Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin, benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!” rutuknya dengan kesal.
Setelah selesai makan mereka bersantai ria duduk di teras rumah, walaupun rumahnya kecil tetapi teras dan halaman rumah kontrakan Suratmin sedikit luas. Terdapat dua buah kursi yang terbuat dari kayu itu, menselonjorkan kedua kakinya yang terasa pegal tadi karena duduk bersila, membuat Siska yang hamil besar sedikit merasa rikeks di tempat itu.Angin yang datang hilir mudik membuat Suratman dan Siska malas beranjak dari tempat duduknya seakan-akan mereka pemilik kontrakan itu.“Sus, enak juga ya di rumah kontrakan kamu, biar dikatakan kecil, sumpek, bau, dan kotor kalau sudah ada angin sepoi-sepoi bawaannya ngantuk melulu, kayak kita lagi di pantai, benar nggak sih Mas?” tanya Siska yang asyik menikmati angin yang melewati dirinya. “Iya, benar kamu Sayang, apalagi ada segelas es teh sama camilan, serasa di pantai benaran loh!” sahutnya yang sengaja minta disediakan yang dia maksud. “Mudah-mudahan mereka masuk angin, jadi nggak ke sini, eh tapi jangan deh, nanti kalau dua-duanya sakit malah aku yang repot, nggak mau ah!” gerutu Susi dalam hati tetapi tangannya sibuk mengangkat jemuran yang sudah kering karena hari ini matahari sangat bersahabat membuat pakaian yang dijemurnya kering semua. Siska pun memperhatikan Susi yang cekatan mengambil pakaian-pakaian itu walaupun sudah hamil besar, tidak membuat aktifitas terganggu akan hal itu, malah lebih agresif dengan pekerjaan rumah tangganya. “Sus, kamu dengar nggak apa yang dikatakan Mas Ratman, minta es teh, tetapi gulanya sedikit saja, usahakan kalau mencari es batu itu kamu harus tahu dia pakai air bersih atau tidak, atau sudah di masak atau belum.”“Kesehatan itu mahal harganya, biaya rumah sakit berapa, kita harus menjaga kesehatan jangan sampai masuk rumah sakit, kalau orang kaya masih bisa bayar coba kalau orang miskin seperti kamu, pasti ujung-ujungnya minta sama saudara pinjam uang!” “Nanti kalau nggak dipinjamkan katanya kita lelit, padahal kita ini dasarnya nggak pelit loh, Sus, cuma malas saja keluar uang begitu aja!” jelasnya panjang lebar, tetapi Susi tidak menghiraukan mereka yang asyik menikmati hari di siang tengah bolong itu. “Sus, kamu dengar nggak sih?” tanya Siska mengulang kalimatnya. “Ya dengar Mbak!” sahutnya malas. “Lah terus, ya buatkan dong, ingat tamu itu adalah raja, maka harus dilayani dengan baik loh!” sindirnya kepada Susi. “Sayangnya Mbak Siska bukan raja, kalian kan keluarga ku toh, jadi kalau sama keluarga harus pengertian, aku lagi sibuk banyak kerjaan, kalau Mbak kan enak ada pembantu yang ngerjakan, kalau aku kan nggak ada!” kilah Susi sambil tersenyum. “Lagian kita nggak ada teh maupun gula, belum beli, menghemat,” lanjutnya lagi dengan sedikit memajukan bibirnya yang seksi ke depan. “Ya buatkan sebentar saja bisa toh, Sus?” “Lah mau pakai apa buatnya, sudah di bilang nggak punya stok teh!” “Min, istrimu toh kok nggak sopan gitu, Siska ini lagi hamil dia nggak boleh banyak gerak, apalagi bawa yang berat-berat, nanti kasihan dedeknya di dalam!” sungut Suratman yang mulai membela istrinya. Namun Suratmin juga harus membela istrinya yang juga hamil besar bahkan tinggal menghitung hari saja. “Wah, mas Ratman ini memang nggak lihat tuh apa yang ada diperutnya itu, bukan bawa bantal, tetapi lagi hamil juga, dan bentar lagi mau melahirkan kalau situ kan baru delapan bulan!” “Mbak Siska itu harus banyak gerak, jangan-jangan di kantor cuma duduk-duduk doang, dan menyuruh temannya kerja!” jelas Suratmin lembut.