Sheila dan Arkan
Sheila mengabaikan pertanyaan Mak Cik Limah ia bergegas masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, Papa Banta, Pak Rahman dan beberapa orang telah berada di ruang tamu.
Apakah tamu yang diundang papa untuk acara perjodohan itu telah datang?
Mata Sheila menyipit menatap ke arah penghuni ruang tamu di hadapannya.
Mak Cik Limah menyampaikan kalau mereka sudah bisa menikmati makan malam.
Banta mengarahkan para tamu ke ruang makan. Sheila masih mematung saat semuanya telah beranjak ke ruang makan. Papa memandang Sheila memberi kode agar ia menyusul ke ruang makan.
Sheila celingukan seakan mencari seseorang.
"Hei, kamu! Tunggu hukuman dariku!" Telunjuknya diarahkan ke wajah pemuda bermata sendu yang sedari tadi masih berada di belakangnya. Lantas, Sheila melengos dan meninggalkan Zaid yang tak berkedip menatap punggungnya.
Andaikan saja dia bukan seorang gadis, Zaid ingin sekali melabraknya. Apalagi kini, ia telah resmi diterima sebagai supir Sheila yang akan bekerja pertama kali esok pagi. Zaid menarik napas dan melepaskannya perlahan. Lantas, ia mengikuti Sheila ke ruang makan dengan langkah teratur.
Ketika Sheila memasuki ruang makan, terdengar suara tawa membahana. Sepertinya mereka amat bahagia malam ini. Berbeda dengan sekali dengan suasana hati Sheila. Sedikitpun tak ada senyum terukir di wajah gadis itu.
"Kak Sheila." Zaid memanggil Sheila. Namun Sheila urung mengalihkan pandangan padanya. Mungkin terkesan tidak baik ia memanggil majikannya begitu. Namun ia harus menyelamatkan harga diri majikannya di depan para tamu. Apalagi ini adalah pertemuan perjodohan. Ia ingin Sheila memperbaiki dandanannya yang telah berantakan karena dia turun lewat jendela kamar tadi.
Karena Sheila tak kunjung berhenti mendengarkan panggilannya, Zaid mempercepat langkah dan segera menarik lengan Sheila agar gadis itu menghentikan gerakannya. Sheila ternyata tak suka disentuh dari belakang. Dengan sekali gerakan, ia membanting Zaid ke lantai. Gerakan itu spontan ia lakukan karena Sheila memang atlet bela diri terlatih yang pernah beberapa kali memenangkan kejuaraan saat masih di bangku sekolah.
Sheila lantas berbalik dan menatap Zaid yang terkapar di lantai.
"Jangan sekali-kali berani menyentuhku dari belakang atau rasakan akibatnya!" Ancam Sheila dengan nada suara rendah dan memicingkan mata.
Zaid hanya memandang Sheila tak percaya pada apa yang telah dilakukan gadis itu. Ia tak menyangka kalau Sheila seganas itu. Pikirnya, Sheila hanya marah-marah, mengomel dan memaki. Namun ternyata ia juga main fisik. Zaid sampai bertanya-tanya dalam hati akankah ia sanggup bekerja pada gadis yang begini beringas? Wajahnya memang tampak lugu dan imut. Namun, ketika ia bertingkah bikin bulu kuduk merinding.
Zaid berusaha bangkit dengan menahan rasa sakit di tubuh. Sementara itu Sheila menyibakkan rambut dan kembali melangkah ke arah meja makan.
Langkahnya terhenti sejenak saat menyadari bahwa adegan antara ia dan Zaid tadi menjadi tontonan mereka yang duduk di meja makan. Pantas saja Sheila tak mendengar lagi suara mereka mengobrol dan tertawa saat Zaid dibanting tadi.
Sheila berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya dan mulai melangkah kembali setelah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Semua pasang mata memandang gadis itu tanpa lepas. Sepertinya mereka tak menyangka gadis secantik Sheila mampu berbuat setega itu pada lelaki.
Papa Banta menatap Sheila dari balik kaca matanya dengan tatapan mengintimidasi. Nampak jelas kalau dia tak berkenan dengan perilaku Sheila sekarang.
Tidak ada lagi yang berbicara sepatah kata pun. Tidak ada lagi suara tawa yang memecah keheningan rumah Sheila. Semua sibuk dengan isi di piring masing-masing. Sheila hanya duduk sampai Mak Cik Limah datang dan menawarkan diri mengisi piring Sheila yang masih kosong.
"Tidak usah Mak Cik, Sheila nggak lapar." Sheila lalu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
Papa Banta melirik Sheila sambil memotong stik daging di piring. Rahangnya mengeras menahan amarah melihat tingkah laku putri kesayangannya.
"Makanlah sedikit," ujar Banta setelah mengunyah potongan daging.
"Nggak lapar," jawab Sheila ketus.
"Sepertinya Nak Sheila sedang diet, Pak Banta," bela Bu Retno yang duduk tepat di depan Sheila.
