Beranda / Romansa / Supirku Sayang / Sheila Harus Menikah

Share

Sheila Harus Menikah

Penulis: Ria Fachria
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-20 22:00:39

Suatu pagi hari yang cerah. Di halaman rumah Sheila yang tertata indah, Papa sedang sarapan pagi di meja makan mungil berwarna putih. Di atas meja itu telah tertata cangkir teh dan teko keramik berwarna putih. Di sampingnya ada roti dan selai yang tersusun rapi. Sheila sedang mengoles rotinya dengan selai kacang kesukaannya.

"Sheila, Papa punya sebuah keinginan. Papa harap, kamu dapat memenuhi keinginan Papa kali ini." Papa meletakkan cangkir teh itu di atas piring kecil yang terletak di meja.

"Kalau Sheila bisa, tentu saja Sheila akan penuhi, Pa," jawab Sheila.

"Papa ingin kamu menikah." Papa memandang lekat ke arah Sheila.

"Papa!" Sheila terkejut dengan permintaan Papa padanya.

"Sheila masih muda, Pa!" 

"Kalau kamu tidak kuliah dan tidak bekerja, sebaiknya menikah saja, Sheila. Supaya hidupmu lebih berarti," ucap Papa.

Sheila menggeleng. Matanya masih mendelik ke arah Papa.

"Sheila nggak Mau, Pa!"

"Kalau kau tidak menikah, Papa khawatir kamu akan terlibat banyak masalah."

"Justru Papa sedang memberikanku masalah dengan menikah." 

"Sheila pun tak sudi menikah dengan orang yang tidak Sheila cintai," katanya penuh emosi.

"Lantas, kamu mau apa? Bikin masalah di sana-sini dan keluar masuk kantor polisi? Kemudian berharap Papa akan datang melepaskanmu? Itu tidak mungkin Sheila. Kau akan mencoreng nama baik keluarga kita. Keluarga BANTA MUSTAFA!" suara Papa terdengar menggelegar.

"Pokoknya Sheila tidak mau menikah!" Sheila melemparkan pisau dan garpu ya ke dalam piring roti. Sehingga terdengar bunyi sendok dan pisau yang berdering saling beradu.

Sheila mendorong kursi putih yang didudukinya. Ia pun meninggalkan Papa yang tertegun memandang anak semata wayangnya berlalu masuk ke dalam rumah. Sheila terus berlari. Ia membjka pintu rumah. Seorang pelayan yang sedang berdiri di dekat pintu tak lepas dari omelannya. Padahal ia yang hampir menabrak pelayan itu.

"Awas kau bodoh!" Cercanya.

Pelayan itu bergerak mundur secepatnya. Padahal ia tadinya hendak membukakan pintu saat melihat Sheila menuju rumah. Namun ternyata Sheila malah memakinya.

Sheila pun setengah berlari menuju kamarnya di lantai atas. Meninggalkan pelayan yang terheran-heran dengan sikapnya. 

"Kenapa, Nak Sheila?" Mak Cik Limah bertanya padanya. Namun Sheila bergeming. Ia mempercepat langkah menuju kamarnya.

Mak Cik Limah hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Sheila yang acuh.

"Sheila benci Papa!" Ia membanting tubuhnya di atas kasur.

Ingatannya mengembara pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Ia menabrak seorang pemuda yang mengendarai sepeda motor. Sekarang ia harus menempuh jalur pengadilan karena pemuda itu tidak mau menerima uang pemberiannya. Hanya karena begitu Papa malah menginginkannya menikah. Apakah Papa menganggap itu solusi permasalahannya?

