Share

Suruh Siapa Kawin Lagi
Suruh Siapa Kawin Lagi
Author: Ina Qirana

Bab 1

 

[Mutia, ini Vidio pernikahan suamimu dan Neneng, doakan mereka biar cepat kasih Ibu seorang cucu]

 

Pesan WA dari mertuaku disertai Vidio pernikahan kedua Mas Haikal dengan perempuan pilihan ibunya.

 

Jah4t memang, tapi bagaimana lagi aku tak memiliki kuasa untuk protes, terlebih Mas Haikal sendiri juga setuju dengan rencana ibunya.

 

Sepuluh tahun menikah kami belum dikaruniai seorang anak, hingga ibu Mas Haikal menjodohkannya dengan Neneng, teman masa kecil sekaligus tetangga Mas Haikal saat dahulu mereka tinggal di desa.

 

Kucengkaram erat ponsel ini, jangankan untuk datang ke acara sakral itu, melihat vidionya saja hati ini hangus terbakar.

 

Kini, cinta Mas Haikal terbagi, tak hanya cinta melainkan jiwa dan raga, perhatian dan kasih sayangnya bukan seutuhnya milikku seorang.

 

Aku bak pengecut, duduk terdiam di pojokan kamar dalam kegelapan, semenjak hari di mana ibu memperkenalkan Neneng sebagai calon mantu barunya, maka saat itu juga hidupku berubah hitam.

 

Tak ada canda juga tawa, waktuku habis di pabrik garmen yang selama ini kami bangun mulai merangkak dari nol selama sepuluh tahun lamanya.

 

[Mutia, kamu baik-baik aja 'kan?]

 

Pesan Deri Mertuaku lagi, untuk kedua kalinya kuabaikan pesan itu, malas menghadapi sikapnya yang sok bijak tapi cukup mengoyakkan hati ini.

 

[Mut, lu ok 'kan? laki Lo udah ijab kabul, gua lihat streaming-nya di efbe] 

 

Pesan Areta--sahabatku--

 

Ya Tuhan, mengapa Mas Haikal setega itu mengabadikan pernikahan keduanya, tanpa memikirkan perasaanku di sini yang begitu hancur berkeping-keping.

 

Jujur aku ingin berteriak dengan kencang hingga bumi ini bergoyang lalu acara mereka menjadi kacau berantakan.

 

Mas Haikal akan menggapai keinginannya menimang seorang anak, dan anak itu bukan terlahir dari rahimku, sejak dulu ia sangat menginginkan kehadiran seorang buah hati, itu merupakan impian terbesarnya selama ini.

 

Areta menelpon saking khawatirnya pada keadaanku. Namun, aku malas berbicara dengan siapapun saat ini, menyendiri bukan berarti menyiksa diri sendiri, melainkan sedang melatih jiwa dan raga ini agar memiliki kekuatan untuk melanjutkan kehidupan.

 

*

 

Malam telah tiba, keadaan begitu gelap gulita sama seperti hati ini, untuk kedua kalinya hatiku harus tersayat-sayat kembali.

 

Neneng mengirimkan Vidio bahagianya di atas pelaminan bersama Mas Haikal, ia mengenakan gaun berwarna peach, warna kesukaanku, wanita itu tersenyum bahagia begitupun dengan Mas Haikal, wajahnya berseri-seri dan ceria.

 

Pernikahan mereka begitu indah nan megah, bahkan resepsi pernikahanku dulu tak semegah resepsi mereka.

 

'Silakan berbahagialah Neneng, sebelum tanganku merenggut semua impianmu, tak ada istana mewah seperti yang kamu dambakan, juga tak ada ratu kedua yang akan menggeser ratu sesungguhnya.

 

Kamu adalah selir yang hanya dibutuhkan rahimnya saja, tunggu saja Neneng dunia pasti berputar, akan ada saatnya untukmu berada di posisiku'.

 

Malam ini aku tidur berselimut sepi seorang diri, sedangkan Mas Haikal di sana sedang menikmati kehangatan dan manisnya madu pernikahan, air mata ini berlinang laksana air hujan.

 

Kuat Mutia! Kamu buka wanita l3m*h, yang akan terguncang hanya karena sebuah sapuan ombak.

 

*

 

Pagi hari usai melaksanakan kewajiban dua rakaat dan dzikir pagi aku duduk di balkon rumah, memandang cakrawala luas yang terbentang.