"Ehm, Papa belum mengenalkanmu pada tamu kita malam ini. Ini Bu Retno, mamanya Arkan. Dan di sebelahnya Pak Wahyu, suami Bu Retno. Dan, itu Arkan. Dia sekarang membantu perusahaan cabang papanya di sini."
Arkan mengangguk hormat pada Sheila. Gadis itu menanggapi moment perkenalan itu dengan datar. Tak ada ekspresi apapun di wajah cantiknya.
"Oh, ternyata kamu cuma anak manja yang memanfaatkan orang tuamu."
Sheila mulai melancarkan serangannya. Begitulah ulahnya. Ia selalu berusaha membuat calon suami yang dikenalkan Papa Banta agar tak menyukainya.
Namun, perkataan Sheila hanya ditanggapi senyum sinis oleh Arkan.
Bu Retno terperangah dengan perkataan yang ke luar dari bibir mungil Sheila. Ia merasa tidak pantas seorang gadis secantik dan se mungil Sheila mengucapkan kalimat yang menghinakan orang lain begitu. Sementara Pak Wahyu hanya mengerutkan keningnya tak paham dengan ucapan anak koleganya.
Papa Banta sendiri terlihat salah tingkah dan menggenggam kedua telapak tangannya dengan raut wajah pias. Kalau saja dia tak terkenal dengan sikapnya yang berwibawa, ingin sekali rasanya ia menarik Sheila dan memarahi gadis itu di hadapan para tamu.
"Huh, aku dengar ada gadis yang suka kelayapan dan hanya bersenang-senang dengan harga orang tuanya. Aku masih kalah manja dari dia, karena aku harus bangun pagi sekali dan pulang sampai matahari terbenam demi reputasi perusahaan ayahku,"
Wajah Sheila memerah mendengar ucapan lelaki di sebelahnya. Jemarinya menggenggam erat garpu yang sedari tadi di permainannya.
Arkan melanjutkan suapan nasi ke mulutnya. Ia tampak tak peduli dengan sikap gadis di sampingnya.
"Namanya juga perempuan ya, Nak Sheila, tidak apa lah kalau tidak bekerja. Kan, yang wajib mencari nafkah itu lelaki." Bu Retno seakan tahu kalau Sheila tersinggung dengan ucapan Arkan. Ia berusaha mencarikan suasana pertemuan mereka.
"Aku hanya memanfaatkan uang Papa, agar tidak dihambur-hamburkan untuk perempuan binal di luar sana." Sheila menatap tajam pada Bu Retno.
"Ternyata anak Pak Banta tak hanya cantik, namun juga cerdik," puji Bu Retno.
"Cerdik atau licik?" Arkan melirik Sheila dengan sinis.
"Dasar br*ngs*k! Kau menuduhku licik?"
Sheila mulai tersulut emosi. Ia bangkit dari duduknya. Garpu yang sedari tadi di genggamannya sekarang mengeluarkan bunyi karena gesekan dengan lantai rumah.
"Bukannya kau duluan yang mengataiku manja?" Arkan tidak mau kalah. Mereka kini berhadap-hadapan. Kedua tangan Arkan dilipat di depan dada. Begitu juga dengan Sheila.
Bu Retno bangkit dan berjalan menuju sepasang muda-mudi yang dirundung emosi di depannya.
"Sheila dan Arkan, sebaiknya duduk dulu. Tak baik berbicara sambil berdiri di depan meja makan begin."
Bu Retno hendak menyentuh tangan Sheila. Namun gadis itu mengabaikannya dan melangkah maju semakin mendekati Arkan.
Seperti apa kelanjutan hubungan Sheila dan Arkan ini ya? Sepertinya mereka berdua ya?
Bersambung...
Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta
"Assalamualaikum," terdengar suara salam di ambang pintu. Daun pintu masih terbuka lebar. Di sana ada sesosok pemuda berdiri dan menatap ke arah Aisha dan Sheila dengan raut khawatir. "Kamu kok kemari? ""Huss. kok gitu tanyanya?" Celutuk Aisha. Damar menunduk. Kemudian menatap Sheila. "Masuk Damar," ajak Aisha. Damar mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Ia duduk di samping Aisha dan Sheila. Sheila segera melipat kakinya seakan tak terjadi apapun. "Aww!" jerit Sheila. "Kakimu kenapa? Sini aku lihat." Damar mengarahkan tangannya hendak meraih kaki Sheila. Namun Sheila menepis tangan Damar. "Kenapa?" tanya Damar. "Sakit tau!" bentak Sheila. "Oh, maaf." "Kita ke dokter, ya" ajak Damar. "Enggak! " Tolak Sheila. "Sheila di sini aja,""Kakimu terluka, bagaimana aku membiarkan kamu di sini?" Damar kembali membujuk. "Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh."Aisha memberi kode dengan kedipan mata pada Sheila agar ia menurut. Aisha tahu kondisi kaki Sheila tidak baik-baik saja
"Kami dan Damar baik-baik saja, kan?" Zaid bertanya kembali."Kenapa aku harus bercerita padamu?" Kilah Sheila."Lalu kamu mau cerita sama siapa? Memangnya kamu punya teman selain aku?" "Not your business," kilah Sheila lagi."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Zaid mohon izin."Eh, Zaid kamu mau kemana?" "Kamu nggak mau cerita ke aku. Untuk apa lagi aku berada di sini?" "Kamu mau mendengar ceritaku?" "Tentu saja, Sheila. Sampai kapanpun, walaupun aku bukan supirmu lagi aku tetap mau mendengar ceritamu." "Kamu mau kuajak ke suatu tempat?" Mereka berdua pun mampir di sebuah waduk yang indah dekat masjid. Mereka duduk di rerumputan di tepi waduk."Dulu, ibuku sering mengajakku main di tepi waduk ini." Cerita Zaid. "Ketika mulai remaja, aku sering menghabiskan waktu membaca dan menulis di tepi waduk ini. Bagiku waduk ini adalah taman bermain yang tak pernah dapat kuraih seperti anak-anak lain." Zaid mulai bercerita."Dan keindahan waduk ini masih sama seperti dulu." Zaid men
Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah
"Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras
"Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S
Mentari mengintip dari jendela kamar Sheila yang lebar dengan gorden putih.Gadis mungil itu masih meringkuk dalam selimut tebal. Ia meninggalkan kewajiban sebagai muslim yang mulai rutin ia lakoni. Semua sejak bertemu Aisha. Gadis itu telah menginspirasi banyak perubahan pada diri Sheila dalam semalam. Pak Rahman dan Makcik Ramlah sudah berada di sisi pembaringan Sheila. Mereka telah berulang kali membangunkannya. "Apa sih," gerutu Sheila masih dengan netra terpejam."Sheila. Kenapa belum bangun? Sheila udah ketinggalan waktu subuh kalau begini. Katanya mau rajin salat. Gimana sih, Sheila!" cecar Mak Cik Limah. "Sheila juga harus ke kantor," tambah Pak Rahman yang sedang menyingkap gorden kamar Sheila."Ahhh, Sheila nggak mau," rajuknya."Eh kenapa sih ini." Mak Cik Limah mengerutkan dahi."Tadi malam senang. Sekarang berubah. Sheila kenapa, sih?" cecar Makcik Limah."Sheila capek." Sheila memeluk selimut tebalnya."Kamu harus ke kantor. Nggak ada libur." Pak Rahman bersitegas."E
Terdengar suara tawa gembira dari ruang makan rumah Sheila. Di sana ada Pak Banta, Sheila, Damar dan orang tuanya sedang makan siang sembari berbincang ringan."Saya berharap kalau Sheila kelak akan bahagia bersama Damar."Sheila tampak tersenyum simpul mendengar uraian papanya."Saya akan membahagiakan Sheila, Om. Jangan khawatir. Meski banyak gadis yang mengejarku, hanya Sheila di hatiku." Mereka pun kembali larut dalam gelak tawa.Di tempat lain, Zaid terlihat gelisah sendiri. Ia berdiri di tepi pantai dan menatap jauh ombak yang begantian hadir ke permukaan seakan menyapa dirinya dalam kesendirian.Ia berdiri di sisi motor dan memasukkan tangan ke saku celana. Matanya menatap lurus dan hanya membayangkan seseorang yang belakangan ini mengisi harinya. Bukan hanya hari, tapi ia merasa gadis itu pun telah mengisi hatinya. Namun Zaid tak kuasa mengakui dan berusaha sekuat tenaga meredam perasaan yang terlarang itu. Bukankah sangat tak pantas memiliki rasa aneh terhadap majikan sendiri
"Wah, Sheila cantik sekali!" Seru Makcik Limah begitu Sheila tiba di ambang pintu."Zaid yang pilihkan," kata Sheila malu-malu. Makcik Limah sibuk menelisik pakaian Sheila dari ujung kaki sampai kepala.Senyum menghiasi wajah Zaid. Lelaki bermata sipit itu memasukkan tangannya ke saku celana dan menunduk sembari mengulum senyum."Oh, ya!""Selera Zaid memang tinggi.""Tapi. Kenapa Sheila ingin berpakaian begini?" Makcik Limah menelisik wajah Sheila.Sheila menyenggol siku Zaid. Pria itu malah menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal."Enak aja kayaknya," sahut Sheila sebelum berlalu meninggalkan Makcik Limah yang terheran-heran."Heh. Zaid! Kamu apakah Sheila?" Makcik Limah melirik sinis sambil menyenggol siku Zaid."Tidak. Zaid nggak apa-apakan. Sheila tadi minta sendiri. Katanya dia ingin seperti Aisha." Zaid menjelaskan."Aisha?""Istri Hafiz. Teman Zaid." jawab Zaid."Ah. Semoga itu yang terbaik buat Sheila. Makcik senang aja jika itu memang keinginannya sendiri." Makcik Lim