Share

Bab 3. Kepiluan

         Ilham menghela napas dan menatap Siska dengan lembut, ia sangat paham dengan kekecewaan yang kini sedang Siska alami. Ia hanya berusaha bersikap baik kepada istrinya itu agar perlahan Siska mau menerima kenyataan ini.     

         "Siska! Ini kan sudah malam, minum dulu airnya terus tidur, ya! Kasian Qila," ujar Ilham menatap istri dan anaknya dengan penuh kasih sayang dan sangat berhati-hati.

          Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwa Siska, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali Siska mengengar suara lembut yang keluar dari mulut Ilham.

          Siska tak menjawab sedikit pun atau menerima segelas air yang telah Ilham bawakan, bahkan Siska enggan menatap wajah suaminya itu.

          "Ini airnya," ucap Ilham seraya meletakan segelas air itu di atas meja. Kemudian, ia mengambil tempat duduk di sisi kasur Siska.

          Istri pertama Ilham itu hanya terdiam dan tatap matanya kosong sembari meneteskan air mata, Ilham merasa sangat iba melihat kondisi istrinya, tapi semua sudah terjadi, mau bagaimana pun Nabila sudah menjadi istri keduanya.

          "Mas, aku tidak bisa seperti ini!" kata Siska sembari menatap Ilham dengan nanar.

         "Aku tidak mau dimadu, Mas! Tega sekali kamu melakukan hal semenyakitkan ini padaku, tega sekali kamu, Mas!" keluh Siska dengan napas tersengal-sengal dan terisak dalam tangisnya.

         "Lebih baik ceraikan saja aku, Mas! Rasanya aku tak sanggup jika harus melihat suamiku bersama dengan wanita lain di dalam rumahku sendiri."

         "Tapi, ini juga rumahku, Siska," balas Ilham, ia menatap Siska dengan lekat.

         "Lalu apa? Aku harus menahan sakit setiap saat aku melihat kebersaman Mas Ilham dengan wanita itu," kata Siska terbata-bata dan sesenggukan.

         "Maaf, Siska! Mas akan berusaha bersikap adil kepada kalian berdua," balas Ilham lirih sembari mengusap pipi Siska.

         "Adil katamu, Mas? Sekiranya memang kamu adil tidak akan terjadi hal seperti ini, kamu menikahi wanita itu tanpa sepengetahuanku, lancang sekali kamu, Mas! Kamu anggap aku ini apa? Haa?! Apa Mas?" cerca Siska dengan nada tinggi dan penuh dengan amarah.

         "Aku sudah menjelaskannya padamu, Siska. Aku melakukannya karena aku terpaksa, ini semua aku lakukan demi menebus rasa bersalahku pada kyai itu," ujar Ilham.

        "Tapi, apakah kyai itu tahu bahwa kamu sudah beristri dan mempunyai seorang anak?"

        Suami Siska mengangguk pelan dan hanya ditanggapi dengan senyuman getir oleh Siska, ia tak menyangka ada seorang kyai yang dengan teganya merusak kebahagian wanita lain hanya demi urusan pribadinya.

        "Cih, kyai macam apa dia itu?" ucap Siska dan membuang wajahnya ke arah lain.

         Ia merasa sangat pilu memandang wajah suaminya, hatinya begitu hancur dan tersayat-sayat.

         "Jangan bicara seperti itu, Siska! Aku lah yang memaksa agar menikah dengan putrinya."

         Siska mengeryitkan dahinya, ucapan suaminya itu membuat tenggorokannya terasa tercekik dan membuatnya susah bernapas. Amarahnya memuncak, ia menatap Ilham dengan kedua mata membeliak.

        "Berarti memang dasarnya kamu yang centil dan kegatelan, Mas! Cih, menjijikan sekali."

        "Kondisi ayahnya sangat kritis Siska, ia hanya ingin melihat anaknya bahagia dengan segera menikah sebelum ia tiada. Ia hanya ingin memastikan putrinya ada yang menjaga, merawat dan menyayanginya dengan tulus dan sepenuh hati," ujar Ilham dan masi terus menatap Siska dengan lekat. Ia menerangkan hal itu dengan lugas dan tanpa ragu-ragu.

         Betapa ia tak menyadari bahwa ucapannya itu telah menyakiti hati istrinya begitu dalam, dada Siska bergerak naik turun dengan cepat, napasnya memburu, dan air matanya terus menetes tanpa ia sanggup menahannya.

         "Tega sekali kamu melakukan hal itu tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun, Mas." Siska menangis tersedu-sedu sembari menekan dadanya yang terasa sangat sesak.