Oh, Papa! Bukannya menolong malah makin menjerumuskan Sheila dalam masalah. Menikah itu hanya akan membuat Sheila terkungkung. Pastinya ia tak akan bebas kemanapun seperti sekarang. Dengan kondisinya yang tidak bekerja maupun kuliah, apa alasan terbaiknya untuk keluar rumah. Apakah mungkin suaminya nanti akan membiarkannya ke luar hanya dengan alasan berbelanja di mall. Jalan-jalan dan nongkrong bareng teman di cafe-cafe atau pergi ke tempat wisata yang sedang nge-hits kapanpun ia ingin. Semua keinginannya hanya akan jadi mimpi belaka dan ia akan terperangkap dalam penjara yang bernama seorang istri. Ya, ini pasti niat papanya yang ingin mengungkungnya. Dengan menjadi istri, ia takkan bebas pergi sesuka hatinya. Ada suami yang harus ia dapatkan izinnya. Padahal selama ini, ia pergi kemanapun saja tanpa pernah izin pada Papa. Mana mungkin ia akan harus minta izin pada suaminya nanti jika akan bepergian. Terus, bagaimana tipe suami yang akan dijodohkan Papa padanya. Belum tentu lelaki itu akan memberikan kebebasan pada Sheila seperti yang selama ini diberikan Papa. Ah, Papa sungguh tega. Jerit Sheila sambil memukul kasurnya. Ia tidur terlentang dengan muka ditutupi bantal.

Kalau saja di hadapannya itu orang lain, mungkin akan dikeluarkan jurus-jurus untuk membanting Papa ke lantai. Sayangnya yang berkata begitu adalah papanya. Orang yang paling disayanginya sedunia. Meski selama ini ia senantiasa membantah dan mengabaikan permintaan Papa, tetapi ia sangat menyayangi lelaki setengah baya yang telah melakukan apa saja untuknya.

Pak Rahman mendekati Banta. Tangannya diletakkan di punggung.

"Aku kehabisan cara menjinakkan burung merpati ku, Rahman," ucap Papa dengan mata berkaca-kaca.

"Saya paham, Pak."

"Selama ini kau telah banyak membantuku memahami Sheila. Kita telah banyak melakukan kesalahan padanya." 

Kening Pak Rahman berkerut. Wajahnya menunjukkan keprihatinan. 

"Memang tak mudah untuk memahami Sheila, Pak. Saya juga terkadang kehabisan akal menghadapi gadis kecil kita," ungkap Rahman dengan nada khawatir.

"Oleh karenanya, aku ingin menikahkannya saja. Barangkali dengan begitu, prilaku Sheila akan lebih terkontrol." Banta membenarkan letak kaca matanya.

"Kau tahu sendiri, kan? Kondisi kesehatanku bagaimana? Aku tak bisa selalu mendampinginya setiap saat."

"Waktu cepat sekali berlalu. Andai bisa, aku ingin sekali waktu kembali lagi ke masa kecil Sheila. Lalu aku bisa memperbaiki semuanya." 

"Bapak jangan terlalu menyalahkan diri. Tak baik untuk kesehatan jantung Anda." Rahman mengingatkan.

"Mau bagaimana lagi? Dia satu-satunya putriku. Satu-satunya pewaris semua yang kumiliki sekarang. Tentulah aku tak bisa walau barang sejenak melupakan permasalahanya." Banta melanjutkan keluhannya dengan suara serak.

Rahman menganggukkan kepala. Ia selalu setuju pada keputusan Banta. Tak pernah sekalipun Rahman membantah majikannya yang sudah seperti kerabatnya sendiri. Jika perlu berpendapat, ia akan menanti sampai Banta bertanya padanya.

Di dalam rumah, Sheila mulai membuat kegaduhan. Ia melempar beberapa barang. Saat ke dapur mencari Limah ia sempat menghancurkan beberapa piring saat tak dilihatnya Limah di dapur. Lalu, ke halaman. Di sana ia juga tak menjumpai wanita yang telah menggantikan posisi ibunya. Gadis itu mulai merusak beberaap tanaman bunga yang tertata rapi di halaman belakang. Entah apa salah tanaman itu.

