Meja persegi panjang di ruang rapat telah penuh dikelilingi oleh para direktur PT. Banta Group. Papa Banta duduk di bagian ujung meja. Sheila melangkah masuk menuju arah kursi yang berada di sisi Banta. Ia menghenyakan punggungnya di sana.
Beberapa pasang mata memerhatikan tidak suka dengan kehadiran Sheila dan berbisik-bisik. Sheila merasakan aura ketidaksenangan akan kehadirannya di situ, ia melirik tajam sekilas ke arah ujung berlawanan dengan papanya.
"Sepertinya saya tidak perlu memperkenalkan siapa yang baru saja hadir, bukan?"
"Mulai sekarang, Sheila akan bekerja di sini," ujar Banta pada para hadirin yang menatap dengan wajah kaku.
Sheila tersenyum tipis ke arah mereka.
Sheila turun dari boncengan. Ia melihat Mak Cik Limah sudah berada di ambang pintu depan dengan wajah cemas dan peluh di dahi. Sheila merasakan panas di sekitar pipinya saat merasa dipergoki Mak Cik Limah.Lain halnya dengan Mak Cik Limah. Ia bahkan tidak memedulikan bagaimana Sheila tiba di rumah. Karena yang ada di benaknya kini adalah kebahagiaan karena Sheila pulang dengan selamat."Ya ampun Sheila! Kau bikin Mak Cik jantungan!" Sesalnya pada Sheila."Sheila… baik saja Mak Cik, " lirih Sheila.Mak Cik limah melirik sekilas pada Zaid. Kemudian ia mengajak ke duanya masuk."Masuklah, " perintahnya pada Zaid.Begitu tiba di dapur, Mak Cik Limah menyuguhkan teh jahe kesukaan Sheila.Ia pun menawari Zaid secangkir. Namun, Zaid menolak. Ia mengambil air putih dingin dari dalam kulkas.Ketika Zaid meletakkan botol air dingin di atas meja makan,
"Zaid itu anak yang baik. Hanya nasibnya saja yang kurang baik." Mak Cik Limah mendesah kasar. "Kalau ayah dan ibunya masih ada, mungkin dia sudah jadi orang sukses di usianya kini." Mata Limah berkaca-kaca menatap ke pada Sheila yang menjadi serba salah karena telah mentertawakan Zaid. Sepertinya Mak Cik Limah memang tak salah mengatakan kalau. Zaid seorang baik karena Sheila telah merasakan kehangatan yang ditawarkan Zaid, meski rasa benci dan dendam kadang masih saja menghantuinya saat melihat Zaid. "Hmm, aku punya ide," batin Sheila. "Mau ke mana Sheila?" tanya Papa Banta yang telah berdiri di hadapan Sheila ketika ia berdiri dan berbalik arah hendak ke luar dari dapur. "Eh, Papa!" Kemudian, Papa mengajak Sheila berbincang di halaman rumah belakang. Sheila duduk di ayunan sambil mengayun ringan. Dan, Papa duduk di sebuah bangku taman sambil menyilangkan kaki. "Sebaiknya kau
Angin berhembus lembut di halaman rumah Sheila. Zaid memasuki gerbang rumah Sheila dengan motor bututnya yang mengeluarkan suara bising dengan asap yang membuat batuk orang di sekitar. Syukurilah ia menggunakan kendaraan itu di Indonesia. Kalau di luar negeri seperti Jepang, mungkin Zaid sudah tidak diizinkan mengendarai kendaraan begitu.Ia mengangguk hormat saat berpapasan dengan penjaga rumah di gerbang utama. Senyumnya ceria dan matanya berbinar penuh semangat. Tidak pernah ia menunjukkan rasa tertindas atau ketidaknyamanan saat memasuki halaman mewah dengan kendaraan yang ia miliki. Zaid tetap bangga pada miliknya sendiri. Ia ingat pesan almarhumah ibu saat ia remaja selalu ingin memiliki sesuatu seperti milik temannya."Zaid, ketahuilah. Syukurilah apa yang kita miliki, maka hidup akan terasa sempurna," Ujar Ibu sambil mengelus bahunya.Zaid yang bersedih karena kerap jadi bahan ledekan teman-teman sebayanya, merasa lebih tenang setiap me
Mana Sheila, Limah?" tanya Banta dengan nada tenang. Namun dari raut wajahnya nampak ketegangan hingga di sana."Se, sebentar saya panggil dulu," Jawab Makcik Limah dan kembali ke kamar Sheila dengan tergesa-gesa."Kau sepertinya gagal menjaga Sheila Zaid." Pak Banta menatap tajam ke arah Zaid."Maafkan saya, Pak." Zaid hanya bisa menatap ujung sepatu Banta.Waduh, ada apa ya? Kenapa Pak Banta marah pada Zaid. Jangan-jangan mau dipecat. Yah, kasihan Zaid. Semua karena ulah Sheila."Lalu, apa rencanamu sekarang?"Zaid menarik napas dan melepaskan dengan kasar."Saya mempunyai keterbatasan, Pak," Keluh Zaid."Saya pikir, Sheila memerlukan penjaga yang lain." Zaid menatap sendu ke arah Banta."Maksud kamu?""Sheila membutuhkan sosok penjaga yang m