         Ilham merangkul Siska, berusaha agar istrinya itu tenang dan tidak tenggelam dalam amarahnya.

         "Istighfar, Siska! Istigfar! Semua akan baik-baik saja." Ilham mengusap punggung Siska dengan lembut, namun dengan segera Siska langsung menepis tangan Ilham dan sedikit mundur.

         "Apa katamu? Baik-baik saja? Itu tidak mungkin terjadi, Mas. Tidak semudah itu, andai Mas mengatakannya terlebih dahulu sebelum menikahi wanita itu, mungkin aku akan bisa menyiapkan mentalku dan lebih ihklas menerimanya. Tapi, ah. Semua sudah terjadi, dan aku sungguh tidak akan pernah ihklas jika harus berbagi pria yang paling aku cinta dengan wanita itu." Mata Siska menatap Ilham dengan penuh amarah.

         Ilham tertegun mendengar ucapan Siska, ia sampai tidak tahu akan mengatakan apalagi agar Siska mau menerima keadaan ini, lalui ia pun mengacak rambutnya frustasi.

         "Bunda." Aqila hanya bisa menangis melihat kedua orang tuanya yang sedang berdebat, apalagi sekarang Siska sedang murka dengan mata merahnya yang terbuka lebar menatap Ilham dengan sangat tajam.

        "Mas, aku benar-benar tak sanggup dengan semua ini. Aku ngga sanggup satu ru-rumah dengan wanita itu, ng-ngga sanggup, Mas!" ucap Siska terbata-bata karena terisak dalam tangisnya.

         Ia menekan dadanya kuat, meresapi sakitnya dimadu tanpa alasan. Kepalanya terasa berdenyut dengan kencang, ia memijat keningnya perlahan sembari menatap putrinya yang sedang menangis.

          Tiba-tiba segala macam pikiran buruk melintas dipikiranya, bagaimana jika Nabila sampai hamil dan melahirkan anak laki-laki? Pastinya Ilham akan sangat senang dan begitu bangganya hingga ia menghujani anak Nabila dengan sejuta ciuman.

          Sedangkan Aqila, dia hanya bisa terdiam menyaksikan hal itu. Tidak diperhatikan dan tidak mendapat kasih sayang lagi dari ayahnya.

          Hati Siska semakin pilu memikirkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di esok hari itu. Sunggup rasanya ia tak sanggup dan ingin mati detik ini juga.

         "Siska! Lebih baik kamu istirahat dulu ya! Tenangkan dirimu!"

         "Tenang katamu, Mas? Bagaimana aku bisa tidur dengan tenang ketika aku mengetahui kini suamiku telah direbut oleh wanita lain? Sungguh sakit hatiku ini Mas, sakit." Siska memukul dadanya di hadapan Ilham dengan tatapan nanar.

        "Aku masih suamimu Siska, aku masih milikmu, dan aku masih sangat mencintaimu," ujar Ilham sambil memegang pundak Siska yang sedang bergetar.

         "Aku ngga sanggup di madu, Mas. Ngga sanggup, ini sangat menyakitkan bagiku," ucap Siska kemudian menjatuhkan diri dilutut Ilham.

         "Aku mohon ceraikan saja aku,Mas! Aku tak sanggup di madu, aku benar-benar ngga sanggup Mas. Aku ngga mau di sini." Siska meratap pilu menangis, ia hanya ingin segera dijauhkan dari wanita yang sudah lancang mengancurkan kebahagian keluarga kecilnya ini.

         "Aku mohon Sayang, jangan seperti ini! Beri aku kesempatan, aku akan berusaha jadi suami dan ayah yang lebih baik lagi."

        "Tapi aku ngga sanggup melihat kedekatanmu dengan wanita itu, Mas. Ng-ngga sa-sanggup," ucap Siska sembari tersedu-sedu dan tenggorokannya terasa sangat kering. Semenjak kedatangan wanita itu Siska tak minum setengguk air pun untuk ia cerna.

        "Astagfirullah, Ya Allah. Rasanya aku tak sanggup dengan cobaan ini."

         "Maaf sayang, aku tak akan mendekati Nabila jika kamu tidak meridhoinya," kata Ilham sambil menyentuh pucuk rambut Siska.

         "Tidak ridhonya diriku atas kebahagian Mas Ilham adalah dosa besar." Air mata Siska kian deras hingga ia merasa matanya pedih karena sudah terlalu banyak mengucurkan kepedihan.

          "Tapi bagiku kamu tetap yang paling utama, Siska," jawab Ilham dan mengangkat tubuh Siska agar kembali duduk di atas kasur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status