Share

Bab 8. Hubungan Antara Riana dan Dimas

Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. 

"Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri.

"Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. 

Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.

Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku.

"Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"

Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara  kami. 

Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?"

"Ssttt! Jangan keras-keras kalau bicara." Aku mengarahkan telunjukku pada hidung dan mulutku.

"Kenapa? Siapa dia? Sini suruh ngadepin aku kalau dia jahat sama Mbak! Nggak usah takut Mbak. Ada aku disini."

Roy justru berdiri dan mengedarkan pandangan matanya.

"Roy, duduk! Dimas itu teman kerjaku. Dan Riana itu ibu tirinya Romi."

"Wah, bagus dong. Ayo kita samperin saja, nanyain sertifikat tanah rumah sakit."

"Roy, bukan seperti itu konsepnya. Emak tirinya Romi itu juga aneh. Dia sepertinya juga butuh tanda tangan Romi. Entah buat apa."

Aku menghela nafas lega dan baru menjauhkan tas mungilku dari wajah, saat Dimas dan Riana mulai masuk ke gedung utama kafe dan resto ini.

"Jadi Roy, sambil menunggu makanan datang, bagaimana kalau kamu katakan tentang apa yang telah diceritakan om Andri padamu."

Aku mencondongkan badan ke arah meja kayu dan memandang Roy dengan serius. 

Roy tersenyum menatapku. 

"Jadi papa pernah bilang kalau dia punya teman baik. Namanya Adi Bagaskara. Terus om Adi pernah diselamatkan nyawanya oleh papa saat kuliah waktu pendakian. Karena itu om Adi memberikan sebidang tanah kosong itu pada papa. Papa menerima dengan senang hati."

"Tunggu. Kapan peristiwa itu terjadi?" tanyaku seraya mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk ke atas meja kayu.

Roy mengerutkan dahi. "Papa ceritanya sih setengah tahun lalu. Waktu itu papa bilang tanahnya diberikan oleh om Adi 18 tahun yang lalu."

"Terus kenapa kok nggak langsung balik nama saat itu juga? Terus langsung deh disimpan Om Andri saja sertifikatnya? Kan aman?"

"Nah itu dia! Orang jadul itu suka meremehkan akta tanah. Kalau sudah ada perjanjian lisan, entah kenapa malas ngurus. Main percaya-percaya saja. Baru setelah Om Adi meninggal beberapa tahun lalu, ada beberapa pihak yang mengklaim tanah rumah sakit. Salah satunya keluarga Romi. Dan papa diberi pilihan, membeli tanah itu, menjual murah rumah sakitnya, atau mereka memperkarakannya ke hukum. Makanya papa bingung."

"Terus, kenapa sertifikatnya jadi punya Romi? Sampai sini, aku gak paham."

Roy mengedikkan bahu. "Entahlah. Apa pak Adi tadi ayahnya Romi? Terus Riana adalah ibu tiri yang selingkuh sama Dimas dan mau menguras harta almarhum ayah Romi?"

"Terus kenapa Romi harus pura-pura gangguan jiwa? Atau memang gangguan jiwa beneran?" tanyaku bingung.

"Nggak tahu juga. Mbak nanya aku, aku nanya siapa? Papa juga sepertinya menyembunyikan sesuatu." tanya Roy bertepatan dengan pramusaji yang mengantarkan pesanan kami.

Aku terdiam. "Tidak mungkin hanya sesederhana ini masalahnya. Pasti ada yang masih belum kuketahui. Kenapa Dimas sampai mengejar Romi ke rumah sakit, kenapa Riana malah bekerja sama dengan Om Andri. Padahal Riana bisa saja dicurigai juga ingin memiliki tanah itu."

'Aarggh! Mumet!'

Tanpa sadar aku memijat pelipis. "Mbak, udahlah. Buat apa sih ngurusin orang lain, mbak udah kurus loh. Apalagi ngurusin Romi. Duh gak banget!"

Aku mengangkat kepala memandang Roy. "Kamu benar! Aku makan dulu saja."

Aku mulai menyuapkan sate ke dalam mulutku. 'Wah, rasanya gurih manis. Enak banget!'

Sejenak aku melupakan Romi dan antek-anteknya serta menikmati makanan yang tersaji di depanku.

"Enak Mbak?" tanya Roy sambil mengunyah gurami pesanannya.

"Henak banghet," sahutku sambil mengunyah makanan sehingga pipiku menggembung.

"Makan yang banyak Mbak, biar tambah seksi."

Aku memandang Roy dengan tatapan membunuh. 

"Elu merhatiin body gue? Saru Roy! Gue beri jurus-jurus karate juga lu, gak peduli lu punya bedil!" seruku.

Rasanya nggak nyaman kalau ada laki-laki yang membicarakan masalah bodyku. Karena memang bagian bemper depan dan belakang lebih berisi alias sem*k.

"Tenang Mbak, tenang. Jangan galak-galak. Pantes cantik-cantik tapi gak punya pacar. Galak sih."

Aku manyun, Roy tertawa.

"Cobain gurami ini deh Mbak. Pasti suka."

Roy mencomot sedikit daging gurami lalu mengarahkannya pada mulutku. 

Kepalaku refleks mundur ke belakang. "Aku bisa makan sendiri, Roy," sahutku. Merasa aneh hendak disuapi oleh adik sepupu sendiri.

Roy termangu, tangannya tetap terangkat di udara mendekati mulutku. Tampak kekecewaan tergambar di raut wajahnya. Lalu sedetik kemudian dia tertawa.

"Ayolah Mbak. Tanganku udah telanjur dekat dengan bibir Mbak loh."

