Share

03. Rujakan

“Ayuk Sus, kalau mau bareng ke warung kebetulan kita juga mau ke sana, rencananya kita mau rujakan, kamu ikut saja,” ajak Bu Retno dengan senang hati mengajak Susi.

 

Siska yang mendengar kalau ada makanan gratis pun dengan sigap mendatangi mereka yang asyik ngerumpi.

 

“Loh, Bu saya kok nggak diajak ikutan gabung?” tanya Siska dengan panik karena takut ketinggalan makan rujak.

 

“Siska kalau mau ikut sumbang dong, katanya orang kaya apa kata dunia kalau kamu tidak ikut, apalagi suamimu kan setiap Jumat sedekah tuh bagi-bagi sembako, sekalian buat pencitraan kalau istri dari Bapak Suratman Jayadiningrat Satroatmojo itu suka membaur di kalangan warga kampung, tidak pelit dan juga tidak sombong,” jelas Bu Retno yang selalu membanggakan Siska hingga dia pun tersenyum malu-malu.

 

“Usul Ibu boleh juga, baiklah saya izin suami dulu, sebentar!” ucap Siska dengan tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.

 

Susi dan Ibu-ibu lainnya tersenyum puas karena bisa mengerjai Siska habis-habisan, hanya sekali disanjung atau dipuji dia akan berubah sebagai peri yang baik hati.

 

“Bu, Susi juga ke dalam sebentar taruh cucian pakaian  dulu!”

 

“Iya, cepat kita tunggu, hari ini kita bisa makan enak nih,” celetuk Bu Lastri tersenyum licik.

 

“Mas, aku izin bentar ke warung,” ucap Susi kepada suaminya Suratmin.

 

“Iya, hati-hati, bawa sini saja biar Mas lipatkan pakaiannya!” perintah Suratmin.

“Iya, Mas, terima kasih ya sudah dibantu in,” balas Susi dengan memberikan senyuman termanisnya.

“Ibu-ibu titip istriku!” pesan Suratmin kepada ibu-ibu tetangga.

 

“Iya Mas ganteng, jangan khawatir duduk manis saja di rumah, nanti kita antarkan lagi kalau pulang,” sahut Bu Retno tersenyum.

 

“Loh, Bu Retno, kok sampean bilang Suratmin ganteng dari mananya?” Suratman sewot tidak terima kalau saudara kembarnya dikatakan ganteng oleh ibu-ibu lain, sedangkan dia tidak pernah disanjung oleh siapa pun apalagi dengan istrinya sendiri.

 

“Kulit hitam nggak putih kayak aku, rambutnya botak kalau aku lihat klimis kan, dia punya kumis lah saya lihat bersih terawat dari ujung sampai kaki,” sahut Suratman yang sangat percaya diri.

 

“Aduh sampean nggak tahu kalau hitam itu eksotis tahu, lagian kulitnya menjadi hitam itu karena kerjaannya di luar kena panas matahari.”

“Apalagi senyumannya manis banget kayak gula merah, tuh lihat suami idaman nggak malu lipat pakaian di depan rumah, kurang apa coba, mau dong kalau kita digodain?”  goda Bu Nila menimpali.

“Hust ... jangan begitu ibu-ibu, itu suaminya orang, bagaimana yang di rumah?” tandas Bu Retno kesal.

“Kalau yang di rumah itu tetaplah nomor satu dong, hahaha ... tawa ibu-ibu menggelegar membuat Suratmin ikut tertawa melihat tingkah laku mereka yang bisa dianggap seperti ibu mereka.

“Nak Suratmin jangan marah ya, kita Cuma bercanda saja, lagian kami ini tetap setia kok sama suami masing-masing,” ucap Bu Retno menjelaskan.

 

“Iya Bu, nggak apa-apa!”

 

“Man, contoh itu adekmu, sopan santunnya oke punya, lah kamu minta di sanjung dulu, jangan takabur loh, Man.”

“Roda itu selalu berputar, begitu juga dengan kehidupan manusia hari ini memang kaya tetapi kita nggak tahu besoknya.”

