, tolong jangan tergoda. Tapi berusahalah untuk mengorek informasi!"Bisikan Louva itu pun malah membuat darah yang mengalir di tubuh Elang semakin memanas. Sial! Apa gadis ini sengaja menggodanya??Louva terkesiap ketika Elang malah mencengkram tengkuknya dan menarik wajahnya hingga berhadapan sangat dekat. "Kalau mau bikin cemburu, jangan nanggung!" Guman Elang dengan matanya yang telah pekat oleh hasrat. Ia menatap bibir Louva yang merah merekah alami.
"Mendingan kita keluar dulu deh," usul Elang sambil menarik tangan Louva keluar dari kamar mandi. Ia tidak bisa menjamin akan tahan untuk tidak menyerang Louva jika mereka masih saja berada di kamar mandi ini. Bayangan sekretarisnya yang menatapnya sayu sambil mendesah dengan suara seksi masih terngiang di pikiran lelaki itu. Oke, sepertinya dia harus meluruskan otaknya dulu sebelum bicara dengan tenang kepada Louva."Baju kamu basah, ganti dulu sana," titahnya kemudian. Louva melirik home dressnya yang mulai setengah kering, lalu memutuskan untuk menggantinya dengan yang baru. Louva membawa sepotong kemeja santai dan celana panjang yang longgar kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Lagi-lagi ia hanya bisa meringis kala melihat pantulan wajahnya di cermin. 'Aku terlihat seperti cewek binal,' pikirnya sambil menoyor kepala sendiri. Bagaimana tidak? Bibirnya bengkak kemerahan seperti habis melakukan ciuman hot dengan durasi yang panjang, dan bagian dadanya dipe
"Selamat pagi! Sarapan untuk Nona Louva Maynara!" Suara cempreng dan riang khas ibu-ibu yang mengantarkan makanan itu, serta-merta membuat Elang yang sedang terbawa suasana intim dengan Louva pun sontak tersadar. Dengan cepat, ia melepaskan pagutan bibir mereka yang semakin panas dan liar. Wajah Louva yang merah karena gairah kini berada begitu dekat dengan wajahnya, membuat Elang tergoda ingin melanjutkan kembali apa yang baru saja ia hentikan.Aaahh!! Rasanya ia ingin sekali memukul kepalanya sendiri, karena tak mampu menolak rayuan maut sosok astral yang menjelma ke dalam tubuh sekretarisnya ini!Efek gairah panas itu pun masih terasa meledak-ledak di dalam dada Elang, juga seperti ada sesuatu yang menggelitik dan merayap di bawah kulitnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya mengerjapkan mata, Elang berusaha mengusir gelora hasrat yang membuat kepalanya pusing karena menginginkan hal yang lebih intim dari sekedar bercumbu.Elang pun mencengk
Baru sekali ini Louva bisa tertidur di malam hari dengan nyenyak.SANGAT nyenyak.Tidak ada drama jam tiga pagi terbangun karena mendengarkan Tiwi si kuntilanak yang nangis dan mimta dipeluk. Tak ada Popo si pocong yang suka iseng melompati tubuhnya yang sedang berbaring, tak ada anak kecil dengan satu mata bolong yang suka bertanya dimana mainannya, dan lain-lain.Setelah bertahun-tahun, Louva terbangun di pagi hari itu dengan senyum puas terlukis di bibirnya yang sudah terlihat tidak terlalu pucat lagi.Dengan mata yang masih terpejam, senyum manis pun terlukis di wajahnya.Namun senyum itu seketika memudar, ketika telinganya menangkap sebuah suara gemericik air dari kamar mandi.Serta merta matanya pun terbuka lebar, menampakkan iris emerald yang menatap nanar pintu kamar mandi.'Eh, Pak Elang masih di sini??'Louva mengalihkan wajahnya ke jam dinding yang menunjukkan pukul delapan. Jam kerja di kantornya dimulai
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Louva saat Elang memberitahukan bahwa dirinya adalah seorang mind reader atau pembaca pikiran. Ulangi, Mind-Reader! Catet!! Ingin rasanya Louva tertawa sambil bertepuk tangan untuk candaan bosnya itu yang telah berhasil mengelabuinya hingga dua kali, jika saja kali ini Pak Elang tidak mengucapkannya dengan wajah yang sangat serius. "Pak Elang becanda, kan?" Timpal Louva, masih enggan untuk mengakui jika memang beberapa kali pikirannya seperti dapat dibaca dengan tepat oleh bosnya itu. Elang terdiam sejurus, kemudian ia menggeleng pelan. "Saya tidak bercanda." Gadis itu pun cengo selama beberapa saat, berusaha untuk menyelaraskan otak dan pikirannya saat ini. Menjadi indigo saja adalah sesuatu yang rasanya masih sulit untuk diterima akal sehat, lhaa ini malah bertambah lagi orang yang memiliki kemampuan yang aneh! "Kalau kamu nggak percaya, coba pikirkanlah sesuatu dan biark