“Kok malah kamu yang ngajarin aku toh , Min, suka-suka aku lah, terserah Siska yang penting dia nggak stres, dia lebih suka di sini ketimbang di rumahnya sendiri, nggak tahu kenapa?” kilahnya yang masih tetap nggak mau beranjak dari tempat duduknya. “Lah, situ juga ngatur-ngatur istriku, dia itu hanya melayani rumah kecil ini, Mas Ratman, nggak lihat aku saja lagi bantu-bantu perkerjaan istriku ini, supaya dia nggak stres di rumah, benarkan, Sayang?” goda Suratmin kepada istrinya di balas dengan kedipan mata dari Susi. “Hahaha ... orang miskin manggilnya Sayang, belagu amat jadi orang kamu, Min,” ejek Suratman saat mendengar Suratmin memanggil Susi dengan sebutan Sayang. Namun kedua suami istri itu hanya tersenyum mendengarkan celoteh pasangan Suratman dan Siska yang selalu membanding-bandingkan dirinya. “Wah perlu dikerjai ini si Suratman,” ucap Susi dengan tersenyum licik. Lalu dia melihat beberapa ibu-ibu sedang melewati tempat kontrakan Suratmin dan Susi, lalu memanggil dan menyapanya dengan ramah.“Bu Retno, mau ke mana siang-siang begini?” sapa Susi mengalihkan perhatian mereka berdua. “Eh, Mbak Susi, wah ibu hamil ini rajin banget sih, sudah jangan terlalu capek, bentar lagi lahiran loh, sudah dipersiapkan belum keperluannya, supaya nggak kalang kabut saat mau ke bidan, loh,” ucap Bu Retno menasihati. “Alhamdulillah sudah Bu, yang penting-penting sudah dipersiapkan tinggal angkut,” sahut Susi tersenyum. “Loh ada saudaranya toh datang, mau ngapain sih datang melulu ke sini, pasti minta makan, ya toh, hayuk ngaku?” tanya Bu Retno ceplas- ceplos membuat wajah Suratman dan Siska hanya bisa nyegir kuda.“Nggak juga, cuma malas saja di rumah besar nan mewah nggak ada kerjaan, Bu!”“ Terus ya Bu, lagian kalau makan kita itu tinggal telepon, bayar, nyampe terus makan deh, hidup itu nggak usah terlalu ribet, deh,” sahut Siska dengan ketus. “Eh, Siska jangan cuma duduk-duduk saja banyak gerak, tuh contoh si Susi dia aja hamil besar masih bisa ngerjain tugas rumah tangga, lah kamu malah santai!” celetuk Bu Lina mengejek.“Malas ya Bu, buat apa ada pembantu dia kan digaji untuk itu, makanya enak jadi orang kaya tinggal perintah beres deh,” sahutnya santai. “Iya, Bu, mereka ini memang malas masak di rumah, eh maksudnya karena sibuk kerja di luar, makanya pembantunya juga jarang masak.” “Ini saja Mas Ratman mau minus es teh, tetapi persediaan stok kebetulan sudah habis makanya dia mau kasih uang untuk beli teh sama gula, iya kan Mas?” tanya Susi membuat Suratman bingung. “Wah baik banget Mas Suratman ini, gitu dong sekali-kali bantu saudara, lagian hidup rukun sudah saudara kembar, perhatian, tetanggaan pula hanya beda dua rumah,” celetuk Bu Retno tersenyum. “Iya betul itu, sesama saudara harus saling tolong menolong seperti almarhum kedua orang tua kalian dulu yang selalu baik sama kita, jadi jangan membuat malu keluarga,” sahut Bu Lastri menimpali. Karena merasa gengsi di depan Ibu-ibu tadi terpaksa Suratman mengambil dan mengeluarkan salah