“Kita harus menerima kehidupan yang kita jalani, jangan berkeluh kesah kalau tidak dibarengi oleh usaha dan do’a, setidaknya kita masih bisa bernapas itu sudah rezeki dari Allah, kita harus mensyukuri apa yang kita punya, intinya jangan banyak mengeluh karena sama saja kamu tidak menyukai hidupmu!” nasihat Bu Retno panjang lebar.

“Tuh dengar Min, mensyukuri seperti saya ini, buktinya dari tahun ke tahun hartaku tidak habis tujuh turunan sedangkan kamu dari zaman kita susah bareng-bareng ya tetap saja kamu miskin dan melarat seperti ini!”

“Lah saya bertemu Siska karena kita memang berjodoh dia kaya dan berkelas cocok memang denganku,” jelasnya panjang lebar tetapi Suratmin hanya mangut-mangut mendengarkannya.

“Mas, Susi jalan dulu, Assalamu’alaikum!” ucap Susi tidak lupa mencium tangan suaminya.

“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan ya!” sahut Suratmin yang sedikit khawatir dengan kehamilan istrinya itu.

“Iya, Mas!” jawab Susi tersenyum.

Sedangkan Siska berpamitan dengan suaminya dengan mencium pipi kanan dan kiri Suratman.

“Sus, lebay banget sih cium tangan segala, terlalu over akting tahu nggak!” gerutu Siska yang tidak suka mencium tangan suaminya.

“Contoh dong kayak aku cipika-cipiki orang kaya begitu lah, dasar udik,” ujarnya dengan percaya tinggi tingkat dewa.

“Nggak apa-apalah udik yang penting membawa berkah,” sindir Susi dengan tersenyum manis.

 

Akhirnya mereka pun berjalan beriringan ke warung milik Mak Leha yang menyediakan berbagai macam kebutuhan sembako dan ada juga warung sayur.

“Sus, pelan-pelan ini, sandalku bisa rusak kalau jalannya seperti ini, kamu tahu kan harga sandalku ini hampir setara dengan gaji suamimu itu!” hardiknya kepada Susi yang berpegangan tangan dengannya saat melewati tanah yang sedikit lempung akibat kemarin hujan deras.

 

“Ini suami istri sama saja, duh mau benci sama mereka kan nggak boleh kata orang kalau lagi hamil dan membenci sama orang itu, bisa-bisa wajah anakku mirip dengan mereka perpaduan antara mbak Siska dan Mas Ratman!”

“Duh, amit-amit cabang bayi, jangan dulu benci tunggu sampai lahiran deh, Ya Allah kuatkan imanku agar tidak membenci mereka!” Do’a Susi yang sangat takut membayangkan kalau wajah bayinya nanti mirip mereka.

 

Sampai di warung Mak Leha, dan di sambut hangat oleh yang punya warung.

 

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam, eh Susi, sama kakawalan, handak manukari  apakah, ikam?”

“Ulun, handak beli wadai, gula sama teh, sekalian yang lain, ulun cari dulu lah, setumat, Mak ai!” ujar Susi yang sedikit bisa berbahasa Banjar.

“Iih, cari aja, yang mana ikam handak, unda barpandir dulu sama yang lain, tuh ada Nia, di dalam,” sahut Mak Leha kepada Susi dan segera menemui ibu-ibu yang karena ingin membeli buah-buahan yang kebetulan masih ada di warung itu.

 Susi lalu membeli beberapa kebutuhannya yang dianggap penting setelah berhasil menjarah kakak iparnya.

Uang seratus ribu itu dia belikan semua bahan makanan, dan menyisakan uang seribu rupiah dengan sengaja untuk dikembalikan ke Suratman yang pasti akan menagih sisa uang kembaliannya.

 

Sementara itu Bu Retno dengan lainnya menyibukkan Siska untuk membelikan buah-buahan untuk bahan rujakan.

“Wah ada bubuhan Susi!”

“ Retno, siapa ini, unda kada pinandu, urang hanyar kah?” tanya Mak Leha sedikit berbahasa Banjar nampak tetlihat bingung.

“Loh, Mak Leha piye toh, ini loh kakak iparnya Susi, namanya Siska yang punya rumah gedung di sebelahnya Pak Umar itu,” jelas Bu Retno tersenyum.