Sepertinya semua yang tampak di mata Sheila memiliki kesalahan. Semua tampak menyeramkan hingga wajib dihancurkan. Ia memang memiliki fisik yang kuat. Sheila amat jarnag sakit sejak bayi. Mungkin itu adalah sebuah karunia dari Tuhan. Ia boleh tak punya ibu, namun terhibur dengan fisik yang sehat dan kuat. Walaupun selama ini ia sering abai dengan makanan yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. Namun atas izin Tuhan, belum pernah Sheila merasakan sakit hingga sampai merasakan jarum infus sekalipun. 

"Kalian ini bodoh atau gimana, sih. Masak dari tadi ditanya di mana Mak Cik Limah nggak ada yang tahu," cecar Sheila pada beberapa pelayang di dapur.

"Ada apa Sheila?" Tiba-tiba suara Mak Cik Limah terdengar di belakang Sheila. 

Mak Cik Limah tersenyum melihat Sheila. Gadis itu sangat jarang mencarinya ke dapur. Pasti ada hal mengganjal yang tak bisa dileraikan sejak tadi.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Supirku Sayang   Kembalinya Zaid 

    Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta

  • Supirku Sayang   Perhatian Zaid

    "Assalamualaikum," terdengar suara salam di ambang pintu. Daun pintu masih terbuka lebar. Di sana ada sesosok pemuda berdiri dan menatap ke arah Aisha dan Sheila dengan raut khawatir. "Kamu kok kemari? ""Huss. kok gitu tanyanya?" Celutuk Aisha. Damar menunduk. Kemudian menatap Sheila. "Masuk Damar," ajak Aisha. Damar mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Ia duduk di samping Aisha dan Sheila. Sheila segera melipat kakinya seakan tak terjadi apapun. "Aww!" jerit Sheila. "Kakimu kenapa? Sini aku lihat." Damar mengarahkan tangannya hendak meraih kaki Sheila. Namun Sheila menepis tangan Damar. "Kenapa?" tanya Damar. "Sakit tau!" bentak Sheila. "Oh, maaf." "Kita ke dokter, ya" ajak Damar. "Enggak! " Tolak Sheila. "Sheila di sini aja,""Kakimu terluka, bagaimana aku membiarkan kamu di sini?" Damar kembali membujuk. "Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh."Aisha memberi kode dengan kedipan mata pada Sheila agar ia menurut. Aisha tahu kondisi kaki Sheila tidak baik-baik saja

  • Supirku Sayang   'Not Your Business'

    "Kami dan Damar baik-baik saja, kan?" Zaid bertanya kembali."Kenapa aku harus bercerita padamu?" Kilah Sheila."Lalu kamu mau cerita sama siapa? Memangnya kamu punya teman selain aku?" "Not your business," kilah Sheila lagi."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Zaid mohon izin."Eh, Zaid kamu mau kemana?" "Kamu nggak mau cerita ke aku. Untuk apa lagi aku berada di sini?" "Kamu mau mendengar ceritaku?" "Tentu saja, Sheila. Sampai kapanpun, walaupun aku bukan supirmu lagi aku tetap mau mendengar ceritamu." "Kamu mau kuajak ke suatu tempat?" Mereka berdua pun mampir di sebuah waduk yang indah dekat masjid. Mereka duduk di rerumputan di tepi waduk."Dulu, ibuku sering mengajakku main di tepi waduk ini." Cerita Zaid. "Ketika mulai remaja, aku sering menghabiskan waktu membaca dan menulis di tepi waduk ini. Bagiku waduk ini adalah taman bermain yang tak pernah dapat kuraih seperti anak-anak lain." Zaid mulai bercerita."Dan keindahan waduk ini masih sama seperti dulu." Zaid men

  • Supirku Sayang   Makan Siang

    Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah

  • Supirku Sayang   Pertama Bagi Sheila

    "Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras

  • Supirku Sayang   Pertengkaran Sheila dan Damar

    "Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status