satu uang kertasnya yang bewarna merah itu dari dompetnya dengan tangan gemetaran. “Mas, kok kasih seratus ribu buat Susi sih?” tanya Siska yang tidak terima uang suaminya keluar begitu saja. “Loh Mbak Siska ini bagaimana toh, tadi katanya mau es teh sama camilan, ya aku belikan dulu sekalian mau beli yang lainnya, kebetulan habis juga, nggak apa-apa kan, Mas?” tanya Susi mencari pembelaan sembari mengambil cepat uang yang ada di tangan Suratman. “I-iya, nggak apa-apa sekali-kali berbuat kebaikan sama saudara banyak pahalanya apalagi kita sering juga makan di sini,” sanggah Suratman tersenyum kecil.“Mas ... tapi ... “ ucapannya lalu dipotong oleh suaminya dengan nada kesal.“Sudah nggak apa-apa, malu banyak ibu-ibu sini, kamu mau citra kita tercoreng hanya karena masalah sepele seperti ini, di luar sana suamimu ini terkenal dengan dermawannya, kalau sampai mereka tahu aku pelit sama saudara sendiri mau taruh di mana wajah gantengku ini?” Suratman menjelaskan kepada istriya agar diam saja. “Wah tekor aku seratus ribu gara-gara Susi Similikiti, ada juga idenya, ngapain juga panggil Ibu-ibu itu yang biang gosip itu!” gerutunya dalam hati.“Selamat tinggal uangku, jangan marah ya, aku terpaksa mengeluarkan dari dompetku!” Suratman bersedih karena uangnya keluar satu lembar.“Ayuk Sus, kalau mau bareng ke warung kebetulan kita juga mau ke sana, rencananya kita mau rujakan, kamu ikut saja,” ajak Bu Retno dengan senang hati mengajak Susi.Siska yang mendengar kalau ada makanan gratis pun dengan sigap mendatangi mereka yang asyik ngerumpi.“Loh, Bu saya kok nggak diajak ikutan gabung?” tanya Siska dengan panik karena takut ketinggalan makan rujak.“Siska kalau mau ikut sumbang dong, katanya orang kaya apa kata dunia kalau kamu tidak ikut, apalagi suamimu kan setiap Jumat sedekah tuh bagi-bagi sembako, sekalian buat pencitraan kalau istri dari Bapak Suratman Jayadiningrat Satroatmojo itu suka membaur di kalangan warga kampung, tidak pelit dan juga tidak sombong,” jelas Bu Retno yang selalu membanggakan Siska hingga dia pun tersenyum malu-malu.“Usul Ibu boleh juga, baiklah saya izin suami dulu, sebentar!” ucap Siska dengan tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.Susi dan Ibu-ibu lainnya tersenyum puas karena bisa mengerjai Siska habis-habisan, hanya s
“Ada Mas, nih seribu!” ucap Susi enteng.“Loh kok cuma seribu? Aku tadi kan ngasihnya seratus ribu, kok kembaliannya cuma seribu perak?” tanyanya dengan wajah yang sudah terlihat kusam dan jutek.“Loh Mas Ratman ini bagaimana sih? Tadi ada nggak nyuruh aku kembalikan uangnya harus berapa kan nggak ada bilang, berarti bukan salah aku dong!” ucapnya sedikit kesal.“Lagian katanya nggak boleh pelit-pelit sama saudara nanti nggak berkah loh, itu kan yang Mas, bilang?” jelas Susi mencoba mengingatkan kembali perkataan Suratman tadi.“Memang tadi aku tadi ngomong seperti itu?” tanyanya yang masih tidak percaya dengan ucapannya sendiri.“Iya, Mas, bukannya berbagi itu indah?” timpa Suratmin mengelabui saudara kembarnya yang sudah keterlaluan pelitnya.“Sudah toh Man, nggak usah dipikirkan lagi lebih baik nanti kita makan rujak, enaknya nampol loh panas-panas begini makan yang pedas-pedas,” sahut Bu Retno yang masih mengupas buah-buahan itu lalu mengirisnya dengan penuh semangat empat lima.