 

“Oh iya kah, kada parnah lihat ikam sorang, maaflah,” sahut Mak Leha tersenyum.

 

“Aduh, Mak, orang dermawan begini nggak kenal sama saya, ituloh yang sering bagi-bagi sembako tiap hari Jum’at,”  jelasnya sedikit sewot karena ada juga yang tidak mengenal dirinya.

“Kada ingatlah, maklum sudah tuha, muha ikam kada parnah malihat, tapi kalau uang tetaplah ...hahaha ,” tawa Mak Leha diikuti tawa ibu-ibu yang lain.

 

“Mbak Sus, tumben dia mau ke sini, biasanya ogah deh?” tanya Nia anak dari Mak Leha.

 

“Biasalah namanya juga saudara, ya main-main ke rumah,” celetuknya dengan santai.

“Main ke rumah kok tiap hari, apa Mbak Sus nggak gerah gitu di datangi terus, padahal sudah punya pembantu lengkap, tetapi doyan banget ke rumah Mbak Sus, memang Mbak pernah ke rumahnya gitu?” tanya Nia penasaran.

 

“Selama nikah dengan Mas Ratmin baru dua kali ke sana, itupun kita di suruh cepat-cepat pulang alasannya ada tamu penting katanya,” jelas Susi sambil mengambil bahan makan dan lainnya yang dianggap penting.

“Oh walah, kok bisa Mbak Sus? Aneh tapi nyata loh,” ucapnya sambil tertawa kecil dan sedikit berbisik.

Ini saja Mbak Nia, tolong totalkan semuanya ya Mbak,” ucap Susi sambil menyerahkan semua barang yang sudah diambilnya.

“Mbak semuanya jadi Rp. 99.000, “ ucap Nia setelah menghitung semua belanjaanya.

“Oke!”

“Nggak digenapin seratus ribu, Mbak?” tanya Nia penasaran.

“Nggak usah biar kelihatan ada kembaliannya,” jawab Susi tersenyum licik.

 

Sementara itu di luar para Ibu-ibu sedang memilah-milah buah-buahan yang masih bagus.

“Pakai mentimun nggak sih?”

“Pakai saja Bu, terserah saja yang penting kelihatan banyak,” sahut Bu Wulan menimpali.

Dengan segala pujian yang dilontarkan oleh Ibu-ibu itu uangnya pun akhirnya keluar yang berwarna merah dan membayarkannya dengan ihklas.

Tak lupa ibu-ibu yang lain memanfaatkan untuk membeli camilan yangblain ubtuk dibawa ke rumah kontrakan Susi.

Di saat Suratman mengeluarkan uang sebesar seratus ribu rupiah kini Siska dengan penuh percaya diri mengeluarkan uangnya juga sebesar dua ratus ribu rupiah.

“Eh, Bu enakkan rujakan di mana ya?” tanya Bu Wulan bersemangat.

“Bagaimana kalau di rumah Susi saja, kan enak tuh anginnya kebanyakan ke rumah Susi, bagaimana?” usul Bu Retno.

“Aku sih yes!”  sahut Bu Wulan dan Bu Nila secara bersamaan.

“Iyalah kita ngikut sajalah!” jawab ibu-ibu yang lain.

Setelah membayar dan membeli buah-buahan di sana mereka pun segera ke rumah Susi.

 

Sampai di rumah kontrakan Susi, dia lalu menaruh belanjaannya di dalam lemari, dan menguncinya, dan benar saja Suratman  menanyakan sisa uang yang dipakai oleh Susi.

“Sus, ada kembaliannya nggak, soalnya aku mau  membeli bensin!” teriaknya dari luar.

 

·        Kakawalan, bubuhan = teman

·        Ulun = aku, saya

·        Unda = saya

·        Manukari= beli

·        Handak = ingin, mau

·        Hanyar =baru

·        Iih = iya

·        Kada =tidak

·        Pinandu = kenal

·        Malihat =melihat

·        Tuha. = tua

·        Urang =orang

·        Muha. = muka atau wajah

·        Barpandir = mengobrol

·        Setumat  = sebentar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status