Share

Suratman VS Suratmin  ( Antara Si Kaya Dan Si Miskin)
Suratman VS Suratmin ( Antara Si Kaya Dan Si Miskin)
Author: Meriatih Fadilah

01. Ejekan

“Min, kapan anakmu lahir?” tanya Suratman saudara kembar Suratmin dengan nada mengejek.

“Alhamdulilah, Mas, kata bidan sih tinggal menghitung hari saja paling tidak tiga atau lima hari lagi,” jawab Suratmin dengan santai sembari membuat meja kecil dari kayu untuk di dapurnya.

“Berarti istri kamu melahirkan nanti di bidan dong?”

“Iya, nggak apa-apa, lagian nggak ada uang juga kalau harus di rumah sakit, bayarannya mahal, nggak sanggup aku,” kilahnya merendah diri.

“Iya sih kamu kan jadi OB di warung makan kecil, gajimu berapa di sana, Min?”

 

“Nggak cukuplah pastinya, kalaupun ngutang nanti susah bayarnya, apalagi sama saudara nanti pura-pura amnesia kalau ditagih, lebih baik yang sesuai kemampuan saja, nggak usah neko-neko!” hardiknya sembari mengejek dengan jelas.

 

“Iya, Mas, makanya  disesuaikan dengan kemampuan kami.” Suratmin tersenyum walaupun di dalam hatinya sangat sakit dengan perkataan saudara kembarnya itu.

 

“Bagus deh tahu diri juga kamu. jadi nggak menyusahkan aku, soalnya istriku rencananya sih mau lahiran di rumah sakit kalau perlu operasi secar biasalah mau cari  tanggal yang hoki gitu,” jelasnya bersemangat.

 

“Ngapain operasi secar Mas, kalau masih bisa normal, kecuali kalau memang harus jalan operasi ya mau nggak mau,” tandas Suratmin menjelaskan.

“Itukan menurutmu, Min, kalau aku bedalah orang kaya itu harus terlihat kayanya dong, jangan kayak orang miskin!” sahutnya tak mau kalah.

 

Senyum yang dipaksakan selalu dia lakukan lantaran agar tidak menyinggung perasaan Suratman yang lebih kaya dari Suratmin.

Sudah sering kali Suratman merendahkan Suratmin lantaran menjadi orang miskin baginya.

Perbincangan di hari minggu itu membuat Susi istri dari Suratmin menitikkan air matanya ketika mendengar percakapan mereka.

Namun buru-buru dia usap air matanya dengan daster panjang yang terlihat kusam dan banyak tambalan di mana-mana,  agar tidak ketahuan oleh Suratmin kalau dia baru saja menangis.

 Susi kembali ke dapur untuk memasak makan siang. Hanya goreng tempe, sambal terasi dan tumis kangkung membuat aroma masakan yang dibuat oleh Susi menyeruak sampai keluar.

 

Penciuman hidung Suratman sangat tajam sampai tak terkendalikan sehingga perutnya selalu berbunyi. Di saat itu juga istri Suratman yaitu Siska ikut datang ke rumah kontrakan kecil milik Suratmin.

 

Sudah hal lumrah untuk pasangan suami istri ini yang mereka bilang orang kaya itu setiap hari selain hari Jum’at mereka akan datang entah pagi, siang ataupun malam ke rumah kontrakan  Suratmin.

 

Apalagi kalau bukan minta makan, padahal Suratmin  juga dalam  kekurangan bahkan tidak pernah dia meminta apapun, tetapi Suratman dan istrinya tetap tidak peka dengan keadaan.

 

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam!”

 

“Eh Mbak Siska, mau jemput Mas Suratman ya?” tanya Suratmin tersenyum renyah ketika selesai membuatkan meja kayu untuk istrinya.

 

“Biasalah, hari Minggu main-main ke rumah saudara, nggak apa-apa kan?” balasnya dengan santai.

 

“Berarti aku juga bisa main-main ke rumah sampean toh?” tanya Suratmin semringah.

“Ngapain ke rumah nggak ada apa-apa di sana, lagian kalau di sini kan ada makanan, tuh sepertinya istrimu sudah selesai masak, ayuk kita makan,” ajak Suratman dan langsung masuk ke dalam tanpa di suruh.

 

“Ayuk, Mbak silakan masuk!” ajak Suratmin tersenyum yang dipaksakan.

 

“Wah dengan senang hati, dong,” jawabnya dan langsung menyelonong ke dalam.

 

Sampai di dapur, Susi yang selesai masak pun langsung menghidangkan makanan diatas dipan yang terbuat dari kayu.

 

Nasi yang masih panas mengepul dengan baunya yang wangi, ditambah sambal terasi yang menggugah selera.

Mereka pun sudah duduk menghadap makanan yang disajikan Susi.

 

“Loh, Mas dan Mbak mau numpang makan lagi, kenapa nggak makan di rumah?” tanya Susi yang mulai kesal dengan tingkah mereka.

