Share

1. Kartu Rencana Studi

Februari 2009,

Gienka berdiri di depan pintu ruang 16, kantor dosen Sastra Inggris. Di depan pintu berbahan kayu yang sudah terlihat tua itu tergantung sebuah papan kayu kecil bertuliskan:

Speak English, please!

Jadi memang tulisan itu adalah salah satu peraturan mutlak bagi semua mahasiswa Sasing (Sastra Inggris). Mereka harus menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi saat masuk ke kantor dosen.

Ada beberapa mahasiswa yang protes terhadap aturan ini, karena di dalam kelas pun mereka sudah full menggunakan Bahasa Inggris, lantas di kantor masih juga harus menggunakan Bahasa Internasional tersebut. Namun tentu saja protes itu tidak digubris. Toh peraturan itu dibuat demi mereka juga agar Bahasa Inggris mereka lebih fasih.

Gienka menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia mengangguk mantap dan kemudian mengetuk pintu yang terbuka itu.

Tok..tok..tok..

"Excuse me?"

Tidak ada sahutan.

Tok..tok..tok..

Dia mengetuk sekali lagi namun tetap tak ada jawaban.

Dia menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan yang memiliki 8 meja itu.

Kosong.

"Hayo loh.. Lagi cari siapa?" punggungnya ditepuk oleh seseorang dari belakang.

"Astaga, Mbak. Kaget aku." Gienka mengusap dadanya.

Mareta tersenyum jail.

"Halah, gitu aja kaget," ucap Mareta.

"Ya kaget lah Mbak, orang Mbak Maret datang langsung tepuk punggungku. Mana aku gak denger lagi tadi suara langkah kaki Mbak."

Mareta yang sering di panggil Maret itu pun cengengesan. Wanita muda ini adalah petugas administrasi jurusan Sasing. Para mahasiswa Sasing akrab dengannya. Selain karena usianya yang masih 24 tahun, Mareta adalah orang yang mudah bergaul.

"Anyway, dosen-dosen pada kemana sih?" tanya Gienka heran.

"Masih di bawah, lagi meeting. Mau ke wali studi?" tanya Mareta sambil mempersilahkan Gienka duduk di sofa hitam dekat pintu.

"Iya, Mbak. Aku belum KRS-an nih." Gienka mengeluarkan dua lembar kertas dari tas ransel hitamnya.

"Lah, kemana aja? Hari terakhir baru ngampus. Teman seangkatan kamu udah pada memproses itu loh. Tinggal kamu doang yang belum."

"Ya liburan dong Mbak. Kaya Mbak aja nggak pernah liburan," ejek Gienka.

"Ih, dasar. Watch out!"

Mareta melempar kulit kacang tanah ke arah Gienka.

Namun Gienka berhasil menangkap itu.

"Hey, Mbak. Kalau mau lempar kulit kacang ke aku ya jangan kasih peringatan. Gimana sih, Mbak?"

Gienka tersenyum memamerkan deretan giginya yang sangat rapi. Mareta menepuk jidatnya membenarkan ucapan Gienka.

"Good morning, sir!" sapa Gienka begitu melihat Pak Maruli masuk ke ruangan itu.

"Ah... Good morning, my baby!"

Pak Maruli tersenyum lebar pada Gienka.

Tak perlu berpikir macam-macam. Beliau memang terbiasa memanggil mahasiswanya begitu. Jadi panggilan itu tak berarti apa-apa. 'Baby' disini hanya berupa sebuah panggilan akrab saja.

"Are you waiting for me?" tanya Pak Maruli masih berdiri.

Gienka pun ikutan berdiri.

Iyalah, pak. Kan bapak wali studi saya. Tentu saja bapak yang saya tunggu, batin Gienka.

"Yes, sir. I need you to sign my Course Selection Sheet," jawab Gienka.

Pak Maruli mengangguk.

"Alright, let's go!" ajak Pak Maruli ke meja kerjanya.

"Take a seat!" perintah Pak Maruli.