“Yang benar kamu, Sayang?”“Memang wajahku seperti bercanda memang, cepat Mas, antar aku ke Bidan Wati, nggak tahan nih, kok tiba-tiba mulesnya,” ucap Susi yang sedang memegang perutnya.“Mungkin kebanyakan makan sambal rujak, makanya mules,” ucap Bu Retno merasa khawatir.“Ayuk cepatan bawa perlengkapannya, Man, pakai mobilmu kasihan adik iparmu mau melahirkan!” teriak Bu Retno tanpa memedulikan wajah Siska cemberut dengan mulutnya manyun seperti ikan mujair.“Suratman masih diam dalam kebingungan antara istrinya dan Bu Retno, tetapi karena berpikir pencitraan yang harus dijunjung tinggi akhirnya mau tidak mau, dia pun membawa Susi dan Suratmin ke Bidan Wati yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.“Mas, aku nggak kuat, sakit Mas!” teriaknya sepanjang perjalanan.“Sabar Sayang, perbanyaklah berdoa’a yakin ke dalam hatimu kalau kamu adalah wanita tangguh, sebentar lagi kita sampai di rumah bu Bidan, tenang ya, berselawat saja!” ucap Suratmin mencoba menenangkan istrinya sembari tak
“Wah, selamat ya Sus, Ratmin, kalian sudah menjadi orang tua, duh gemas banget lihatnya,” ucap Bu Retno bahagia.“Terima kasih, Bu Retno,” jawabnya dengan tersenyum bahagia.“Aku juga ngucapin selamat deh buat kalian, tetapi kok hidungnya pesek gitu dan kulitnya ... duh makanya Sus, kalau lagi hamil itu perawatan juga dong kasihan banget bayi kamu, bukan memperbaiki keturunan malah lebih parah lagi,” hina Siska tanpa koma.“Iya, kamu juga Min, sebagai suami itu harus memanjakan istrinya seperti aku ini, masa kamu biarkan Susi nggak terawat banget, lihat bayimu saja aku malas gendong deh!” rutuknya sewot.“Aduh, sudah deh Mbak, Mas, kalau kalian di sini hanya untuk berkomentar nggak jelas, lebih baik kalian pulang deh, aku mau menikmati menjadi Ibu dulu,” ucapnya tanpa melihat ke arah mereka.“Kalian pulang saja sana, tuh lihat kasihan istrimu sudah seharian di luar,” sahut Bu Retno yang geram juga melihat tingkah laku sepasang suami istri itu.“Ya sudah, kami pulang dulu nggak betah j
Suratmin sangat bahagia walaupun pemilik warung itu tidak pernah ke rumah, tetapi sosok beliau itu sangat bersahaja dan baik.“Assalamu’alaikum!” sapanya sembari melontarkan sebuah senyuman ramah.“Wa ’alaikumsalam, Pak Dirga, silakan masuk, Pak, Buk!” sahut Suratmin terkejut saat di datangi oleh mereka. “Terima kasih!” ucap Pak Dirga bersama Bu Sari.“Iya, Sama-sama, Pak Dirga, Bu Sari, silakan duduk!” “Siapa itu , Sayang?” tanya Suratman kepada istrinya Siska saat ingin mau ke luar dari kamar.“Sepertinya itu bosnya Suratmin, Mas!”“Ayuk pulang pegal nih berdiri terus, ngapain juga kita di sini, sumpek tahu,” gerutunya dan hendak pergi dari sana.“Tunggu dulu, Sayang!” cegah Suratman kepada istrinya.“Mau ngapain lagi kita di sini. Kita kan sudah dapat uang dari Suratmin lumayan buat makan malam kita,” sahut Siska yang mulai gerah karena merasa kepanasan. “Kamu ini, Sayang, kamu mau uang tambahan nggak?” tanya Suratman dengan tersenyum licik.“Ya maulah, tetapi maksudnya bagaiman
