Share

Perjodohan

Author: Ria Fachria
last update Last Updated: 2021-12-03 19:42:51

"Mak Cik dari mana saja?" Wajah Sheila memerah karena amarah.

"Mak Cik baru belanja." Mak Cik Limah meletakkan barang belanjaannya. 

Sheila memindai sejenak barang belanjaan Mak Cik Limah. 

"Duduklah. Mak Cik akan buatkan teh untukmu." Mak Cik Limah mengambil 2 cangkir di lemari dapur dan menatanya di atas nampan. Kemudian menyeduh teh dan menuangkannya ke dalam cangkir.

Sheila menanti Mak Cik Limah di meja makan dengan sambil sesekali mengetuk-ngetuk meja makan dengan tangannya.

"Sudah, marahnya?"

Mak Cik Limah meletakkan nampan berisi dua cangkir teh di atas meja. Mengarahkan secangkir untuk Sheil, dan mengambil secangkir untuknya.

"Sheila benci Papa!"

Sheila mengetuk meja dengan jari tergenggam.

"Minum dulu tehnya," ujar Mak Cik Limah.

Sheila menghidu aroma teh sesaat setelah mengangkat cangkir. 

Matanya terpejam. Seketika ia merasa lebih rileks sekarang.

"Teh apa ini Mak Cik? Aromanya menyenangkan."

Ia menghirup pelan aroma teh tersebut. 

"Enak, kan?"

"Sudah mendingan sekarang?"

Sheilla mengangguk.

"Mak Cik, bilang dong sama Papa. Sheila nggak mau menikah. Kalau Sheila menikah nanti, Sheila ingin menikah dengan orang yang Sheila cintai,"

"Mak Cik paham," ucap Mak Cik Limah.

Sheila mengambil tangan Mak Cik Limah.

"Mak Cik adalah satu-satunya orang yang bisa Sheila andalkan." Kini Sheila tersenyum lega. Ia yakin Mak Cik Limah pasti akan berpihak padanya. Wanita itu akan melindunginya seperti anaknya sendiri. 

Sheila pun meninggalkan dapur dengan perasaan lega setelah menyeruput teh manis hingga tandas.

Sambil berjalan dengan riang gembira, ia menuju kamarnya. Namun, seseorang memanggil namanya saat berada di anak tangga pertama.

"Sheila!" 

Banta berjalan ke arah Sheila.

"Hari ini jangan ke mana-mana. Persiapkan diri kamu. Nanti malam akan ada tamu yang datang," kata Banta sambil menyentuh bahu Sheila.

"Siapa?" Kening Sheila berkerut. Dalam hati ia berharap, jangan sampai Papa menjodohkannya malam ini. Walaupun ia tak yakin betul dengan perasaan setelah apa yang diucapkan papa tadi di taman.

Banta membenarkan letak kacamatanya. Kemudian ia meninggalkan Sheila dengan seribu tanya.

"Papa!" 

Banta menghentikan langkah saat mendengar suara Sheila.

Sheila kini berjalan mendekati Papa Banta.

"Acara apa, Pa?" 

"Bukan acara perjodohan, kan?"

"Karena Sheila udah bilang tadi, kalau Sheila tak ingin menikah." Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan Papa Banta menuju kamarnya di lantai dua.

Papa Banta hanya bisa menatapnya dan mendesah pelan. 

"Aku harus memikirkan cara agar tidak perlu menghadiri perjodohan nanti malam," gumam Sheila.

Ia berbaring di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tangan sebagai bantal.

"Kak Sheila mau ke mana?" tanya seorang penjaga rumah saat Sheila tiba di pintu pagar dan menanti dibukakan oleh penjaga rumah.

"Bukan urusanmu."

"Cepat bukakan gerbangnya!" Bentak Sheila.

"Maaf Kak. Pesan dari Pak Banta, Kakak tidak diizinkan pergi," 

"Br*ngs*k."

"Kamu berani membantahku, ya!" 

"Maaf Kak. Saya hanya menjalankan perintah Papa Kakak."

"Buka!" 

"Buka nggak!" Shela memukul setir mobilnya.

Seorang penjaga berinisiatif menelepon Papa Banta.