"Thank you, sir," sahut Gienka. Dia pun duduk. Dia segera menyerahkan KHS dan KRS-nya.

"Let me see!" Pak Maruli membaca dan mulai meneliti dua lembar kertas itu. Dua sesekali menganggukkan kepalanya dan berpikir.

"Hmm... Well done, well done.. You get A for Speaking, A for.....bla bla bla."

Pak Maruli menyebutkan hasil studi Gienka sambil tersenyum manggut-manggut dengan puas.

"You did a great job in your first semester. Your GPA is 3.95. That's wonderful, my baby Gienka!" Pak Maruli bertepuk tangan seperti anak kecil yang berhasil mendapatkan mainan.

Gienka yang melihat tingkah dosen berusia 60 tahun itu pun bingung harus bereaksi seperti apa.

Namun akhirnya Gienka memilih cara yang paling aman, yakni tersenyum.

"You only take 11 courses.

22 credits. Add one more!" titah Pak Maruli.

"But, sir. I can't. History of England has the same day as Listening II," ucap Gienka yang sudah memperkirakan akan diminta mengambil mata kuliah untuk Semester Empat itu.

Pak Maruli memainkan penanya, berpikir sebentar. Gienka masih menunggu.

"No, it's not History of England. Take English for Tourism and Guiding!" ucap Pak Maruli.

Gienka terkejut.

"Sir, that's for Semester six."

"That's why you have to take it." 

Pak Maruli tersenyum dan menambah kode mata kuliah itu, mencoret-coret sebentar sebelum menyerahkan kembali kertas itu kepada Gienka.

Setelah selesai berkonsultasi, Gienka menuju tempat administrasi dan lanjut ke bank terdekat untuk membayar biaya kuliahnya. 

Semua orang pun tau, berkuliah di Universitas Swasta itu jauh dari kata murah. Maka dari itu Gienka berusaha keras agar dapat membanggakan orangtuanya dengan menunjukkan kemampuan maksimalnya. Ini terbukti dari hasil belajar satu semesternya.

***

"Nanti aku kembalikan setelah aku balik," rayu Nendra sambil menggenggam tangan Gienka.

Gienka tak habis pikir, kenapa pacarnya ini sering meminjam uang darinya.

"Tapi pegangan aku tinggal sedikit. Nanti gimana kalau aku lagi butuh sesuatu. Aku nggak mungkin minta papaku lagi." Gienka mencoba memberi pengertian pada Nendra.

"Aku nggak pinjam banyak, caramia. Dua ratus ribu aja. Aku pasti bakal balikin kok. Hari Kamis aku udah balik. Aku kan perginya cuman tiga hari aja."

Nendra mengusap-usap punggung tangan Gienka dan mengendusnya seperti anak kucing. Dia berharap Gienka menyetujuinya.

Gienka pun luluh. Bagaimanapun juga, Nendra adalah orang yang disayanginya.

"Oke, Ra. Tapi beneran yah nanti di balikin?" Gienka meyakinkan dirinya sendiri jika Nendra akan menepati janjinya.

"Iya, caramia. Pasti. Kamu tenang aja. Lagipula ini juga buat masa depan kita. Aku ke Surabaya buat tes kerja, bukan main. Kalau aku dapat kerja, kan kamu juga yang senang. Trust me, ok?" Nendra berusaha meyakinkan Gienka.

Gienka mengangguk. Nggak ada salahnya kan membantu pacar sendiri yang lagi berjuang?

Nendra adalah pacar pertama Gienka. Mereka baru empat bulan berpacaran. Gienka yang baru dalam hal berhubungan dengan lawan jenis pun tak bisa menolak pesona Nendra. Nendra yang tinggi. Nendra yang tampan. Nendra yang perhatian. Nendra yang banyak sekali mengumbar kata-kata manis. Singkatnya, Gienka jatuh hati pada Nendra.

"Ti amo, caramia," ucap Nendra begitu Gienka menyerahkan apa yang dia mau. Nendra memberikan Gienka senyuman termanisnya.

