Ilham menghela napas dan menatap Siska dengan lembut, ia sangat paham dengan kekecewaan yang kini sedang Siska alami. Ia hanya berusaha bersikap baik kepada istrinya itu agar perlahan Siska mau menerima kenyataan ini.
"Siska! Ini kan sudah malam, minum dulu airnya terus tidur, ya! Kasian Qila," ujar Ilham menatap istri dan anaknya dengan penuh kasih sayang dan sangat berhati-hati.
Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwa Siska, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali Siska mengengar suara lembut yang keluar dari mulut Ilham.
Siska tak menjawab sedikit pun atau menerima segelas air yang telah Ilham bawakan, bahkan Siska enggan menatap wajah suaminya itu.
"Ini airnya," ucap Ilham seraya meletakan segelas air itu di atas meja. Kemudian, ia mengambil tempat duduk di sisi kasur Siska.
Istri pertama Ilham itu hanya terdiam dan tatap matanya kosong sembari meneteskan air mata, Ilham merasa sangat iba melihat kondisi istrinya, tapi semua sudah terjadi, mau bagaimana pun Nabila sudah menjadi istri keduanya.
"Mas, aku tidak bisa seperti ini!" kata Siska sembari menatap Ilham dengan nanar.
"Aku tidak mau dimadu, Mas! Tega sekali kamu melakukan hal semenyakitkan ini padaku, tega sekali kamu, Mas!" keluh Siska dengan napas tersengal-sengal dan terisak dalam tangisnya.
"Lebih baik ceraikan saja aku, Mas! Rasanya aku tak sanggup jika harus melihat suamiku bersama dengan wanita lain di dalam rumahku sendiri."
"Tapi, ini juga rumahku, Siska," balas Ilham, ia menatap Siska dengan lekat.
"Lalu apa? Aku harus menahan sakit setiap saat aku melihat kebersaman Mas Ilham dengan wanita itu," kata Siska terbata-bata dan sesenggukan.
"Maaf, Siska! Mas akan berusaha bersikap adil kepada kalian berdua," balas Ilham lirih sembari mengusap pipi Siska.
"Adil katamu, Mas? Sekiranya memang kamu adil tidak akan terjadi hal seperti ini, kamu menikahi wanita itu tanpa sepengetahuanku, lancang sekali kamu, Mas! Kamu anggap aku ini apa? Haa?! Apa Mas?" cerca Siska dengan nada tinggi dan penuh dengan amarah.
"Aku sudah menjelaskannya padamu, Siska. Aku melakukannya karena aku terpaksa, ini semua aku lakukan demi menebus rasa bersalahku pada kyai itu," ujar Ilham.
"Tapi, apakah kyai itu tahu bahwa kamu sudah beristri dan mempunyai seorang anak?"
Suami Siska mengangguk pelan dan hanya ditanggapi dengan senyuman getir oleh Siska, ia tak menyangka ada seorang kyai yang dengan teganya merusak kebahagian wanita lain hanya demi urusan pribadinya.
"Cih, kyai macam apa dia itu?" ucap Siska dan membuang wajahnya ke arah lain.
Ia merasa sangat pilu memandang wajah suaminya, hatinya begitu hancur dan tersayat-sayat.
"Jangan bicara seperti itu, Siska! Aku lah yang memaksa agar menikah dengan putrinya."
Siska mengeryitkan dahinya, ucapan suaminya itu membuat tenggorokannya terasa tercekik dan membuatnya susah bernapas. Amarahnya memuncak, ia menatap Ilham dengan kedua mata membeliak.
"Berarti memang dasarnya kamu yang centil dan kegatelan, Mas! Cih, menjijikan sekali."
"Kondisi ayahnya sangat kritis Siska, ia hanya ingin melihat anaknya bahagia dengan segera menikah sebelum ia tiada. Ia hanya ingin memastikan putrinya ada yang menjaga, merawat dan menyayanginya dengan tulus dan sepenuh hati," ujar Ilham dan masi terus menatap Siska dengan lekat. Ia menerangkan hal itu dengan lugas dan tanpa ragu-ragu.
Betapa ia tak menyadari bahwa ucapannya itu telah menyakiti hati istrinya begitu dalam, dada Siska bergerak naik turun dengan cepat, napasnya memburu, dan air matanya terus menetes tanpa ia sanggup menahannya.
"Tega sekali kamu melakukan hal itu tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun, Mas." Siska menangis tersedu-sedu sembari menekan dadanya yang terasa sangat sesak.