"Maafkan saya, Damar," ucap Pak Banta setelah selesai menerima panggilan telepon. "Nggak apa-apa, Om," Damar tersenyum pada Pak Banta. Sementara itu, Sheila mengambil telepon genggamnya dan berfoto selfie di hadapan Damar. "Kamu sudah ngobrol dengan Sheila?" Pak Banta sekarang mengalihkan pandangan ke sisi kanannya. Sheila masih tak acuh pada kedua pria yang duduk bersamanya. Ia masih asyik mengambil foto dirinya dengan berbagai ekspresi. Senyum Damar mengembang melihat tingkah Sheila. Ia ingin tertawa, tapi ia menahannya. Mulutnya pun ditutup dengan telapak tangan. Pak Banta berdehem. Namun, Sheila tetap asyik dengan kegiatannya. Ia mengabaikan kode dari papanya agar menghentikan sikapnya yang kekanak-kanakan. "Sheila. Simpan ponselmu," pinta Papa padanya. Sheila tak mengindahkan permintaan papa. "Sheila!" Bentak Pak Banta membuat Sheila terke
Para santri berbisik-bisik melihat kedatangan Zaid dan Sheila. Beberapa santriwati terlihat menatap sinis ke arah Sheila.Hafiz menarik lengan Zaid. " Apa-apaan kau ini, Za!""Aku harus gimana lagi. Dia memaksa minta ikut kemari." Zaid berusaha menjelaskan."Kau mau menghancurkan popularitasmu sebagai Ustadz? Gila kau!""Bagaimana kalau orang kampung lihat dan memfitnahmu. Kau tau sendiri kan, gimana mulut mamak-mamak sini. Apa yang dilihat, apa pula yang dipikir dan diobrolkan. Belum pula kalau anak-anak mereka mengadu. Mau apa kau kalau mereka meminta pengurus masjid memberhentikanmu mengajar." cerocos Hafiz panjang kali lebar."Fiz, Hafiz. Tenang." Zaid menyentuh bahu Hafiz."Enak saja kau suruh aku tenang." Hafiz menepis tangan Zaid.Saat mereka kembali ke dalam masjid, tampak Sheila yang mengobrol dengan beberapa Santri."Aku boleh bergabung?" tanya Sheila pada Zaid.Zaid menjadi salah tingka
Seperti biasa, Sheila ke kantor diantar oleh Zaid. Ia nampak bersemangat sekali karena nanti sore ia telah berencana mengaji di masjid bersama Zaid.Ia seperti menemukan sesuatu yang hilang saat di masjid. Mengaji, berkumpul bersama teman-teman dan bercerita banyak hal walaupun kadang dia tidak paham, memberikan kesan mendalam. Memberikan pengalaman masa kecil yang tak pernah dimilikinya."Za, jangan lupa janjimu," ia menepuk pundak Zaid sebelum masuk ke kantor Pak Banta. Sekarang sudah jadi kebiasaan, sebelum masuk ke kantornya, ia menyapa Pak Banta dulu."Papa!" teriaknya ketika membuka pintu."Sheila!"Ia mendekati papa dan langsung menghujani Pak Banta dengan ciuman di pipi tanpa memperhatikan ada siapa di ruangan itu."Kamu tidak bisa mengetuk dulu sebelum masuk?""Mana mungkin mengetuk pintu ruangan papaku sendiri," ucapnya sambil bergelayut manja di lengan Papa.Pak Banta geleng-geleng kepala melihat
"Pelan-pelan!" Jerit Sheila."Makanya kalau jalan hati-hati. Kan begini jadinya," omel Zaid."Jangan-jangan kamu sengaja biar dipeluk Damar," imbuh Zaid lagi."Eh, sembarangan kalau ngomong, ya!""Aku nggak serendah itu!""Kalau kau nggak percaya, sudah. Sana pergi." Sheila menepis tangan Zaid yang sedang mengobatinya dengan minyak urut."Percaya atau tidak. Tidak ada bedanya bukan? Aku cuma supir dan penjagamu, saja. Tidak ada yang berubah." Zaid mengambil kembali kaki Sheila ke dalam tangan kiri dan membakarnya dengan tangan kanan.Zaid berusaha menyembunyikan sesuatu di matanya. Ia menghindari mata Sheila yang menatapnya heran. Sheila pun tersadar dan bertanya-tanya dalam hati. Atas dasar apa dia ingin Zaid yakin jika dia tidak menginginkan Damar. Toh, Zaid bukan siapa-siapa baginya. Dia hanya sosok yang berada di sisinya atas dasar materi. Bukan karena perasaan atau ikatan istimewa.Sampai malam tiba, masih terl