Kemudian, dua orang penjaga berpakaian serba hitam datang dari dalam rumah. Mereka memegang kedua tangan Sheila dan memasukkan paksa Sheila ke dalam mobil. Mereka mengambil alih paksa mobil Sheila dan mengemudikan mobil itu kembali ke garasi rumah. 

Sheila yang duduk di jok belakang hanya bisa marah-marah sambil memaki kedua penjaga. Ia pun menendang-nendang kursi supir dan melemparkan tasnya ke arah salah satu pengawal.

Saat mobil berhenti tepat di dalam garasi, Sheila segera membuka pintu mobil dan membanting pintu dengan keras hingga kedua penjaga terperanjat karena kaget.

Sheila berjalan cepat ke arah pintu dan ternyata di depan pintu sudah ada Papa Banta dan Pak Rahman menanti kehadirannya.

Papa tersenyum pada Sheila. Namun Sheila tak menggubrisnya, ia melewati kedua lelaki yang berdiri di depan pintu dengan menerobos paksa di tengah mereka. 

"Sheila!'

Suara Papa menghentikan langkah cepatnya.

"Dandan yang cantik ya," ucap Papa Banta seakan tak ada yang terjadi pada Sheila.

"Papa j*h*t. Sheila benci sama Papa!" Ia berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya meninggalkan kedua lelaki itu yang termangu menatapnya. 

Banta hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah putri semata wayangnya. Sementara Rahman, menatap punggung gadis itu dengan kening berkerut. Sekilas melirik tuannya semakin membuatnya cemas akan hubungan ayah dan anak ini.

"Hah! S**l*n." 

Sheila merebahkan tubuh dan memukul-mukul kakinya ke kasur. Terakhir, kedua tangannya ikut memukul kasur yang amukannya kali ini. 

"Aku nggak boleh gagal. Aku harus memikirkan cara lain untuk kabur," lirih Sheila.

Kemudian ia tampak mondar-mandir di kamar. 

Matahari telah terbenam sejak tadi. Sheila semakin cemas. Ia benar-benar tak ingin berjumpa dengan pria yang dijodohkan Papa Banta sama sekali. Ini bukan untuk yang pertama sekali Papa Banta mencoba menjodohkannya dan untuk kesekian kalinya juga, Sheila selalu menghindari acara perjodohan yang telah siapkan Papa.

Netra Sheila memandang lama kasur. Dalam pikirannya terlintas sebuah ide. Terlihat dari mata Sheila yang nampak berbinar. Sheila memiringkan kepalanya.

Ia mengangkat tangan kanan yang semula terlipat di depan dada. Jemari lentik itu mulai menyentuh dagu. Ia berhenti sejenak di depan kasur yang berhiaskan seprai berwarna putih bersih.

Tidak lama kemudian, Sheila telah berada di tali-temali yang terbuat dari seprai yang disambung dengan satu sama lain dan dijulurkan ke luar jendela kamar. Kini, Sheila sedang berusaha turun dari kamarnya di lantai dua dengan bantuan seprai kasur. 

Sheila agak kesulitan menyeimbangkan tubuhnya karena sesekali angin berembus menggoyangkan tali seprai. Hingga kemudian ia merasa tempatnya bergantung itu mulai stabil dan mudah untuk dilalui. Ia pun dapat turun dengan mudah. 

Saat telah tiba di bawah, seorang pemuda bertopi terlihat menantinya sambil memegang seprai. Pemuda itu tersenyum.

"Selamat datang!" Ujarnya membuat Sheila menciut. 

"Lepaskan aku!" 

"Kamu mau ke mana nona manis."

"Tak baik seorang gadis kabur dari rumah di malam hari."

"Aku tidak kabur!"

"Lalu, apa itu seprei yang bergantung si jendela?"

"Aku akan memberikanmu apa yang kau mau asalkan kau tutup mulutmu," tawar Sheila pada pemuda itu.

"Hah, apa tidak ada cara lain selain mengiming-imingi dengan harta?" Zaid tersenyum sinis pada Sheila.

"Kau!"

"Sudahlah. Ayo masuk. Papamu akan kebingungan mencarimu,"ajak Zaid.

"Sebenarnya kenapa kau kemari?" 

"Aku?"

"Papamu mengundangku," 

"Apa?" 

"Ayo masuk!" Ajak Zaid.

