Setelah menunaikan ibadah solat isya, Siska mengadahkan kedua tangannya, memohon kepada Allah SWT. Agar selalu menjaga suami tercintanya saat berada dimana saja.
Suaminya adalah seroang lelaki berambut hitam lekat dengan perawakannya yang tinggi. Wajah berseri, mata kecoklatan dengan hindung mancung, serta ditambah dengan rahang yang ditumbuhi dengan bulu-bulu halus yang nyaris menyamai pangeran dari negeri Arab.
Ia adalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab dan penyayang dalam keluarga, serta taat beribadah.
Sekalipun ia tak pernah alpa untuk membahagiakan Siska, lahir, dan batin. Bagaimana Siska tak semakin cinta pada suaminya jika semua sikap manis dan perhatiannya membuat hati Siska seakan di tumbuhi bunga-bunga yang disirami air surga?
Setiap pagi suaminya itu selalu memberikan senyum manis dan pelukan hangat untuk Siska.
Namun, sudah empat hari ini suaminya belum pulang ke rumah karena pergi keluar kota, ada beberapa urusan kantor yang harus suaminya kerjakan dan terpaksa meninggalkan istri dan putri kecilnya yang baru berusia tiga tahun di rumah.
Siska meremas mukenahnya sembari menahan buliran air yang ingin keluar dari kedua kelopak matanya. Tak dapat dipungkiri, ia sangat merindukan sosok suaminya itu.
Ia duduk diatas kasur seraya memandang wajah lugu dan manis putri kesayangannya yang bernama Aqila, lalu mengecup perlahan pipi chubby Aqila dan tersenyum.
Putri kecilnya itu memang memiliki wajah yang sangat mirip dengan ayahnya, hingga tiap kali Siska merindukan suaminya ia akan memandang dan mengecup pipi putrinya itu.
"Mas, kamu kapan pulang?" gumam Siska lirih, lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dekat lampu duduk.
Ia hanya memastikan ada pesan atau tidak dari suaminya itu, karena tidak ada ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur, membuka lemari pendingin dan menuangkan air dingin ke dalam gelas kaca dengan gagang kecil di bawahnya.
Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
'Ceklek.'
Terdengar suara pintu terbuka, Siska melihat suaminya membawa koper dan masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum," ucap Ilham, suami Siska yang baru saja kembali dari luar kota.
Seketika senyum Siska merekah lebar, ia sangat bahagia. Akhirnya suaminya sudah kembali, ia pun segera mengampiri suaminya itu. Mengecup punggung tangan Ilham dan menghamburkan tubuhnya ke pelukan Ilham.
"Mas, lama banget si," ucap Siska dengan suara manja.
Ilham tertawa ringan sembari membelai kepala istrinya.
"Iya sayang, maaf. Kan Mas kerja begini juga demi kamu sama Qila," balas Ilham, lalu tersenyum memandang wajah manis istrinya.
"Bagaimana kabar, Mas? Apa urusannya lancar?"
"Alhamdulillah lancar," balas Ilham dan diiringi dengan senyuman.
"Mas kelihatan sangat tampan sekali, abis cukur ya, Mas?" tanya Siska sembari menatap wajah suaminya dan masi diiringi dengan senyum.
"Uhm, i-iya," jawab Ilham, namun dengan nada sedikit bergetar.
Ilham melepaskan pelukannya dan kini tatapannya berubah sedikit canggung, lalu ia pun menundukkan kepalanya.
Jelas saja Siska merasa heran dengan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah.
"Mas!" panggil Siska dengan suara lembutnya, tetapi tidak ada jawaban dari Ilham. Sehingga membuat Siska sedikit merasa khawatir dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya itu.
"Mas! Ada apa?" tanya Siska seraya menguncang lirih pundak Ilham.
Kini barulah Ilham kembali mengangkat kepalanya dan memandang Siska dengan tatapan bersalah. Membuat Siska sedikit mengernyitkan dahinya dan menatap Ilham dengan terheran-heran.
"Mas, ngomong dong! Jangan bikin orang bingung!"
Ilham mencoba menenangkan hatinya sejenak, mengirup napas dalam-dalam sembari memejamkan kedua matanya lalu menghembuskannya dengan perlahan.
Kedua tangan Ilham kini telah memegang kedua tangan Siska dengan lembut, lalu mengecupnya perlahan.
