“Min, kapan anakmu lahir?” tanya Suratman saudara kembar Suratmin dengan nada mengejek.“Alhamdulilah, Mas, kata bidan sih tinggal menghitung hari saja paling tidak tiga atau lima hari lagi,” jawab Suratmin dengan santai sembari membuat meja kecil dari kayu untuk di dapurnya.“Berarti istri kamu melahirkan nanti di bidan dong?”“Iya, nggak apa-apa, lagian nggak ada uang juga kalau harus di rumah sakit, bayarannya mahal, nggak sanggup aku,” kilahnya merendah diri.“Iya sih kamu kan jadi OB di warung makan kecil, gajimu berapa di sana, Min?”“Nggak cukuplah pastinya, kalaupun ngutang nanti susah bayarnya, apalagi sama saudara nanti pura-pura amnesia kalau ditagih, lebih baik yang sesuai kemampuan saja, nggak usah neko-neko!” hardiknya sembari mengejek dengan jelas.“Iya, Mas, makanya disesuaikan dengan kemampuan kami.” Suratmin tersenyum walaupun di dalam hatinya sangat sakit dengan perkataan saudara kembarnya itu.“Bagus deh tahu diri juga kamu. jadi nggak menyusahkan aku, soalnya ist
Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin, benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!” rutuknya dengan kesal.Setelah selesai makan mereka bersantai ria duduk di teras rumah, walaupun rumahnya kecil tetapi teras dan halaman rumah kontrakan Suratmin sedikit luas.Terdapat dua buah kursi yang terbuat dari kayu itu, menselonjorkan kedua kakinya yang terasa pegal tadi karena duduk bersila, membuat Siska yang hamil besar sedikit merasa rikeks di tempat itu.Angin yang datang hilir mudik membuat Suratman dan Siska malas beranjak dari tempat duduknya seakan-akan mereka pemilik kontrakan itu.“Sus, enak juga ya di rumah kontrakan kamu, biar dikatakan kecil, sumpek, bau, dan kotor kalau sudah ada angin sepoi-sepoi bawaannya ngantuk melulu, kayak kita lagi di pantai, benar nggak sih Mas?” tanya Siska yang asyik menikmati angin yang melewati dirinya.“Iya,
“Ayuk Sus, kalau mau bareng ke warung kebetulan kita juga mau ke sana, rencananya kita mau rujakan, kamu ikut saja,” ajak Bu Retno dengan senang hati mengajak Susi.Siska yang mendengar kalau ada makanan gratis pun dengan sigap mendatangi mereka yang asyik ngerumpi.“Loh, Bu saya kok nggak diajak ikutan gabung?” tanya Siska dengan panik karena takut ketinggalan makan rujak.“Siska kalau mau ikut sumbang dong, katanya orang kaya apa kata dunia kalau kamu tidak ikut, apalagi suamimu kan setiap Jumat sedekah tuh bagi-bagi sembako, sekalian buat pencitraan kalau istri dari Bapak Suratman Jayadiningrat Satroatmojo itu suka membaur di kalangan warga kampung, tidak pelit dan juga tidak sombong,” jelas Bu Retno yang selalu membanggakan Siska hingga dia pun tersenyum malu-malu.“Usul Ibu boleh juga, baiklah saya izin suami dulu, sebentar!” ucap Siska dengan tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.Susi dan Ibu-ibu lainnya tersenyum puas karena bisa mengerjai Siska habis-habisan, hanya s
“Ada Mas, nih seribu!” ucap Susi enteng.“Loh kok cuma seribu? Aku tadi kan ngasihnya seratus ribu, kok kembaliannya cuma seribu perak?” tanyanya dengan wajah yang sudah terlihat kusam dan jutek.“Loh Mas Ratman ini bagaimana sih? Tadi ada nggak nyuruh aku kembalikan uangnya harus berapa kan nggak ada bilang, berarti bukan salah aku dong!” ucapnya sedikit kesal.“Lagian katanya nggak boleh pelit-pelit sama saudara nanti nggak berkah loh, itu kan yang Mas, bilang?” jelas Susi mencoba mengingatkan kembali perkataan Suratman tadi.“Memang tadi aku tadi ngomong seperti itu?” tanyanya yang masih tidak percaya dengan ucapannya sendiri.“Iya, Mas, bukannya berbagi itu indah?” timpa Suratmin mengelabui saudara kembarnya yang sudah keterlaluan pelitnya.“Sudah toh Man, nggak usah dipikirkan lagi lebih baik nanti kita makan rujak, enaknya nampol loh panas-panas begini makan yang pedas-pedas,” sahut Bu Retno yang masih mengupas buah-buahan itu lalu mengirisnya dengan penuh semangat empat lima.