“Ya, setidaknya dapat pujian gitu, saya kan juga kaya seperti sampean, toh,” sahutnya yang memuji dirinya sendiri.Pak Dirga hanya menanggapnya dengan sebuah senyuman tipis.“Mas, jangan buat malu toh, situ kan nggak kenal bos ku, jangan buat masalah!” ancam Suratmin sedikit berbisik di telinga Suratman.“Ya suka-sukaku lah, ini mulutku sendiri kok kamu yang repot, dia saja nggak marah tuh buktinya bosmu tersenyum gitu,”sahutnya tanpa ada rasa malu.Suratmin merasa tidak enak hati kepada Pak Dirga dan Bu Sekar yang sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri.“Pak Min, ini betul saudara kamu?” tanya Bu Sekar bingung.“Lah piye toh, Bu? Wong wajah saya sama dengan Suratmin bagai pinang di belah dua, cuma yang membedakan itu saya berkulit putih sedangkan Suratmin berkulit ya gitu deh dan yang sangat berbeda adalah nasib kita saja,” jelasnya melirik saudara kembarnya itu dengan menyunggingkan sebuah senyuman sinis.“Oh kirain cuma mengaku-ngaku saudaraan gitu, seperti acara di TV,” sa
“Begini Pak Min, seperti yang kamu dengar kalau saya ingin membantu kamu, tidak banyak memang tetapi kami harap bisa meringankan beban kalian.”“Saya sebenarnya sudah tahu siapa saudara kamu sebenarnya bahkan para tetangga kalian sangat mengenal kamu dan saudara kembar kamu itu yang kepedeannya itu.”“Saya salut dengan kerja keras kamu selama tujuh tahun ini Pak Min, dan sebagai hadiah atas kinerjamu, walaupun kamu hanya sebagai cleaning servis tetapi kamu mempunyai jiwa sosial yang tinggi, tidak pernah saya lihat kamu berat sebelah, tetap kamu kerjakan meskipun itu bukan tugasmu.”“Bahkan saya tahu kamu diam-diam sering membantu teman-temanmu di karyawan walaupun dalam artian kamu hanya memberikan lima ribu saja, bagi mereka sangat berarti buat mereka.”“Saya dengar teman-teman akan datang ke rumahmu setelah pulang dari sini. Memang bukan wilayah saya untuk mengomentari keluarga kalian, sebelumnya saya tidak ada maksud untuk sok menggurui siapa-siapa!”“Begini Pak Min, saya tahu kala
“Nggak ada Mas,” jawabnya singkat.“Ndak ada yang kamu sembunyikan dari aku kan?” tanyanya lagi yang masih penasaran.“Oh ya Mas, tadi katanya mau pulang nggak jadi?” Suratmin sengaja mengalihkan pembicaraan.“Nanti saja, tanggung sudah mau magrib,” jawabnya ketus.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Min, apa yang dikatakan mereka sama kamu?”“Dengar ya Min, bos mu keterlaluan banget, masa dia nggak kenal aku? Dan parahnya katanya orang kaya kok nggak ngasih apa-apa sama kamu masa cuma di kasih buah-buahan?” “Atau jangan-jangan tadi lama, kamu baru di kasih uang ya, mana-mana uangnya? Kamu umpetin di mana?” tanya Suratman sembari meraba-raba badan Suratmin.“Ya Allah, kamu kenapa seperti kebakaran jenggot gitu?”“Meskipun Pak Dirga kasih aku uang atau tidak, apa urusanmu, mau minta, katanya orang kaya kok masih minta sama orang miskin?” ejek Suratmin.“Bukan begitu Min, aku mau tahu saja berapa yang orang kaya itu kasih kamu uang siapa tahu cuma sedikit buat apa,” kilahnya.“Bos apaan tu