"Sebelumnya Mas mau minta maaf ya sama kamu," ucap Ilham dengan nada yang sangat lirih.
Siska merasa tenggorokannya seperti ada yang mencekik dengan sangat kuat, hingga ia kesulitan untuk menelan tali safinya. Ia tau pasti ada hal buruk yang kini telah terjadi, tiba-tiba air matanya menetes tanpa ia tahu apa penyebabnya.
"Sebenarnya ada apa, Mas? Tolong katakan!"
"Ehm, anu Sayang, aku ingin bicara," kata Ilham sambil menuntun tangan Siska menuju kursi ruang tamu. Siska yang dituntun seperti itu mengikuti namun dalam hatinya mulai berdesir tak nyaman.
"Mas mau bicara sama Siska, tapi Mas mohon agar Siska tidak terburu-buru marah dan emosi dulu ya!"
"Apa sih, Mas? Bilang aja! Jangan bikin mati penasaran deh, mau bicara kabar baik atau kabar buruk sih?"
"A-anu." Ilham tampak sangat ragu-ragu.
"Mas..." Siska menunggu kalimat Ilham yang terjeda tadi.
"Kamu percaya sama Mas engga, kalau semua yang Mas lakuin itu demi kebaikan keluarga kita? Mas yakin kamu istri terbaik yang Allah kasih dan Mas akan selalu mencintaimu, Sayang."
"Apa sih, jangan bertele-tele!" ucap Siska dengan perasaan yang tidak karuan, tanpa bisa ia bendung lagi air matanya kembali mengalir membasahi pipi.
Terdengar suara langkah kaki yang sedang mengenakan high heels.
"Siapa itu, Mas?"
Orang yang ditanya Siska hanya menunduk dalam. Ia menguncang-guncang lengan Ilham agar segera menjawab pertanyaannya. Ia paham sesuatu tidak baik telah terjadi, sebuah bencana atau entahlah. Siska terus bertanya-tanya dan air matanya kian menderas hingga bayangan wanita itu hadir sempurna di depan pintu utama.
Mengenakan gamis berwarna armi dengan jilbab menjulur ke depan. Wanita itu menunduk tak sedikit pun menatap ke arah Siska.
"Kamu siapa?" tanya Siska dengan suara yang hampir tercekat.
Wanita itu tidak menjawab dan tetap menunduk sambil meremas gamisnya.
"Dia siapa, Mas?" Intonasi Siska seketika meninggi.
"Nabila, istriku."
Seketika pendengaran di telinga Siska menghilang, semunya bening. Ia bak tersambar pentir di siang bolong, semuanya hening, hanya hembusan angin yang dapat Siska tangkap sejenak. Ia menatap wajah wanita cantik itu, ya, Siska memastikan dirinya tidak bermimpi.
Kini dadanya terasa sangat sesak hingga membuatnya kesulitan untuk bernapas. Ia memadang wajah suaminya yang kini sedang menatap dirinya dengan mata nanar.
"Mas, yang benar saja? Ini hanya mimpi, kan?" tanya Siska lirih, energinya terkuras habis hingga membuatnya sangat lemas dan tersungkur ke lantai.
"Ini kenyataan Siska, bukan mimpi," ujar Ilham dengan tegas.
Membuat hati Siska seperti tercabik-cabik dan ia menjadi sangat lemah, lalu terisak dalam tangisnya yang sudah tak sanggup untuk ia tahan.
"Sebenernya aku sudah sampai ke rumah sehari yang lalu, tapi di jalan ada suatu musibah. Aku tak sengaja menabrak seorang kyai di pondok besar yang sedang berdiri di pinggir jalan di dekat dengan pondoknya," ucap Ilham terhenti sejenak lalu menarik napasnya, ia mencoba untuk merilekskan pikirannya dulu sebelum menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kemarin pagi.
"Lalu Kyai itu tidak terima dan memintamu untuk menikahi wanita itu? Wanita itu anak seorang Kyai?" tanya Siska dengan nada tinggi sembari masih terisak-isak.
"Kyai itu adalah guru besar di pondok yang telah lama ia besarkan, ia hanya ingin melihat putrinya segera menikah sebelum Allah mengambil nyawanya. Keadaanya kemarin sangat kritis, aku merasa sangat bersalah, karena aku lah yang menyebabkannya menjadi seperti itu, Siska" jelas Ilham dan menatap Siska dengan penuh rasa bersalah.
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,