"Hei, tunggu dulu. Untuk apa Papa mengundangmu?" 

"Bukan urusanmu nona," jawab Zaid dengan sinis.

"Ayo kita masuk sekarang," perintah Zaid lagi.

"Nggak!" Sheila tetap membantah.

"Tidak baik seorang gadis sendirian di luar ," nasihat Zaid.

"Nggak usah sok ceramah, deh!" Bentak Sheila.

"Hei, lepaskan aku!" Bentak Sheila lebih keras.

"Maafkan aku. Ini demi kebaikanmu sendiri." 

Zaid menarik lengan Sheila. Ia memaksa Sheila mengikuti langkahnya masuk ke rumah. 

Di tengah perjalanan menuju ruang tamu, mereka berpapasan dengan Mak Cik Limah. Ternyata Mak Cik Limah mendengar keributan antara mereka dari jendela kamar Sheila. 

"Lepaskan!" Shelai menghentakkan lengannya saat mereka berhentidi depan Mak Cik Limah.

"Ada apa ini?

Sheila mengabaikan pertanyaan Mak Cik Limah ia bergegas masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, Papa Banta, Pak Rahman dan beberapa orang telah berada di ruang tamu.

Apakah tamu yang diundang Papa untuk acara perjodohan itu telah datang? 

Mata Sheila menyipit menatap ke arah penghuni ruang tamu di hadapannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Supirku Sayang   Kembalinya Zaid 

    Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta

  • Supirku Sayang   Perhatian Zaid

    "Assalamualaikum," terdengar suara salam di ambang pintu. Daun pintu masih terbuka lebar. Di sana ada sesosok pemuda berdiri dan menatap ke arah Aisha dan Sheila dengan raut khawatir. "Kamu kok kemari? ""Huss. kok gitu tanyanya?" Celutuk Aisha. Damar menunduk. Kemudian menatap Sheila. "Masuk Damar," ajak Aisha. Damar mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Ia duduk di samping Aisha dan Sheila. Sheila segera melipat kakinya seakan tak terjadi apapun. "Aww!" jerit Sheila. "Kakimu kenapa? Sini aku lihat." Damar mengarahkan tangannya hendak meraih kaki Sheila. Namun Sheila menepis tangan Damar. "Kenapa?" tanya Damar. "Sakit tau!" bentak Sheila. "Oh, maaf." "Kita ke dokter, ya" ajak Damar. "Enggak! " Tolak Sheila. "Sheila di sini aja,""Kakimu terluka, bagaimana aku membiarkan kamu di sini?" Damar kembali membujuk. "Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh."Aisha memberi kode dengan kedipan mata pada Sheila agar ia menurut. Aisha tahu kondisi kaki Sheila tidak baik-baik saja

  • Supirku Sayang   'Not Your Business'

    "Kami dan Damar baik-baik saja, kan?" Zaid bertanya kembali."Kenapa aku harus bercerita padamu?" Kilah Sheila."Lalu kamu mau cerita sama siapa? Memangnya kamu punya teman selain aku?" "Not your business," kilah Sheila lagi."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Zaid mohon izin."Eh, Zaid kamu mau kemana?" "Kamu nggak mau cerita ke aku. Untuk apa lagi aku berada di sini?" "Kamu mau mendengar ceritaku?" "Tentu saja, Sheila. Sampai kapanpun, walaupun aku bukan supirmu lagi aku tetap mau mendengar ceritamu." "Kamu mau kuajak ke suatu tempat?" Mereka berdua pun mampir di sebuah waduk yang indah dekat masjid. Mereka duduk di rerumputan di tepi waduk."Dulu, ibuku sering mengajakku main di tepi waduk ini." Cerita Zaid. "Ketika mulai remaja, aku sering menghabiskan waktu membaca dan menulis di tepi waduk ini. Bagiku waduk ini adalah taman bermain yang tak pernah dapat kuraih seperti anak-anak lain." Zaid mulai bercerita."Dan keindahan waduk ini masih sama seperti dulu." Zaid men

  • Supirku Sayang   Makan Siang

    Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah

  • Supirku Sayang   Pertama Bagi Sheila

    "Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras

  • Supirku Sayang   Pertengkaran Sheila dan Damar

    "Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status