 

Kuhirup udara pagi yang begitu sejuk menyeruak masuk ke dalam dada, menghilangkan rasa sesak yang semalam mendera.

 

Dari atas, kulihat mobil Mas Haikal masuk ke pekarangan rumah kami yang lumayan luas, dada ini bergetar hebat, bagaimana jika wanita pe*usak itu ikut dan tinggal di istanaku.

 

Mas Haikal keluar dari mobil, membanting pintunya sedikit keras lalu melangkah masuk ke dalam, getaran hebat dalam dada seketika mereda saat kulihat Mas Haikal masuk ke dalam istana kami sendirian.

 

Ya, istana yang kosong dan hampa tanpa hadirnya seorang putra mahkota, yang lebih menyakitkan sang putra mahkota itu akan lahir dari rahim seorang selir.

 

Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi, beriku kesempatan untuk memiliki buah hati, dokter bisa katakan tidak, tapi tak ada yang mustahil bagiku ya Rabb 

 

Doaku terhenti karena suara teriakkan Mas Haikal yang memanggilku, seperti biasa ia akan mencari-cari jika pulang ke rumah tak melihat keberadaanku.

 

Namun, kali ini berbeda, tak ada rindu apa lagi sambutan hangat untuknya, rumah tangga kami berubah dingin laksana di kutub Utara.

 

"Mutia, kamu di sini?" tanyanya, saat ia berhasil menemukan keberadaanku.

 

Aku masih diam, tak berbalik badan apa lagi menanggapi ucapannya, terdengar langkah kaki yang mendekat, benar saja kini lelaki itu telah duduk di hadapanku dengan wajah kusut dan suram.

 

Ada apa ini? harusnya sebagai pengantin baru ia terlihat ceria seperti malam tadi, rona di wajahnya seolah mengatakan jika perasaan itu sedang kacau tak karuan.

 

"Maafkan aku, Mutia, sudah membuatmu sakit hati dan dilema," ujarnya menatapku sendu.

 

Aku melengos membuang muka, tak tertarik dengan aktingnya yang hampir menyaingi aktor ternama, permintaan maaf itu sungguh tak membuat kepingan hatiku yang hancur kembali utuh semula.

 

"Kamu lebih baik dari Neneng, Sayang, harusnya Mas ga menyetujui saran Ibu."

 

Tangannya menggenggam erat jemariku yang dingin, segera kutepis, merasa jijik pada tangan itu yang semalam sudah digunakan untuk memanjakan wanita lain, kini harus menyentuh diri ini.

 

Air mataku berderai saat mengingat kami harus berbagi raga dan jiwa Mas Haikal, tubuh yang kerap memberiku kehangatan selama sepuluh tahun lamanya kini harus dibagi dua, bukan hanya untukku tapi juga untuk wanita itu.

 

"Maafkan aku, Sayang." 

 

Ujarnya sambil menatapku sendu, entahlah aku tak mampu membedakan apakah sikapnya tulus atau hanya modus, agar aku berubah fikiran pada keputusan yang telah kami sepakati sebelum pernikahan itu terjadi 

 

"Kalau ujungnya begini, suruh siapa kamu kawin lagi hah!" Spontan aku ucapkan kalimat itu, dengan detak jantung yang berpacu hebat.

 

"Maafkan aku, Sayang, tenyata Neneng tak sesuai dugaan Mas," ujarnya kesal, entah hal apa yang terjadi padanya hingga wajah itu berubah penuh amarah.

 

"Kamu nyesel? ... telat! Dia sudah jadi istrimu!" tegasku, seperti seorang nyonya yang sedang memarahi pembantunya.

 

Ia mengacak rambutnya dengan kasar lalu mendengkus melampiaskan kekesalannya.

 

"Emangnya kamu kenapa sih?! pengantin baru itu harusnya bahagia karena semalam habis menikmati surga dunia!" tegasku sambil mendelikkan mata 

 

"Hahh! Aku kesel sama Neneng tenyata dia ...." Ucapannya terhenti entah mengapa, menimbulkan rasa penasaran dalam dada

 

"Emangnya dia kenapa?!" tanyaku sedikit tegas, malas jika harus bersikap manis seperti biasanya.

 

"Aku kecewa ternyata dia itu ...."

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status