Ilham merangkul Siska, berusaha agar istrinya itu tenang dan tidak tenggelam dalam amarahnya.
"Istighfar, Siska! Istigfar! Semua akan baik-baik saja." Ilham mengusap punggung Siska dengan lembut, namun dengan segera Siska langsung menepis tangan Ilham dan sedikit mundur.
"Apa katamu? Baik-baik saja? Itu tidak mungkin terjadi, Mas. Tidak semudah itu, andai Mas mengatakannya terlebih dahulu sebelum menikahi wanita itu, mungkin aku akan bisa menyiapkan mentalku dan lebih ihklas menerimanya. Tapi, ah. Semua sudah terjadi, dan aku sungguh tidak akan pernah ihklas jika harus berbagi pria yang paling aku cinta dengan wanita itu." Mata Siska menatap Ilham dengan penuh amarah.
Ilham tertegun mendengar ucapan Siska, ia sampai tidak tahu akan mengatakan apalagi agar Siska mau menerima keadaan ini, lalui ia pun mengacak rambutnya frustasi.
"Bunda." Aqila hanya bisa menangis melihat kedua orang tuanya yang sedang berdebat, apalagi sekarang Siska sedang murka dengan mata merahnya yang terbuka lebar menatap Ilham dengan sangat tajam.
"Mas, aku benar-benar tak sanggup dengan semua ini. Aku ngga sanggup satu ru-rumah dengan wanita itu, ng-ngga sanggup, Mas!" ucap Siska terbata-bata karena terisak dalam tangisnya.
Ia menekan dadanya kuat, meresapi sakitnya dimadu tanpa alasan. Kepalanya terasa berdenyut dengan kencang, ia memijat keningnya perlahan sembari menatap putrinya yang sedang menangis.
Tiba-tiba segala macam pikiran buruk melintas dipikiranya, bagaimana jika Nabila sampai hamil dan melahirkan anak laki-laki? Pastinya Ilham akan sangat senang dan begitu bangganya hingga ia menghujani anak Nabila dengan sejuta ciuman.
Sedangkan Aqila, dia hanya bisa terdiam menyaksikan hal itu. Tidak diperhatikan dan tidak mendapat kasih sayang lagi dari ayahnya.
Hati Siska semakin pilu memikirkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di esok hari itu. Sunggup rasanya ia tak sanggup dan ingin mati detik ini juga.
"Siska! Lebih baik kamu istirahat dulu ya! Tenangkan dirimu!"
"Tenang katamu, Mas? Bagaimana aku bisa tidur dengan tenang ketika aku mengetahui kini suamiku telah direbut oleh wanita lain? Sungguh sakit hatiku ini Mas, sakit." Siska memukul dadanya di hadapan Ilham dengan tatapan nanar.
"Aku masih suamimu Siska, aku masih milikmu, dan aku masih sangat mencintaimu," ujar Ilham sambil memegang pundak Siska yang sedang bergetar.
"Aku ngga sanggup di madu, Mas. Ngga sanggup, ini sangat menyakitkan bagiku," ucap Siska kemudian menjatuhkan diri dilutut Ilham.
"Aku mohon ceraikan saja aku,Mas! Aku tak sanggup di madu, aku benar-benar ngga sanggup Mas. Aku ngga mau di sini." Siska meratap pilu menangis, ia hanya ingin segera dijauhkan dari wanita yang sudah lancang mengancurkan kebahagian keluarga kecilnya ini.
"Aku mohon Sayang, jangan seperti ini! Beri aku kesempatan, aku akan berusaha jadi suami dan ayah yang lebih baik lagi."
"Tapi aku ngga sanggup melihat kedekatanmu dengan wanita itu, Mas. Ng-ngga sa-sanggup," ucap Siska sembari tersedu-sedu dan tenggorokannya terasa sangat kering. Semenjak kedatangan wanita itu Siska tak minum setengguk air pun untuk ia cerna.
"Astagfirullah, Ya Allah. Rasanya aku tak sanggup dengan cobaan ini."
"Maaf sayang, aku tak akan mendekati Nabila jika kamu tidak meridhoinya," kata Ilham sambil menyentuh pucuk rambut Siska.
"Tidak ridhonya diriku atas kebahagian Mas Ilham adalah dosa besar." Air mata Siska kian deras hingga ia merasa matanya pedih karena sudah terlalu banyak mengucurkan kepedihan.
"Tapi bagiku kamu tetap yang paling utama, Siska," jawab Ilham dan mengangkat tubuh Siska agar kembali duduk di atas kasur.
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,