 

“Kamu kan tahu Mbakmu ini malas masak, lagian pembantu kalau masak itu-itu saja, bosan nggak ada variasinya, beda sama kamu selalu ganti-ganti walaupun hanya tempe saja,” kilah Suratman yang sudah tidak sabar ingin menyantap makanan yang ada didepannya.

“Ya belajar dong, Mbak, sebentar lagi mau lahiran juga terus siapa yang mengurus, Mbak nanti?” tanya Susi kepada Siska.

“Aku belum ngambil cuti sayangkan uangnya, nanti tunggu dua atau tiga harilah, baru aku rehat dan kita mau pakai baby sister aja, aku kan wanita karier ya bedalah sama kamu yang Cuma rebahan saja nggak ada kegiatan,” sahutnya dengan nada menyinggung.

 

Tak lama kemudian Suratmin datang dan ikut bergabung duduk di antara mereka.

 

“Ayuk, cepatan toh, aku sudah lapar nih!” ucapnya dengan cepat tangannya mengambil nasi itu sudah berpindah cepat dipiringnya.

 

“Sus, kamu kok masak sedikit amat, jangan pelit-pelit sama keluarga, nanti nggak berkah loh!” ucapnya sembari melahap makanan itu dengan lahap begitu juga dengan Siska istrinya tanpa malu-malu dai pun menambah porsinya dengan alasan harus makan yang banyak karena hamil.

 

Mendengar ucapan Suratman, Susi kembali terhenyak dan membuat selera makannya berkurang.

“Loh bukannya kalian ya yang pelit, buktinya makan terus di sini gratis pula, kan duit banyak tinggal telepon pesan makanan terus datang lalu bayar, ngapain toh susah-susah ke sini!”

 

“Berasku tinggal sedikit, Mas, yang jatahnya cukup untuk sebulan, eh malah nggak cukup, harusnya tahu diri dong!” ejek Susi tetapi mereka pun tetap tidak memedulikan omongan Susi, karena masih menikmati makanannya sehingga semua yang disajikan tadi ludes seketika tidak menyisakan Suratmin.

 

“Wah enak sekali makananmu Sus, sampai lupa nggak nyisakan makanannya!” ucap Suratman dengan enteng.

 

“Kalau mau makan banyak sini, mana uangnya biar aku buatkan lagi kayak tadi dan bisa sampean bawa pulang makan di rumah kalian saja!” ucap Susi sembari mengulurkan tangannya untuk minta uang.

 

“Lah, aku nggak ada uang kecil, adanya juga uang merah semua, kalau kasih kamu yang untung kamu dong, makanan seperti ini nggak nyampe tiga puluh ribu juga nanti mau minta angsulannya bilang nggak ada kembaliannya, orang miskin kan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan!” rutuknya membuat Susi bertambah kesal.

“Ya Allah, Mas nggak apa-apa, aku belikan di warung tunggu sini nanti uang kembaliannya tak kasih sampean lagi, bagaimana?”

“Alah itu akal-akalan kamu saja, nanti kalau kamu lebih-lebihkan harga di warung bagaiamana bilang beli kangkung harganya cuma tiga ribu seikat nanti kamu bilang lima ribu, tekor dong aku!” hardiknya kesal.

 

“Kalau begitu sama-sama ke warung supaya tahu harga semua kebutuhan yang di beli, bagaimana?” usul  Suratmin padahal dia sudah tahu jawabnnya.

 

“Nggak lah, aku malas kayak gitu, aku ini orang kaya, malu lah belinya kok gituan, nggak level!” tolaknya.

 

“Ya sudah biar Mbak Siska saja yang ke warung, nanti biar aku yang masakan, bagaimana ini alternatif terakhir loh!” ucap Susi yang hampir putus asa mendengar alasaan demi alasan yang dibuatnya.

 

“Aku kamu suruh ke warung nggak ah ... nggak mau, nggak level dengan warung kotor, bau, banyak kumannya ... iiihhh!” Siska mendelik jijik saat membayangkan pergi ke warung dengan memakai sandal uang harganya bisa mencapai satu juta rupiah itu.

Suratmin yang mendengarnya hanya biaa tertawa kecil menampilkan deretan giginya yang putih, sedangkan Susi hampir kehilangan cara untuk membuat mereka mengerti tetapi dia tidak ingin selalu dikelabui oleh mereka yang bergelar sultan itu.

 

“Loh Mbak ini bagaimana sih, masakan yang aku buat itu dari sana loh, yang Mbak bilang bau, kotor, banyak kumannya, berarti masuk ke perut bahaya dong?” ejek Susi.

 

“Ya nggak lah, buktinya kamu dan Suratmin makan juga, nggak ada masalah tuh, baik-baik saja!” jawabnya lagi dengan santai.

“Huh ... tenang Susi, tenang ... sabar ... aku harus banyak istighfar kalau menghadapi mereka, untungnya aku tidak menikah dengan Suratman, bisa pusing kepala aku dibuatnya tiap hari,” gerutunya dalam hati.

 

“Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin, benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan  membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!” rutuknya dengan kesal.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status