“Yang benar kamu, Sayang?”“Memang wajahku seperti bercanda memang, cepat Mas, antar aku ke Bidan Wati, nggak tahan nih, kok tiba-tiba mulesnya,” ucap Susi yang sedang memegang perutnya.“Mungkin kebanyakan makan sambal rujak, makanya mules,” ucap Bu Retno merasa khawatir.“Ayuk cepatan bawa perlengkapannya, Man, pakai mobilmu kasihan adik iparmu mau melahirkan!” teriak Bu Retno tanpa memedulikan wajah Siska cemberut dengan mulutnya manyun seperti ikan mujair.“Suratman masih diam dalam kebingungan antara istrinya dan Bu Retno, tetapi karena berpikir pencitraan yang harus dijunjung tinggi akhirnya mau tidak mau, dia pun membawa Susi dan Suratmin ke Bidan Wati yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.“Mas, aku nggak kuat, sakit Mas!” teriaknya sepanjang perjalanan.“Sabar Sayang, perbanyaklah berdoa’a yakin ke dalam hatimu kalau kamu adalah wanita tangguh, sebentar lagi kita sampai di rumah bu Bidan, tenang ya, berselawat saja!” ucap Suratmin mencoba menenangkan istrinya sembari tak
“Wah, selamat ya Sus, Ratmin, kalian sudah menjadi orang tua, duh gemas banget lihatnya,” ucap Bu Retno bahagia.“Terima kasih, Bu Retno,” jawabnya dengan tersenyum bahagia.“Aku juga ngucapin selamat deh buat kalian, tetapi kok hidungnya pesek gitu dan kulitnya ... duh makanya Sus, kalau lagi hamil itu perawatan juga dong kasihan banget bayi kamu, bukan memperbaiki keturunan malah lebih parah lagi,” hina Siska tanpa koma.“Iya, kamu juga Min, sebagai suami itu harus memanjakan istrinya seperti aku ini, masa kamu biarkan Susi nggak terawat banget, lihat bayimu saja aku malas gendong deh!” rutuknya sewot.“Aduh, sudah deh Mbak, Mas, kalau kalian di sini hanya untuk berkomentar nggak jelas, lebih baik kalian pulang deh, aku mau menikmati menjadi Ibu dulu,” ucapnya tanpa melihat ke arah mereka.“Kalian pulang saja sana, tuh lihat kasihan istrimu sudah seharian di luar,” sahut Bu Retno yang geram juga melihat tingkah laku sepasang suami istri itu.“Ya sudah, kami pulang dulu nggak betah j
Suratmin sangat bahagia walaupun pemilik warung itu tidak pernah ke rumah, tetapi sosok beliau itu sangat bersahaja dan baik.“Assalamu’alaikum!” sapanya sembari melontarkan sebuah senyuman ramah.“Wa ’alaikumsalam, Pak Dirga, silakan masuk, Pak, Buk!” sahut Suratmin terkejut saat di datangi oleh mereka. “Terima kasih!” ucap Pak Dirga bersama Bu Sari.“Iya, Sama-sama, Pak Dirga, Bu Sari, silakan duduk!” “Siapa itu , Sayang?” tanya Suratman kepada istrinya Siska saat ingin mau ke luar dari kamar.“Sepertinya itu bosnya Suratmin, Mas!”“Ayuk pulang pegal nih berdiri terus, ngapain juga kita di sini, sumpek tahu,” gerutunya dan hendak pergi dari sana.“Tunggu dulu, Sayang!” cegah Suratman kepada istrinya.“Mau ngapain lagi kita di sini. Kita kan sudah dapat uang dari Suratmin lumayan buat makan malam kita,” sahut Siska yang mulai gerah karena merasa kepanasan. “Kamu ini, Sayang, kamu mau uang tambahan nggak?” tanya Suratman dengan tersenyum licik.“Ya maulah, tetapi maksudnya bagaiman
“Ya, setidaknya dapat pujian gitu, saya kan juga kaya seperti sampean, toh,” sahutnya yang memuji dirinya sendiri.Pak Dirga hanya menanggapnya dengan sebuah senyuman tipis.“Mas, jangan buat malu toh, situ kan nggak kenal bos ku, jangan buat masalah!” ancam Suratmin sedikit berbisik di telinga Suratman.“Ya suka-sukaku lah, ini mulutku sendiri kok kamu yang repot, dia saja nggak marah tuh buktinya bosmu tersenyum gitu,”sahutnya tanpa ada rasa malu.Suratmin merasa tidak enak hati kepada Pak Dirga dan Bu Sekar yang sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri.“Pak Min, ini betul saudara kamu?” tanya Bu Sekar bingung.“Lah piye toh, Bu? Wong wajah saya sama dengan Suratmin bagai pinang di belah dua, cuma yang membedakan itu saya berkulit putih sedangkan Suratmin berkulit ya gitu deh dan yang sangat berbeda adalah nasib kita saja,” jelasnya melirik saudara kembarnya itu dengan menyunggingkan sebuah senyuman sinis.“Oh kirain cuma mengaku-ngaku saudaraan gitu, seperti acara di TV,” sa