***

Gienka sedang memainkan ponsel baru miliknya, Nokia 6220 classic. Sebuah hadiah dari papanya karena dia berhasil mendapatkan IP (Indeks Prestasi) tertinggi.

"Sayang, Mama mau bicara sebentar, Boleh?"

Amanda, Mama Gienka sudah duduk disamping Gienka yang sedang rebahan di kasurnya.

"Iya, Ma. Ada apa, Ma? Kok serius amat."

Gienka meletakkan ponselnya di nakas dan segera duduk mendengarkan Mamanya.

"Kamu masih sama si Nendra itu?" pertanyaan yang membuat Gienka waspada. Ekspresi Mama terlihat tidak suka.

"Masih, Ma. Tadi ketemu sebentar habis Gienka dari kampus," jawab Gienka.

"Gienka, Mama udah bilang kan, Mama nggak sreg sama dia. Mama nggak suka dia. Dia itu kaya nutupin sesuatu. Dia bukan orang yang jujur, nak," jelas Amanda.

Gienka mulai tak suka arah pembicaraan Mamanya.

"Enggak, Ma. Dia jujur kok. Dia bilang semua apa yang dia lakukan ke Gienka," bantah Gienka.

"Jujur kamu bilang? Dia aja udah bohongi kamu lho, sayang. Bilangnya punya kedai kopi tapi ternyata nggak punya," ucap Amanda dengan menahan emosi.

"Dia punya, Ma. Orang Gienka udah pernah kesana kok. Sekarang lagi tutup aja. Dia lagi nyari kerja. Biar bisa punya modal buat buka kedai lagi, Ma," bela Gienka.

"Kamu itu dibohongi, sayang. Kapan sih kamu mau dengerin Mama?D itu pengangguran nggak jelas," Amanda mulai kesal karena Gienka masih juga membela Nendra.

Mama Gienka memang benar. Nendra telah membohonginya. Di awal pertemuan mereka, Nendra mengaku memiliki sebuah kedai yang sudah dia jalankan selama dua tahun. Saat itu Papa Gienka, Yusuf, ingin datang ke kedai itu. Namun Nendra selalu beralasan. Dan ternyata kedai itu ditutup. Nendra berdalih bahwa kedainya itu baru mengalami kebangkrutan. Tapi tentu saja Papa Gienka sudah tidak mempercayainya lagi. Karena terlihat dari depan, kedai itu sudah lama ditutup dan bisa saja kedai tersebut bukan milik Nendra.

"Bukan kaya gitu, Ma. Kan dia sekarang lagi mencoba bangkit dari keterpurukannya," bantah Gienka.

"Dan asal kamu tau, Gienka. Mama juga ngerti kamu sering kasih duit ke si Nendra itu," kata Amanda.

Gienka kaget. Dari mana Sang Mama mengetahui hal ini.

Dia pun hanya menunduk. Dia tak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan.

"Gienka, kamu perempuan. Nggak sepantasnya kamu memberi uang pada laki-laki. Seharusnya dia itu malu meminta uang seperti itu sama kamu."

"Dia nggak minta, Ma. Dia pinjam." Gienka mulai frustrasi.

"Dibalikin? Seringnya nggak kan?" tebak Mamanya yang ternyata memang benar adanya.

Gienka terdiam. Mamanya benar.

"Kalau Papa kamu sampai tahu hal ini, entah apa yang akan dilakukannya pada pacar kamu itu." 

Gienka masih belum berani menjawab perkataan Mamanya.

Ting tong..Ting tong..

"Ada tamu, Mama bukain dulu. Kita bicara lagi nanti," ucap Amanda 

Gienka hanya bisa pasrah

*****

- Course Selection Sheet: Kartu Rencana Studi (KRS)

- Course: Mata Kuliah

- Credit: Satuan Kredit Semester (SKS)

- GPA (Grade Point Average): Indeks Prestasi Komulatif (IPK)

- Caramia: Sayangku (B. Italia)

- Ti amo: Aku Cinta Kamu (B. Italia)

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status