Aku memandang Roy ragu. "Hm, oke. Sekali ya kamu nyuapin aku."

Aku membuka mulut. Dan Roy dengan tersenyum menyuapkan daging gurami bakar padaku.

"Wah, enak banget!"

"Ya kan? Nah, ayo dimakan lagi." Roy mendekatkan piring guraminya padaku.

"Roy," 

Mbak,"

Elah, manggilnya barengan. "Apa ada yang mau kamu omongin?" tanyaku.

"Mbak dulu deh," sahut Roy tersenyum.

"Kamu dulu pak Tentara!"

"Nggak. Mbak dulu saja. Lady is first!"

Aku tersenyum. "Kamu setelah makan ada acara gak?" tanyaku pada Roy.

Roy menggeleng. "Nggak ada. Emang kenapa Mbak? Mbak mau jalan-jalan kah?" 

Aku mengangguk. "Iya. Kalau kamu bisa nganter sih."

"Bisalah selama masih di bumi aja. Mau kemana sih?" tanyanya.

"Ke rumah Romi."

Wajah Roy langsung berubah. "Romi lagi. Romi lagi. Kenapa sih kesana? Emang Mbak tahu alamatnya?"

Aku terdiam. Menimbang-nimbang jawaban. Apa Roy bisa menjaga rahasia atau tidak. Tapi lebih baik aku bilang saja ke Roy, tujuannya dan om Andri kan baik, menghalangi dijualnya tanah rumah sakit. Lagipula dua kepala untuk berpikir tentu lebih baik daripada satu kepala.

"Ini rahasia ya." Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semua tentang surat Romi.

Roy mendelik. "Apa kubilang Mbak! Dia itu manipulatif. Ayo besok kita tanya dimana sertifikat rumah sakitnya."

"Jangan Roy. Om Andri dan Dimas yang kulihat tadi sudah memperingatkanku tentang bahaya ikut campur urusan ini. Lebih baik kita selidiki diam-diam saja. Okey? Karena itu tolong antar aku ke rumah Romi setelah makan malam ini."

Roy mengangguk. "Tapi kata Mbak Yulia tadi ibu tirinya Romi ada disini. Gimana kalau menunggu mereka pulang?"

"Iyalah. Ya sudah, ayo kita makan lagi," tukasku.

Roy mengangguk dan mulai mengunyah makanannya lagi.

"Roy, kamu tahu nggak alamat rumahnya temen Om Andri yang namanya Om Adi Bagaskara tadi?"

Roy menggeleng. "Terakhir diajak ke sana sih waktu SD, sebelum om Adi meninggal. Lupa sih mbak sepertinya. Apalagi sekolahku kan jauh dari sini. Kost lagi. Jarang jalan-jalan di daerah sini."

Aku manggut-manggut."Eh, kamu tadi sepertinya mau ngomong sesuatu kan? Sekarang giliran kamu ngomong Roy!"

Roy menatapku dengan pandangan aneh lalu sejurus kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Gak jadi. Gak penting kok. Lain kali saja," sahut Roy menyesap kopinya.

"Ya sudah kalau begitu," tukasku.

"Eh iya Mbak. Tahu nggak kota apa yang paling kecil di Indonesia?" 

Aku mengerutkan dahi. "Nggak tahu, Roy. Emang apa jawabannya?"

"Jawabannya adalah hatiku," kata Roy tersenyum. 

"Kok bisa sih?" Aku bertambah bingung.

"Karena penghuni hatiku cuma 1 orang. Yaitu Mbak Yulia!"

Aku tertawa terbahak-bahak. "Kamu kok ketularan Romi sih Roy. Aneh tahu."

"Baru tadi baca di g****e," jawab Roy polos membuatku semakin ingin tertawa.

***

Akhirnya kami membuntuti mobil Dimas. Dan sampailah mereka di rumah besar dengan gerbang tinggi warna hitam. Dua orang satpam segera membuka pintu gerbang menyambut kedatangan mobil Riana.

Dan setelah mobil mereka menghilang melalui pintu gerbang, aku menjadi bingung.

"Jam berapa sekarang Roy? Kita jadi ke sana gak?" tanyaku bingung.

"Sekarang sudah jam 21.00. Besok saja Mbak. Aku rasa tidak sopan jika bertamu malam-malam seperti ini."

Aku menghela nafas. "Kamu benar. Tapi, aku ingin turun sebentar dan memastikan itu rumah Romi."

"Kalau begitu, biar aku temani, Mbak."

Aku mengangguk dan membuka pintu mobil lalu berjalan ke arah gerbang.

"Permisi, Pak. Apa benar ini rumah pak Adi bagaskara?" tanyaku ramah menyapa dua orang satpam dari luar gerbang rumah itu.

Kedua satpam itu mendekati aku dan Roy dengan pandangan heran. 

"Salah alamat, Mbak. Ini bukan rumah pak Adi Bagaskara. Ini rumah pak Dion Alexander," jawab salah satu diantara kedua satpam itu ramah.

Kini giliran aku yang bingung. 'Kalau rumah ini punya Romi, seharusnya pemiliknya adalah sang ayah yang bernama Adi Bagaskara, kenapa nama pemilik rumah ini Dion Alexander?' 

Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'

Ada apa sih ini?

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Tuthoy Jho-she
ada ga sih klu mau buka bab berikutnya yg ga berbayar sampe Episode terakhir.penasaran coyy
goodnovel comment avatar
Deyah Aeyu Tw
GK bisa buka bab berikutnya harus bayar ternyata
goodnovel comment avatar
Ninis Nuroidah
bgmn dg part selanjutnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status